Liputan6.com, Baltimore, Amerika Serikat Travis Rieder menghabiskan waktunya lebih dari empat minggu di rumah sakit dan nyaris kehilangan kakinya akibat kecelakaan ditabrak van saat lampu tanda berhenti dan terjebak di sepeda motornya saat peringatan Memorial Day akhir pekan pada tahun 2015 silam.
Baca Juga
Advertisement
Travis, yang berusia 35 tahun merupakan seorang ilmuwan di Johns Hopkins Berman Institute of Bioethics di Baltimore, Amerika Serikat.
Tantangan terberat bukanlah soal kecelakaan yang menimpanya, lima operasi yang dijalani, atau harus berjalan dengan tongkat, tulis Travis dalam esai pribadinya dalam Health Affairs.
Permasalahan terbesar selama tiga bulan setelah kecelakaan, tatkala ia kembali ke rumah dan salah satu dokter menyarankannya, minum opioid (obat penghilang rasa sakit) yang berdosis tinggi untuk meringankan rasa sakitnya.
"Saya pikir itu mungkin akan membunuh saya sendiri. Rasa mual membuat saya meringkuk di lantai kamar mandi di tengah malam. Selama tiga hari, saya tidak punya tidur yang nyata. Dan itu pertama kalinya saya mengalaminya dalam hidup saya. Sempat berpikir untuk bunuh diri," tulisnya, seperti dikutip dari Fox News Health, Senin (16/1/2017).
Upaya berhenti
Upaya berhenti
Kebergantungan dirinya terhadap obat penghilang rasa sakit pun ingin dihilangkan. Bahkan ia sudah berbicara dengan puluhan dokter yang merawatnya agar memberikan ia solusi cara berhenti minum obat adiktif.
Faktanya, tidak ada seorang pun di tim medis yang bisa membantu untuk memberikan solusi. Menanggapi hal tersebut, Travis menulis kegundahan hatinya atas ketiadaan solusi.
Kecanduan obat penghilang rasa sakit yang berujung overdosis menewaskan lebih dari 33 ribu orang Amerika Serikat pada tahun 2015, menurut U.S. Centers for Disease Control and Prevention.
Sejak tahun 2009, banyak orang AS meninggal tiap tahun akibat overdosis obat penghilang rasa sakit, yang terjadi saat kecelakaan mobil.
Dokter yang merawat Travis tahu bagaimana mengontrol rasa sakit dengan obat penghilang rasa sakit. Tetapi dokter tidak memiliki rencana yang realistis, bagaimana Travis bisa berhenti minum obat tersebut.
Bahkan sang istri menelepon dokter ahli bedah plastik mengatakan, Travis sangat membutuhkan bantuan untuk menghilangkan depresi dan stres. Namun, dokter menyarankan, Travis mungkin ingin kembali pada obat-obatan.
"Ketika orang menderita kecanduan obat penghilang rasa sakit setelah trauma dan harus ditolong. Saran terbaik mereka mungkin kita akan kecanduan obat-obatan. Ini seperti kegilaan saja," jelas Travis.
Advertisement
Program penyembuhan
Adanya program penyembuhan kecanduan
Orang-orang yang menjadi kecanduan resep obat penghilang rasa sakit dan tidak bisa lagi memulihkan diri dari kebergantungan obat yang diresepkan dokter, kadang-kadang mereka bisa beralih ke obat-obatan terlarang, seperti heroin.
Dr Karl Wittnebel mengarahkan, adanya program nyeri sebelum operasi pada untuk pasien di Cedars-Sinai Medical Center di Los Angeles.
Program ini diluncurkan dua tahun lalu yang mencoba untuk mengurangi dosis obat penghilang rasa sakit pada pasien sebelum mereka menjalani operasi.
Obat-obatan bekerja efektif untuk nyeri jangka pendek yang akut bukan jangka panjang berupa sakit kronis.
Perjuangan Travis untuk menghilangkan kecanduan obat penghilang rasa sakit belum tercapai. Kini, ia menganggap dirinya cacat. Ia tidak bisa lagi naik sepeda, berjalan atau balap sepeda, dan kadang-kadang pincang.