HEADLINE: Jurus Menkes Terawan Obati Defisit BPJS Kesehatan, Manjur?

Iuran BPJS Kesehatan resmi naik per 1 Januari 2020 sebagai salah satu cara mengatasi defisit. Lalu, apa jurus Menkes Terawan?

oleh Aditya Eka PrawiraBenedikta DesideriaFitri Haryanti HarsonoGiovani Dio Prasasti diperbarui 31 Okt 2019, 00:00 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2019, 00:00 WIB
Iuran BPJS Kesehatan Naik
Suasana pelayanan BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (28/8/2019). Menkeu Sri Mulyani mengusulkan iuran peserta kelas I BPJS Kesehatan naik 2 kali lipat yang semula Rp 80.000 jadi Rp 160.000 per bulan untuk JKN kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp110.000 per bulan. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah resmi menerbitkan aturan kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan per 24 Oktober 2019. 

"Untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 tentang Jaminan Kesehatan," begitu isi Perpres tersebut. 

Penyesuaian itu menyebabkan kenaikan iuran BPJS atau JKN hingga 100 persen. Di beberapa kategori kenaikan mulai berlaku per 1 Agustus 2019 sementara untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) naik per 1 Januari 2020. 

Berikut perubahan iuran yang terjadi:

1. Kategori peserta Peserta Bantuan Iuran (PBI)

a. Peserta PBI yang ditanggung oleh Pemerintah Pusat sebesar Rp42.000, berlaku 1 Agustus 2019.

b. Peserta PBI yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah mendapat bantuan pendanaan dari Pemerintah Pusat sebesar Rp 19.000 per orang per bulan untuk bulan pelayanan 1 Agustus – 31 Desember 2019.

 

Infografis Iuran BPJS Kesehatan Naik
Infografis Iuran BPJS Kesehatan Naik (Liputan6.com/Triyasni)

2. Kategori peserta Pekerja Penerima Upah (PPU)

Batas paling tinggi gaji atau upah per bulan yang digunakan yaitu sebesar Rp12 juta, dengan komposisi 5 persen dari gaji atau upah per bulan, dan dibayar dengan ketentuan 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja; dan satu persen dibayar oleh Peserta.

a. Peserta PPU tingkat pusat yang merupakan Pejabat Negara, pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, PNS, Prajurit, Anggota Polri, pemberlakuan penyesuaian iuran mulai 1 Oktober 2019.

b. Peserta PPU tingkat daerah yang merupakan Kepala dan Wakil Kepala Daerah, pimpinan dan anggota DPRD daerah, PNS daerah, Kepala Desa, Perangkat Desa, dan pekerja swasta, berlaku mulai 1 Januari 2020.

c. Peserta PPU yang merupakan pekerja swasta, pemberlakuan penyesuaian iuran mulai 1 Januari 2020.

3. Iuran untuk kategori peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP)

a. Kelas III menjadi Rp42.000 (sebelumnya Rp25.500)

b. Kelas II menjadi Rp110.000 (sebelumnya Rp51.000)

c. Kelas I menjadi Rp160.000 (sebelumnya Rp80.000)

Berlaku mulai 1 Januari 2020.

 

Kenaikan Iuran untuk Atasi Defisit BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran JKN ini merupakan salah satu cara pemerintah mengatasi defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan.

Angka kenaikan tersebut berdasarkan usulan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Kementerian Keuangan sedikit memodifikasi besaran iuran yang diusulkan DJSN agar program JKN bisa berkelanjutan hingga 2025 seperti disampaikan Mardiasmo saat masih menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Kabinet Kerja. 

Defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan dalam mengelola JKN memang membengkak setiap tahunnya. Laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan bahwa proyeksi defisit BPJS Kesehatan hingga akhir 2019 sebesar Rp32,8 triliun.

Defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan sudah terjadi di awal penyelenggaraan pada 2014 yakni Rp1,9 triliun. "Kalau dilihat PMN (penyertaan modal negara) pemerintah pada 2015 sebesar Rp5 triliun, defisitnya tadi pada 2014 sebesar Rp1,9 triliun," ujar kata Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menghadiri rapat kerja di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2019.

Pada 2015, defisit BPJS Kesehatan menjadi Rp9,4 triliun, pemerintah pun turun tangan menyuntikkan dana sebesar Rp5 triliun. Lalu, pada 2016 defisit turun sedikit menjadi Rp6,7 triliun.

Setahun kemudian, defisit makin membengkak mencapai Rp13,8 triliun. Pemerintah lagi-lagi menyuntikkan dana Rp3,6 triliun di 2017. Meski ada kucuran dana, defisit kembali meledak di angka Rp19,4 triliun pada 2018.

Menurut Direktur Keuangan BPJS Kesehatan, Kemal Imam Santoso, defisit terjadi karena banyaknya masyarakat yang menunggak. Ada sekitar 15 juta peserta jaminan kesehatan menunggak pembayaran iuran.

Faktor lain penyebab defisit yakni masih banyak badan usaha atau perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya memiliki BPJS Kesehatan.

Selain belum terdaftar, ada juga badan usaha yang dengan sengaja mengurangi jumlah karyawan untuk mengurangi pembayaran kewajiban terhadap negara.

"Ada yang sudah mendaftar tapi jumlah karyawannya dikurang-kurangi. Jadi kalau jumlah karyawannya 100, diakuinya mungkin lebih kecil dari 100 supaya iuran mereka lebih sedikit. Atau, badan usaha yang melaporkan gaji pegawainya direndah-rendahin karena tadi persentasi 5 persen dari penghasilan tetap mereka," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.

 

Pengusaha Keberatan

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan menuai protes pengusaha. Mereka merasa keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan tentu akan menambah beban pengusaha.

Apalagi, belum lama telah terbit aturan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2020 sebesar 8,51 persen.

Ini diungkapkan Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia DKI Jakarta (HIPPI) Sarman Simanjorang.

"Dalam kondisi ekonomi begini sudah pasti menambah beban pengusaha, apalagi tahun depan pengusaha menanggung kenaikan UMP, jika ditambah kenaikan iuran BPJS tentu akan semakin berat," ujar Sarman kepada Liputan6.com, seperti dikutip Kamis (31/10/2019).

Sarman menambahkan, ke depannya pengusaha mungkin akan melakukan perundingan dengan serikat pekerja untuk mencari solusi terbaik, jika beban kenaikan iuran ini dirasa terlalu berat.

Namun demikian, dirinya menganjurkan agar pemerintah menunda kenaikan iuran ini dan mencari alternatif solusi.

"Direksi BPJS harus mampu mencari strategi bagaimana agar masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi membayar iuran BPJS, supaya yang menunggak tidak terlalu banyak," tuturnya.

Strategi Terawan Atasi Defisit BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan
Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto berkunjung ke kantor BPJS Kesehatan, Jakarta Pusat pada Jumat (25/10/2019) untuk membahas lebih lanjut mengenai persoalan yang ada. (Dok Humas BPJS Kesehatan)

Defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan jadi pekerjaan rumah besar bagi Menteri Kesehatan yang baru, dr Terawan Agus Putranto. Presiden Jokowi menegaskan tugas ini saat memperkenalkan Terawan pertama kali sebagai menteri  Kabinet Indonesia Maju. 

"Nanti urusan stunting, industri kesehatan, layanan kesehatan dasar, tata kelola BPJS (Kesehatan) berada di wilayah beliau," kata Jokowi usai memperkenalkan dokter Terawan sebagai Menteri Kesehatan di beranda Istana Merdeka, Rabu, 23 Oktober 2019 pagi.

Dengan resminya kenaikan iuran JKN, Terawan berharap bisa menutup defisit di BPJS Kesehatan. "Kita tinggal memperbaiki tata kelolanya. Ya, jadi tidak defisit lagi di kemudian hari, yang akan merugikan masyarakat sendiri," kata Terawan saat ditemui di Kantor IDI Jakarta pada Rabu (30/10/2019).

Terawan juga mengungkapkan, dengan adanya kenaikan iuran harus diiringi dengan pembenahan di banyak sisi. "Masa iya, naik (iuran) saja. Pasti naik dan dibenahi," lanjutnya. 

Gerakan Moral 

Terawan secara spontan menyatakan akan menyerahkan gaji pertamanya sebagai menteri kepada BPJS Kesehatan guna membantu permasalahan defisit ketika berkunjung ke kantor BPJS Kesehatan, Jumat (25/10) pagi.

"Secara pribadi, saya akan serahkan gaji pertama saya sebagai menteri dan tukin (tunjangan kinerja) saya dan juga nanti Pak Sekjen (Kemenkes) juga menyetujuinya," kata Terawan.

Dalam kesempatan yang berbeda, Terawan kembali menjelaskan mengenai gerakan moral tersebut. "Bukan gaji saya yang akan bisa menutup, tapi gerakan moral yang bisa menutup itu semua," kata Terawan ketika berkunjung ke SCTV Tower, Senayan City, Jakarta, Rabu (30/10). 

"Jangan dilihat dari nilainya, tapi dari gerakan moralnya. Nah, ini kebetulan pas spontan saja. Siapa tahu nanti (dampaknya) jadi bola salju yang besar," lanjutnya. 

Bola salju yang dimaksud Terawan adalah harapan agar gerakan moralnya dapat menggugah individu lainnya untuk bersama-sama mengatasi permasalahan yang ada. Menurut Terawan, pemerintah telah melakukan banyak hal bagi rakyat dan kini saatnya masyarakat melakukan sesuatu. Dia mengibaratkan, saat ini negara tengah menghadapi bencana berupa defisit BPJS Kesehatan, maka sudah selayaknya masyarakat bersatu, bahu-membahu menghadapinya. 

Diharapkan gerakan moral tersebut juga bisa menggugah peserta JKN agar tidak menunggak membayar iuran. 

Bentuk Tim Kecil 

Salah satu strategi Terawan mengatasi defisit yakni dengan membentuk Tim Kecil. Terdiri dari pihak BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan, tim tersebut, kata Terawan, bakal bergerak cepat untuk mengatasi masalah defisit BPJS Kesehatan.

"Tim Kecil jelas membahas langkah-langkah strategis yang diperlukan atau yang sangat diperlukan untuk mengatasi defisit ini. Sehingga bisa mengemukakan secara terbuka apa nantinya langkah-langkah itu, yang intinya adalah membantu masyarakat," kata Terawan di Kantor Pusat BPJS Kesehatan pada Jumat, 25 Oktober 2019. 

Terawan belum mengemukakan banyak soal pembentukan tim ini, termasuk soal berapa jumlah anggota yang akan termasuk di dalamnya. "Bisa 10, bisa 50, bisa 100," kata Terawan ketika menjawab soal jumlah anggota Tim Kecil. 

Pembentukan Tim Kecil mendapat tanggapan dari Ketua Bidang Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar. Menurut Timboel masalah JKN memang rumit dan butuh perhatian khusus dari menteri kesehatan.

"Dengan kehadiran tim yang dijanjikan tersebut seluruh persoalan JKN yang rumit berpotensi bisa diurai untuk mencari solusi secara sistemik. Kuncinya, bila tim terbuka dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan melakukan uji publik," tutur Timboel dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com.  

Ada baiknya, kata Timboel, Terawan kembali membuka dokumen pembicaran rapat di masa kepemimpinan Menteri Kesehatan Nila Moeloek. Hal ini bakal mempermudah tim dalam menemukan solusi mengatasi defisit. 

"Jadi, tim tinggal menyimpulkan dan mengeksekusi masalah dan menemukan solusi. Apalagi Pak Mardiasmo (Wakil Menteri Keuangan 2014-2019) sudah melakukan 152 kali rapat. Dipastikan tingkat pembicaraannya sudah sangat dalam dan detail (rinci) dengan mengkaji seluruh aspek beserta berbagai simulasi kebijakannya," tutur Timboel.

Timboel pun berharap masyarakat bisa ikut berpartisipasi memberi masukan ke Tim Kecil ini. Masukan dari masyarakat bisa membantu menemukan solusi yang ada.

"Bukankah Pasal 96 UU No 12 Tahun 2011 tentang pembuatan peraturan perundang-undangan itu berisi soal membuka ruang ke masyarakat untuk memberikan masukan atas peraturan perundangan yang sedang dibuat. Saya mengapresiasi tim yang terbuka kepada publik dengan mengimplementasikan makna dari Pasal 96 tersebut," kata tuturnya. 

Terawan Bakal Kembalikan Fungsi Puskesmas

Salah satu upaya Terawan di masa kepemimpinannya adalah mengembalikan fungsi puskesmas sebagai fasilitas promotif dan preventif. Selama ini, fungsi dari fasilitas kesehatan tingkat pertama tersebut untuk merawat dan menyembuhkan orang yang sakit. 

"Ke depan konsentrasi pelayanan di puskesmas kembali ke fitrahnya, menjadi promotif dan preventif," kata Terawan belum lama ini.

Jika puskesmas masih berfokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif, maka orientasinya pembayaran layanan kesehatan. "Kalau puskesmas fokusnya ke upaya promotif, orientasinya pada keberhasilan program kerja," kata Terawan.

Upaya promotif dan preventif pada masyarakat memang bisa jadi salah satu langkah penting dalam menurunkan menjaga kesehatan sakit. Karena penyesuaian iuran BPJS Kesehatan saja tidak menjamin defisit JKN tertutup apabila tidak dijalankan bersama dengan pencegahan masalah kesehatan di masyarakat, seperti disampaikan pengamat ekonomi Teguh Dartanto. 

"Mau dinaikkan, disesuaikan terus pun kalau misalnya dari preventif dan promotif care-nya itu tidak ada pasti akan seperti itu terus," kata Teguh yang juga aktif di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini saat berada di Yogyakarta pekan lalu.

Teguh mengatakan bahwa penyesuaian iuran mungkin bisa berjalan dengan baik tapi hanya bersifat sementara saja. Dia mencontohkan Taiwan yang harus berkali-kali menaikkan iuran JKN-nya untuk menutupi defisit yang terjadi beberapa kali.

"Kasus ini terjadi di Taiwan. Asal defisit dia naikkin, nanti balik lagi. Terus tiga sampai empat tahun kembali defisit lagi, naikkan lagi. Artinya memang, mau tidak mau preventif dan promotif care itu perlu," kata Teguh yang juga Ketua Klaster Penelitian Kemiskinan, Perlindungan Sosial, dan Pembangunan Manusia Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI tersebut.

Bekerja Sama dengan Perhimpunan Dokter

Langkah lain yang Terawan lakukan untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan dengan turun langsung berdiskusi dengan perhimpunan dokter. 

Terawan mencontohkan salah satu pembiayaan terbesar BPJS Kesehatan yaitu pada penyakit jantung.

"Kalau sekarang masalah jantung, tadi saya lihat yang tagihannya sampai 10 triliun, ya saya sampai dalam waktu dekat selaku Menkes beserta Ketua BPJS akan memanggil dengan penuh kesadaran kepada ketua perhimpunan yang menyangkut masalah jantung, untuk duduk bersama," kata dokter kelahiran Yogyakarta ini.

Apabila ada rasa sungkan dari perhimpunan untuk datang langsung menemuinya, ia akan terjun langsung menemui para dokter tersebut.

"Kalau mereka sungkan datang ke kantor kami, saya berdua (bersama Direktur Utama BPJS Kesehatan) yang akan mendatangi kantor organisasinya," kata Terawan.

Selain itu, Terawan juga bakal mengoptimalkan layanan kesehatan ke pasien. Dokter berlatar belakang spesialis radiologi ini ingin mengefisienkan tindakan tanpa mengurangi kualitas layanan. 

"Optimalisasi manfaat. Kalau melakukan tindakan-tindakan yang ndak optimal harus dioptimalkan bukan mengurangi manfaat. Jangan keliru lho. Tindakan belum tentu bermanfaat tapi mengoptimalkan manfaat itu penting sekali," tuturnya. 

Respons YLKI

BPJS Kesehatan Malang
Peserta Jaminan Kesehatan Nasional di BPJS Kesehatan Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi angkat suara perihal kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen untuk semua kelas. 

Dari sisi finansial, kenaikan tersebut bisa menjadi solusi atas defisit finansial BPJSKes. Namun jika dilihat dari aspek yang lebih luas, kebijakan ini bisa memicu hal yang kontra produktif bagi BPJSKes

Menurut dia, setidaknya ada dua hal yang bisa memicu fenomena kontra produktif. Pertama, akan memicu gerakan turun kelas dari para anggota BPJKes. Misalnya dari kelas satu turun ke kelas dua, dan lainnya.

Kedua, akan memicu tunggakan yang lebih masif, khususnya dari golongan mandiri, yang saat ini tunggakannya mencapai 46 persenan.

"Jika kedua fenomena itu menguat, maka bisa menggegoroti finansial BPJSKes secara keseluruhan," ujar dia melalui keterangan tertulis, Rabu (30/10/2019).

Dia mengatakan, seharusnya, sebelum menaikkan iuran BPJS Kesehatan, pemerintah dan managemen BPJSKes melakukan langkah langkah strategis. Seperti melakukan cleansing data golongan PBI.

Sebab banyak peserta PBI yang salah sasaran. Banyak orang mampu yang menjadi anggota PBI. Di lapangan, banyak anggota PBI yang diikutkan karena dekat dengan pengurus RT/RW setempat.

Jika cleansing data dilakukan secara efektif, maka peserta golongan mandiri kelas III langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI.

Dari sisi status sosial ekonomi golongan mandiri kelas III sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran.

Kemudian mendorong agar semua perusahaan menjadi anggota BPJSKes, atau melakukan audit perusahaan yang memanipulasi jumlah karyawannya dalam kepesertaan BPJSKes.

Sampai detik ini masih lebih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai anggota BPJSKes dari pada yang sudah menjadi anggota.

Ketiga, mengalokasikan kenaikan cukai rokok secara langsung untuk BPJSKes. Baru saja Menkeu menaikkan cukai rokok sebesar 25 persen.

Kenaikan cukai rokok dinilai penting untuk dialokasikan karena dampak eksternalitas negatif rokok. Ini seharusnya dialokasikan untuk penanggulangan aspek preventif promotif produk yang dikonsumsinya. 

Jika ketiga poin itu dilakukan maka secara ekstrim kenaikan iuran BPJSKes tidak perlu dilakukan. "Atau setidaknya tidak perlu naik sampai 100 persen," ungkap dia. 

Pasca kenaikan iuran, YLKI meminta pemerintah dan manajemen BPJSKes untuk menjamin pelayanan yang lebih prima dan andal.

"Tidak ada lagi diskriminasi pelayanan terhadap pasien anggota BPJSKes dan non BPJSKes, tidak ada lagi faskes rujukan yang menerapkan uang muka untuk pasien opname," kata dia. 

YLKI juga mendesak pihak faskes, khususnya faskes rujukan untuk meningkatkan pelayanan, dengan cara melakukan inovasi pelayanan di semua lini, baik layanan di IGD, poli klinik dan instalasi farmasi. 

Reporter: Athika Rahma

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya