KPAI Bicara Rokok: Naikkan Cukai dan Upaya Denormalisasi

KPAI membeberkan alasan pentingnya pembatasan penggunaan rokok, terkait cukai sampai upaya denormalisasi.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 17 Mar 2019, 13:05 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2019, 13:05 WIB
Berhenti Merokok
Alasan pentingnya pembatasan penggunaan rokok. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membeberkan lima alasan pentingnya pembatasan penggunaan rokok. Adanya pembatasan tersebut bertujuan melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok, terutama anak-anak serta menjauhkan anak daari target pemasaran rokok.

Komisioner KPAI Bidang Kesehatan dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (Napza) Sitti Hikmawatty menjelaskan, pembatasan penggunaan rokok.

Pertama, rokok mengandung zat adiktif berbahaya, yang menyebabkan kecanduan. Dalam peraturan secara umum, penggunaan zat adiktif harus dilarang, kecuali rokok yang boleh dibatasi. Artinya, zat adiktif rokok maish tahap dibatasi.

"Kalau dibatasi, rokok kan jadi sesuatu yang tidak saklek (dilarang) lagi. Contohnya, kita hanya dibatasi boleh tiga batang rokok. Bisa saja karena pecandu, boleh dong lima batang rokok. Nah, kalau (zat adiktif pada rokok) dilarang ya artinya rokok itu sama sekali tidak boleh. No at all," papar Sitti saat berbincang dengan Health Liputan6.com di Hotel Aryaduta, Jakarta beberapa hari lalu, ditulis Minggu, 17 Maret 2019.

Kedua, rokok bukanlah produksi normal sehingga perketat cukai. Berbeda dengan makanan, rokok perlu dikenakan cukai, bukan pajak. Kalau pajak dengan cukai lebih tinggi cukai. Tapi tidak semua barang dikenakan cukai. Hanya barang tertentu saja. Untuk semua bahan dikenakan pajak.

"Kenapa (rokok) dikenakan cukai? Karena rokok termasuk barang tertentu yang tercatat dikenakan cukai. Ya, sudah saja naikkan cukainya. Ini (nilai cukai) lebih besar daripada pajak," ujar Sitti.

 

 

Simak video menarik berikut ini:

Lindungi anak dari target pemasaran

Berhenti Merokok
Lindungi anak dari target pemasaran rokok. (iStockphoto)

Ketiga, mengendalikan penggunaan rokok. Rokok perlu dikendalikan karena efek asap dan zat adiktif yang berbahaya. Komitmen pengendalian rokok sudah mendunia. Negara-negara lain juga berkomitmen dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk tahun 2023.

Komitmen pada tahun 2023, yakni polusi yang disumbang asap rokok tidak sampai 30 persen. Artinya, sekarang jumlah polusi karena asap rokok termasuk besar.

Keempat, melindungi anak dari target pemasaran rokok. Target sasaran pemasaran lebih menyasar pada kelompok remaja, yang mana mereka masih dalam kategori anak-anak. Apalagi terkait dengan iklan rokok.

"Mari kita evaluasi. Ketika mengiklankan rokok, targetnya justru ke remaja. Remaja ini termasuk kelompok anak. Padahal, sudah secara jelas dikatakan pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, anak harus dilindungi (dari target pemasaran rokok). Tapi ya kok (sampai saat ini) terus-terusan dilakukan (pemasaran rokok yang mengarah ke anak)," Sitti menambahkan.

Upaya denormalisasi

Bungkus Rokok atau Kemasan Rokok
Upaya denormalisasi rokok. (iStockphoto)

Kelima, orang masih menganggap normalisasi terhadap rokok, yang berarti rokok itu sesuatu yang normal. Rokok bukanlah sesuatu yang normal sehingga upaya denormalisasi penggunaan rokok perlu dilakukan.

"Denormalisasi maksudnya mendudukkan kembali masalah. Bahwa rokok itu bukan sesuatu yang normal. Kalau orang merokok itu bukan sesuatu yang cool dan keren," lanjut Sitti.

Industri rokok juga harus berhati-hati mengiklankan rokok dengan membuat jargon. Karena rokok bukan sesuatu yang normal. Hindari membuat jargon iklan rokok yang terkesan mengajak (persuasif).

"Misalnya (jargon) dibilang, 'Enggak ada Loe itu enggak rame,' yang terkesan rokok itu sangat menyenangkan. Seolah-olah rokok adalah sesuatu yang normal, amazing (menarik), dan fantastis. Dengan demikian, upaya denormalisasi rokok ini penting," jelas Sitti.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya