Dibanding Korban Anak, Pemulihan Mental Korban Tsunami Selat Sunda Dewasa Lebih Sulit

Orang dewasa yang menjadi korban selamat tsunami Selat Sunda dianggap lebih sulit soal pemulihan mental daripada anak-anak

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 07 Jan 2019, 17:00 WIB
Diterbitkan 07 Jan 2019, 17:00 WIB
Pengungsi Terdampak Tsunami Selat Sunda di Lapangan Tenis Indoor Kalianda
Ribuan pengungsi terdampak Tsunami Selat Sunda memadati Posko pengungsian Lapangan Tenis Indoor Kalianda, Lampung Selatan, Jumat (28/12). Sebanyak 2.514 warga Pulau Sebesi berada di posko sejak 22 Desember. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Tidak hanya anak-anak, pemulihan psikis juga dibutuhkan korban dewasa yang menjadi korban selamat tsunami Selat Sunda. Keduanya tentu memiliki cara yang berbeda dalam penanganannya.

"Kalau anak-anak masanya adalah masa bermain. Kalau orang tua bagaimana menata ke depan," ujar Ketua Ikatan Dokter Indonesia Lampung dr. Asep Sukohar di kantor Kapanlagi Youniverse Gondangdia, Jakarta pada Senin (7/1/2019).

Asep mencontohkan salah satu korban selamat dari tsunami Selat Sunda yang dia tangani adalah Subandi. Pria ini kehilangan istri, ibu, dan juga anaknya. Beruntunglah, anaknya Adit selamat karena saat itu sedang melakukan invitasi sepak bola U-13 pra penyisihan Asia.

Asep mengatakan, Subandi terlihat bingung saat diberikan pertanyaan.

"Banyak tidak nyambung. Karena ada trauma. Ini berat. Kehilangan istri, anak, dan ibu. Ini yang membuatnya berbeda. Mungkin dewasa lebih susah," kata Asep menambahkan.

Simak juga video menarik berikut ini:

Melanjutkan hidup

Perwakilan IDI Lampung bersama penyintas tsunami selat sunda kunjungi kantor KLY pada Senin (7/1/2019) (Liputan6.com/Giovani Dio Prasasti)
Perwakilan IDI Lampung bersama penyintas tsunami selat sunda kunjungi kantor KLY pada Senin (7/1/2019) (Liputan6.com/Giovani Dio Prasasti)

Sementara untuk anak-anak, pemulihan mental memang terlihat lebih mudah. Seperti pada Revan. Bocah usia 8 tahun ini seakan tidak mengalami masalah ketika bertemu dengan Health Liputan6.com. Namun saat ditanya, Revan terlihat malu saat menjawab.

"Kalau ditanya baru kelihatan sedihnya," kata Asep.

Asep menambahkan, yang penting saat ini adalah bagaimana masyarakat terdampak tsunami melanjutkan hidupnya. Terutama untuk pendidikan anak-anak serta bagaimana orang dewasa melanjutkan pekerjaan demi hidup mereka.

"Tadi saya tanya, kamu masih mau jadi nelayan, dia bilang trauma. Berarti harus ada sesuatu yang mereka kerjakan. Pekerjaan yang bisa menghasilkan untuk menghidup," kata Asep.

Selain itu, mereka yang juga kehilangan rumah butuh bantuan dari berbagai pihak, khususnya pemerintah.

"Menurut saya ini yang darurat. Soalnya kalau masih seperti ini, korban biasanya, kalau dalam bahasa Sundanya, uleng-uleng. Bingung," tambah Asep.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya