Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mengungkap jumlah kasus hukuman mati yang menimpa warga negara Indonesia (WNI) yang terbilang tak sedikit.
"Total ada 168 WNI yang terancam hukuman mati," ujar Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI dan BHI) Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha dalam Focus Group Discussion (FGD) Penghapusan Mandatory Death Penalty Malaysia di Yogyakarta, 21 September 2023 yang juga disiarkan secara daring.
Baca Juga
Menurut data yang tercatat hingga Agustus 2023, Judha memaparkan bahwa kasus terbanyak ancaman hukuman mati yang dialami WNI berada di Malaysia. "Ada 157 kasus," ucapnya.
Advertisement
"Pentingnya proses pendampingan hukum dilakukan sejak awal untuk memastikan terpenuhinya hak-hak para WNI, terutama dalam merespons perkembangan hukum terbaru di Malaysia," jelas Judha.
Sementara itu, sambungnya, sisa kasusnya ada tiga di Arab Saudi, tiga Laos, satu Vietnam dan Uni Emirat Arab. "Baik masih dalam proses litigasi atau non litigasi," tuturnya.
Judha juga menjelaskan bahwa sejumlah upaya telah dilakukan pihak pemerintah RI, baik melalui upaya hukum, diplomatik maupun pendekatan kepada korban. Di antaranya seperti menyediakan bantuan pengacara, penerjemah, akses kekonsuleran, diplomasi tingkat bilateral maupun diplomatik, hingga dukungan moral dan kampanye kesadaran publik.
Selain itu, Judha juga memaparkan tujuh strategi pusat dan perwakilan RI dalam membantu para WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri. Di antaranya;
- Membangun sistem
- Identifikasi tantangan perwakilan RI
- Monitoring
- Bedah kasus
- Strategi diplomasi
- Koordinasi, edukasi, advokasi
- Penyusunan pedoman pendampingan WNI terancam hukuman mati di luar negeri.
78 Kasus WNI Terancam Mati, 42 Sudah Masuk Proses Review Penghapusan Hukuman Mati
Sementara itu, saat ini terdapat 2 (dua) UU yang telah diberlakukan efektif oleh Malaysia sejak 12 September 2023, yaitu UU Penghapusan Hukuman Mati Wajib dan UU Amandemen Hukuman Mati dan Penjara Seumur Hidup, Kompetensi Sementara Mahkamah Federal.
"Menjadi sangat penting bagi seluruh pemangku kepentingan terkait dan juga publik memahami UU penghapusan hukuman mati wajib ini agar tidak terjadi asimetri informasi," ujar Dubes RI untuk Malaysia, Hermono.
"Jangan sampai kita salah persepsi bahwa dengan adanya UU tersebut, WNI terpidana hukuman mati akan otomatis dibebaskan,” tambah Dubes RI Hermono.
Dubes Hermono mengatakan tidak semua hukuman mati WNI bisa dihapus. Ada prosesnya melalui review atau peninjauan kembali (PK).
"Dari 157, yang masuk terkena amandemen ini adalah kasus yang sudah Inkracht, sudah final. Boleh mengajukan semacam PK untuk 78 kasus (69 death penalty, 9 seumur hayat)," papar Dubes Hermono.
Dubes Hermono menjelaskan, dari 78 kasus WNI terancam mati yang sudah didaftarkan untuk PK ada 42. "36 dalam proses didaftarkan, lalu sidang review atau PK."
Advertisement
Penghapusan Hukuman Mati Tidak Bersifat Absolut
Peran KBRI dan civil society serta pemerintah pusat dalam hal ini, sambung Dubes Hermono, adalah menjelaskan untuk memberikan pemahaman bahwa penghapusan mandatory death penalty maupun mandatory life sentence itu tidak bersifat absolut atau non-absolut.
"Orang boleh saja mengajukan review atau peninjauan kembali (PK), tetapi bukan berarti otomatis semua PK yang diajukan akan disetujui oleh hakim. Kita perlu jelaskan ini kepada publik, bahwa kewenanngan keputusan bahwa permintaan PK itu disetujui sepenuhmya kewenangan hakim, dan tidak otomatis, dan tidak semuanya dipenuhi," tutur Dubes Hermono.
Dubes Hermono menambahkan bahwa bisa saja hakim menolak PK itu untuk kasus tertentu, misal makar, pemberontakan terhadap pemerintah, narkotika, terorisme dan lain-lain.
"Jangan sampai kalau ada WNI mengajukan PK tapi ditolak hakim, pemerintah yang disalahkan. Dianggap tidak serius memperjuangkan, tidak sediakan lawyer yang baik," ucapnya.
"Jangan sampai ada ekspektasi keliru. Ini tergantung kasusnya dan itu kewenangan absolut hakim. Demikian juga hal yang boleh dan tidak di PK, kita juga harus paham, sehingga jangan sampai ada perasaan bahwa kita tidak diurus negara dan lain-lain," papar Dubes Hermono.
Padahal, kata Dubes Hermono, tidak semua kasus boleh diajukan PK-nya. "Kalau sudah pengampunan raja, itu salah satu yang boleh diajukan," tegasnya.
Tujuan FGD: Memberikan Edukasi dan Pemahaman
Adapun dalam Focus Group Discussion (FGD) Penghapusan Mandatory Death Penalty Malaysia di Yogyakarta, 21 September 2023, Kementerian Luar Negeri menghadirkan narasumber yaitu Duta Besar RI untuk Malaysia, Pejabat Kantor Perdana Menteri Malaysia, Pengacara Retainer KBRI Kuala Lumpur Gooi & Azura dan LSM Reprieve. Acara juga diikuti oleh Kementerian dan Lembaga, akademisi, LSM dan media.
Focus Group Discussion ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman dan edukasi atas implikasi penerapan Penghapusan Mandatory Death Penalty di Malaysia dan menyampaikan upaya pendampingan hukum yang akan dilakukan oleh Perwakilan RI.
Pada intinya, UU tersebut bukan menghapuskan hukuman mati, namun hanya melakukan penghapusan sifat mandatory atau wajib vonis hukuman mati terhadap 11 kejahatan serius dalam hukum Malaysia. Untuk melengkapi UU Penghapusan Hukuman Mati Wajib tersebut, seluruh terpidana mati dan terpidana penjara seumur hidup dapat mengajukan proses reviu untuk kemungkinan mengubah hukumannya menjadi penjara 30-40 tahun.
Perwakilan RI di Malaysia tengah lakukan pemutakhiran dan verifikasi data-data dimaksud.
Sebagai tindak lanjut, Kementerian Luar Negeri juga akan menyiapkan roadmap langkah-langkah selanjutnya yang diperlukan untuk persiapan review untuk seluruh kasus yang terdaftar dan akan menunjuk segera pengacara untuk mengawal kasus dimaksud.
Kegiatan ini merupakan rangkaian sosialisasi upaya pemerintah dalam pelindungan WNI, khususnya yang menghadapi hukuman mati di luar negeri. Selepas FGD telah diadakan pula uji publik atas Pedoman Pendampingan WNI Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri yang sedang disusun oleh Kementerian Luar Negeri sejak 2021.
Advertisement