Liputan6.com, Jakarta Tahun 2011, Servasius Bambang Pranoto tiba-tiba tidak bisa mengontrol kakinya usai sebuah kecelakaan yang membuatnya terperosok ketika melewati jalan tanah di Bali. Dari situ, cerita kesuksesannya dalam membesarkan minyak kutus-kutus dimulai.
Ditemui di presidential suite sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Bambang menceritakan dia sempat membawa kakinya ke tukang pijat tapi tak kunjung sembuh. Ketika dibawa ke dokter, ia juga tidak menemukan solusinya dan malah diberikan daftar penyakit.
Baca Juga
Ketika dilanda masalah itu, Bambang pun memutuskan untuk menyendiri dan merenung. Kala menyepi itulah dia mendapatkan ilham untuk membuat sebuah minyak.
Advertisement
"Di situ mulai perenungan saya. Akhirnya, untuk bisa sembuh saya harus bikin minyak," kata Bambang ketika ditemui Health Liputan6.com pada Rabu kemarin, ditulis Jumat (6/12/2019).
"Begitu saya dapat (bahan-bahannya), karena dalam perenungan itu kan tidak ada text book, saya cocokkan dengan hasil penelitian tumbuhan LIPI, itu semua yang ada di dalam otak saya memang berguna semua,"Â kata pria yang tahun depan akan 65 tahun ini.
Bermodalkan intuisi dan pengalaman dalam mempelajari penyembuhan tradisional dari alam ketika mengobati istrinya, dia pun memutuskan membuat minyak kutus-kutus. Tak lama usai menggunakan ciptaannya sendiri, tak ada keluhan lagi pada kakinya.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Sempat Ditegur BPOM
Nama "kutus-kutus" sendiri berarti "88" yang bentuknya tidak putus. Selain itu, dalam filosofi Tionghoa, meski dirinya bukan beretnis Cina, menurutnya angka ini adalah angka yang baik.
Awalnya, Bambang hanya membagikan minyak ciptaannya ke orang-orang di sekitarnya saja. Setelah dirasa manfaatnya, seorang teman menyarankannya untuk menjual produk buatannya.
Bambang pun memulai produksi minyak kutus-kutus dari dapur rumahnya sendiri secara tradisional. Walau begitu, dia sempat mendapat teguran dari beberapa instansi yang mengkritik caranya dalam membuat produk tersebut yang dianggap tidak sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik.
"Empat tahun baru saya dapat (izin edar BPOM)," kata Bambang sambil tertawa.
Baru di tahun 2017, produknya baru mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Waktu itu tidak dikasih-kasih karena kami masih pakai alu. Masaknya di dapur. (Dibilang) 'Mas kalau bikin obat bukan di dapur' (saya jawab) 'Mbah saya kalau bikin obat di dapur,'" selorohnya.
Namun, dia tidak menampik apabila sejak 2011 hingga mendapatkan izin edar tersebut produknya dijual tanpa izin.
"Jadi bukan sederhana saja, kita jual tanpa izin. Minta maaf, karena permintaan. Kalau itu mau disalahin ya tidak apa, yang penting Indonesia merdeka. Hahahaha."
Advertisement
Tak Semua Harus Dijelaskan dengan Ilmiah
Bisnis yang digelutinya pun semakin besar. Bambang pun mulai menggunakan mesin untuk tumbuk walau tidak sepenuhnya menggantikan tenaga manusia.
Menurutnya, selain karena mesin membutuhkan biaya dan perawatan yang mahal, tenaga manusia memiliki alur yang kompleks. Contohnya, membeli makanana untuk pegawai itu berarti dia juga menguntungkan petani.
"Saya ingin kutus-kutus ini membongkar segala paradigma terhadap yang tua, yang tradisional. Justru yang tradisional itu solusi terbaik."
Minyak kutus-kutus yang ia ciptakan sempat mengundang kontroversi. Khususnya dari para praktisi kesehatan. Namun, alumni SMA De Britto Yogyakarta itu tidak terlalu ambil pusing soal pendapat orang lain.
"Dia nyerang karena tidak ada ilmiahnya sama sekali," kata ayah dari empat orang anak itu.
"Pernah ketemu Tuhan tidak? Tidak semua harus dijelaskan secara ilmiah. Kita tahu efeknya, sejak kenal Tuhan hidup saya jadi baik ya. Tidak tahu munculnya bagaimana, penyebabnya bagaimana, susah (dijelaskan). Begitu pula kutus-kutus."
Bambang mengatakan bahwa konsep pemikiran yang terlalu bergantung pada sesuatu yang ilmiah muncul karena saat ini masyarakat teah meninggalkan akar kebudayaan yang diberikan oleh nenek moyang.
Bambang mengungkapkan, kebudayaan timur menyatakan bahwa penyembuhan sesungguhnya berasal dari dalam diri kita sendiri. Khususnya pikiran.
"Jadi kutus-kutus tidak dibuat untuk menyembuhkan tapi membangunkan kekuatan kita agar kekuatan kita bisa menyembuhkan diri kita sendiri," kata Bambang.
Untuk bahan dalam minyak kutus-kutus, Bambang menggunakan konsep keharmonisan untuk penyembuhan. "Makanya kok sakit disuruh berdoa. Kan tidak masuk akal. Tapi karena berdoa itu harmonis."
Menjajah Eropa
Hanya menjual lewat media sosial Facebook, bisnis minyak kutus-kutus semakin besar. Bahkan dalam setahun, setidaknya Bambang bisa menjual hingga 4,7 juta botol lewat para agen dan reseller.
Bambang sendiri tidak takut apabila ada oknum nakal yang menyalahgunakan bisnis yang telah dipercayakan padanya itu.
"Saya prinsipnya biarkan. Karena alam semesta saya yakin punya koreksi sendiri. Orang-orang yang nakal itu akan terkoreksi sendiri, tidak tahu bagaimana," kata Bambang.
Meski sudah memiliki beberapa agen kecil di negara lain, baru-baru ini, Bambang juga telah membeli sebuah rumah di Amsterdam, Belanda yang nantinya digunakan sebagai kantor cabang perusahaan yang dimilikinya. Dia berharap agar 2024, minyak kutus-kutus bisa merambah ke Eropa.
"Eropa jauh lebih appreciate untuk hal-hal semacam itu daripada Amerika atau negara Asia. Negara Asia hampir semua punyak minyak, kita tidak enak bertarung dengan minyak lokal," ujarnya.
Berdasarkan sejarah juga, orang-orang Eropa juga datang ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah bahkan hingga melakukan penjajahan.
"Nah sekarang kita kembali ke Eropa, tapi bukan Eropa yang menjajah kita tapi kita yang menjajah mereka," katanya sembari terkekeh.
Terkait apakah resep beserta bisnis minyaknya akan diturunkan ke anak-anaknya, Bambang, sambil tertawa berkata: "Wong saya masih ada. Hahahaha"
Advertisement