Kisah Mantan Kapten Rugbi Inggris Lewis Moody, Pesawatnya Mendarat Darurat di Kutub Utara Saat Misi Amal

Sebuah pesawat yang membawa mantan kapten rugbi Inggris Lewis Moody terpaksa melakukan pendaratan darurat di Kutub Utara.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 13 Jan 2024, 08:34 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2015, 17:26 WIB
Mantan kapten rugbi Inggris menulis tweet sebelum pesawat lepas landas dari Svalbard ke Ice Camp Barneo, tempat perjalanan dimulai. (Twitter/lewismoody7)
Mantan kapten rugbi Inggris menulis tweet sebelum pesawat lepas landas dari Svalbard ke Ice Camp Barneo, tempat perjalanan dimulai. (Twitter/lewismoody7)

Liputan6.com, Arktik - Sebuah pesawat yang membawa mantan kapten rugbi Inggris Lewis Moody terpaksa melakukan pendaratan darurat di Arktik, Kutub Utara.

Mengutip Daily Mail, Jumat (12/1/2024), insiden itu diketahui terjadi ketika jarak pandang yang buruk terjadi antara Svalbard dani ce camp Barneo (kamp es Barneo) pada Sabtu 4 April 2015. Sang pilot membuat keputusan untuk mendaratkan pesawat. Kendati demikian akibat pendaratan yang bergelombang, bagian bawah pesawat rusak.

Moody yang kala itu berusia 36 tahun, melakukan perjalanan sejauh 100 km ke Kutub Utara untuk mengumpulkan £250.000 atau sekitar Rp 4,9 miliar untuk amal, dan rekan-rekannya tidak terluka dalam insiden tersebut.

Menurut penyelenggara amal Headnorth, tim diselamatkan dari lokasi terpencil dengan helikopter, yang membawa para penumpang ke kamp mereka untuk memulai perjalanan keesokan harinya.

Lewis Moody sang mantan kapten rugbi terkenal ini adalah bagian dari tim yang terdiri dari sembilan olahragawan dan Royal Marines (Marinir Kerajaan) Inggris yang melakukan ekspedisi sepuluh hari ke titik tertinggi di Bumi.

Tim akan berjuang melawan suhu ekstrem antara -25C dan -50C serta menyeret kereta luncur seberat 60kg.

Pernyataan Headnorth di blog mereka berbunyi: 'Karena jarak pandang yang buruk dalam perjalanan dari Svalbard ke Ice Camp Barneo, tempat perjalanan akan dimulai, pesawat tim harus melakukan pendaratan darurat hari ini (4 April)."

"Semua tim selamat dan baik-baik saja, meski bagian bawah pesawat mengalami beberapa kerusakan."

"Sebuah helikopter dikirim ke tempat pendaratan untuk mengumpulkan para pendaki dan membawa mereka sisa perjalanan ke titik awal pada jarak 1 derajat dari Kutub Utara. Mereka kini telah tiba di Barneo dan dalam semangat yang baik, siap memulai perjalanan epik mereka...," tulis Headnorth. 

Menyelesaikan Tantangan

Ilustrasi kutub utara (AFP/Tore Meek)
Ilustrasi kutub utara (AFP/Tore Meek)

Pensiunan pemain rugbi itu menyelesaikan tantangan bersama rekan setimnya Gary Wright, Charlie Birkett dan Yves Damette dari perusahaan kapal pesiar Y.CO, pemenang Piala Dunia Rugbi Danny Grewcock MBE, Josh Lewsey MBE, Marinir Kerajaan Wayne Hoyle dan James Nightingale dan pemimpin ekspedisi, mencapai kutub penjelajah Alan Chambers MBE.

Diharapkan perjalanan ini akan mengumpulkan £250.000 untuk Lewis Moody Foundation serta Royal Marines Charitable Trust.

 

Kembali dari Misi 389 Hari Jelajah Kutub Utara, Ilmuwan Bawa Bukti Penting Ini

Es Laut Antarktika
Kapal pemecah es kutub milik China Xuelong 2 berlayar melintasi area es terapung di Laut Kosmonaut dan bertolak untuk melakukan perjalanan melalui area Bumi antara 40 dan 50 derajat lintang selatan, dalam ekspedisi Antarktika ke-36 China, pada 10 Januari 2020. (Xinhua/Liu Shiping)

Sejumlah ilmuwan tim misi terbesar ke Kutub Utara sudah kembali dari penelitian mereka.

Seperti dikutip dari DW Indonesia, Kamis (15/10/2020), Kapal Polarstern dari Institut Alfred Wegener Jerman telah kembali ke Pelabuhan Bremerhaven setelah menghabiskan 389 hari menjelajahi Kutub Utara yang diselimuti es. Para ilmuwan mengumpulkan informasi penting tentang efek pemanasan global di wilayah tersebut.

Markus Rex, ketua tim misi perjalanan ke Kutub Utara, mengatakan ia dan timnya yang terdiri dari 300 ilmuwan dari 20 negara itu telah menyaksikan "sebuah tempat yang benar-benar memesona dan memiliki keindahan yang unik."

"Kita harus benar-benar melakukan segala upaya untuk melestarikan dunia ini...untuk generasi mendatang dan melakukan hal yang masih bisa kita lakukan," katanya dalam konferensi pers.

Sebelum mereka kembali, Rex mengatakan kepada AFP bahwa para ilmuwan telah melihat sendiri efek dramatis dari pemanasan global terhadap es di Kutub Utara, wilayah yang dianggap sebagai "pusat perubahan iklim".

"Kami menyaksikan bagaimana lautan Arktika sekarat," kata Rex. "Kami melihat proses tersebut tepat di luar jendela kami, atau saat kami berjalan di atas es yang rapuh."

Menggarisbawahi seberapa banyak es telah mencair, Rex mengatakan misi tersebut mampu berlayar melalui petak besar perairan terbuka, "kadang-kadang membentang sejauh cakrawala".

"Di Kutub Utara sendiri, kami menemukan es yang terkikis parah, mencair, tipis, dan rapuh." Jika tren pemanasan di Kutub Utara berlanjut, dalam beberapa dekade kita akan memiliki "Kutub Utara tanpa es di musim panas," kata Rex.

Radiance Calmer, seorang peneliti dari University of Colorado yang berada di Kutub Utara dari bulan Juni sampai September, mengatakan kepada AFP bahwa melangkah ke area yang tertutupi es adalah momen "ajaib".

"Jika Anda berkonsentrasi, Anda bisa merasakannya (es) bergerak," kata Calmer.

Selengkapnya di sini...

Selama 20.000 Tahun Terakhir Populasi Beruang Kutub Menurun, Ini Penyebabnya

Ilustrasi beruang kutub (AFP/Mario Hoppman)
Ilustrasi beruang kutub (AFP/Mario Hoppman)

Fakta bahwa beruang kutub di Greenland berada dalam ancaman bukanlah berita baru. Mereka semakin menjadi simbol tantangan yang muncul akibat mencairnya es di kutub dan krisis iklim secara keseluruhan dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, sebuah penelitian terbaru menyoroti bahwa kecenderungan tersebut memiliki akar sejarah yang mendalam, dengan jumlah beruang kutub di Greenland yang terus berkurang selama 20.000 tahun terakhir.

Melansir dari Phys.org, Jumat (17/11/2023), Asisten Profesor Michael Westbury dan Profesor Eline Lorenzen dari Globe Institute telah melakukan penelitian interdisipliner terbaru, yang menganalisis DNA dan preferensi makanan beruang kutub yang masih hidup, bersama dengan data historis iklim dan habitat beruang kutub di sekitar Greenland.

Penelitian tersebut berjudul "Impact of Holocene environmental change on the evolutionary ecology of an Arctic top predator," dipublikasikan di jurnal Science Advances.

"Dengan menganalisis materi genetik dari beruang kutub, kita dapat membuka jendela ke masa lalu dan mendapatkan wawasan tentang sejarah perkembangan spesies dan populasinya. Hasil analisis kami menunjukkan bahwa jumlah beruang kutub telah mengalami penurunan yang signifikan beberapa kali sejak zaman es terakhir," ujar Eline Lorenzen.

Namun, mengapa beruang kutub mengalami kemunduran selama periode yang panjang? Menurut penulis utama dari penelitian ini, Michael Westbury, ada penjelasan yang cukup mudah dimengerti.

"Peningkatan suhu laut yang mendorong penurunan populasi beruang kutub. Ketika suhu laut naik, es di laut berkurang, sebagai akibatnya, semakin sedikit anjing laut yang menjadi makanan beruang kutub," jelas Michael Westbury.

Hal yang paling mengejutkan para peneliti adalah betapa beruang kutub sangat terpengaruh bahkan oleh perubahan kecil dalam lingkungan.

"Kami melihat adanya keterkaitan yang mengkhawatirkan antara penurunan populasi dan perubahan lingkungan. Peningkatan suhu air yang relatif kecil dan penurunan jumlah es laut yang kecil mengakibatkan penurunan populasi beruang kutub yang cukup dramatis. Hubungan ini tidak berjalan secara linier," lanjut Michael Westbury.

Penelitian ini dilakukan bersama dengan ahli dari institusi di Greenland, Kanada, Australia, Finlandia, Hong Kong, Inggris, GEUS, dan Aarhus University.

Selengkapnya di sini...

Infografis Zodiak yang Punya Daya Ingat Kuat
Infografis Zodiak yang Punya Daya Ingat Kuat. (Liputan6.com/Lois Wilhelmina)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya