CISDI: Cukai Rokok Idealnya Dinaikkan dengan Cepat, JKN Perlahan

CISDI berpendapat bahwa kenaikan cukai rokok seharusnya dilakukan dengan lebih cepat daripada iuran kesehatan

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 17 Des 2019, 08:00 WIB
Diterbitkan 17 Des 2019, 08:00 WIB
Berhenti Merokok
Ilustrasi Foto Stop atau Berhenti Merokok (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Beberapa waktu yang lalu, pemerintah telah resmi menaikkan biaya iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Di sisi lain, cukai rokok pun juga akan dinaikkan.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pembina dan Pendiri Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives Diah Saminarsih memberikan pendapatnya soal kenaikan dua hal tersebut.

"Cukai (rokok) itu harus dikasih kenaikan yang melonjak. Jadi apa yang dilakukan ibu Sri Mulyani itu tepat sekali," kata Diah ketika ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu, ditulis Senin (16/12/2019).

"Kenaikan iuran JKN di sisi lain, harusnya dinaikkan pelan-pelan. Jadi yang satu naiknya cepat, iuran kesehatan harusnya pelan-pelan," kata Diah.

Diah berpendapat, kenaikan JKN secara cepat yang terjadi saat ini bisa dikarenakan belum adanya penyesuaian sebelumnya. Namun ia berharap agar apabila nanti akan terjadi penyesuaian lagi, cukai rokok bisa naik dengan cepat dan iuran kesehatan bisa disesuaikan lebih perlahan.

Simak juga Video Menarik Berikut Ini

Penguatan Puskesmas

Sumsel Rencana Ajukan Program Jamsoskes ke Presiden Jokowi
Warga Sumsel saat ini masih menggunakan JKN BPJS Kesehatan (Liputan6.com / Nefri Inge)

Diah juga mengatakan bahwa untuk mengatasi defisit JKN yang semakin membengkak, diperlukan penguatan pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas.

Selama ini, banyaknya pasien yang memilih langsung berobat ke rumah sakit menjadi salah satu penyebab defisitnya JKN.

"Idealnya adalah yang ke rumah sakit itu tidak lebih dari, kalau tidak salah, lima persen. Yang saat ini terjadi di Indonesia, yang ke rumah sakit itu 17 persen. Itulah yang menyebabkan kenapa defisit," katanya

Diah mengungkapkan, adanya dana kapitasi sebesar tiga triliun yang baru-baru ini ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan mengendap di puskesmas, sesungguhnya bisa digunakan untuk memperkuat layanan kesehatan primer.

"Harusnya tiga triliun itu dipakai untuk menjaga kesehatan, untuk mengobati, dan untuk paliatif, untuk orang yang sudah akan meninggal," kata Diah.

Menurutnya, apabila digunakan dengan optimal, dana kapitasi seharusnya bisa dipakai untuk promotif, preventif, pengadaan obat dan teknologi, peningkatan kualitas tenaga kesehatan, serta berbagai hal yang diperlukan agar puskesmas bisa memberikan layanan yang berkualitas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya