Dokter: Kanker Paru yang Terlihat Sekarang, Efek Merokok 20 Tahun yang Lalu

Dokter paru menjelaskan, efek merokok untuk menjadi kanker paru tidak terbentuk secara langsung

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 29 Agu 2020, 18:00 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2020, 18:00 WIB
Ilustrasi merokok/Unsplash Pascal
Ilustrasi merokok/Unsplash Pascal

Liputan6.com, Jakarta - Kanker paru merupakan salah satu jenis kanker yang masih menjadi masalah kesehatan besar di Indonesia. Para dokter menilai, tingginya jumlah perokok memiliki hubungan dengan banyaknya penderita penyakit tersebut.

Dokter spesialis paru Sita Laksmi Andarini dalam seminar daring yang diadakan pada Rabu (27/8/2020) mengatakan, kebiasaan merokok yang menimbulkan kanker paru umumnya tidak akan terjadi dengan cepat.

"Faktor untuk merokok dengan terjadinya kanker paru memang 20 tahun," kata Sita yang juga Wakil Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

"Yang saat ini kita lihat kanker paru dimana-mana, itu adalah efek 20 tahun yang lalu," ujarnya.

Dalam pemaparannya, Sita mengungkapkan di tahun 2011, 67,4 persen pengguna tembakau di Indonesia adalah pria dewasa.

"Kalau dari belanja rumah tangga, 11 persen itu dibelanjakan untuk beli rokok. Kalau kita lihat, itu sama dengan belanja protein untuk keluarga," kata Sita saat mempresentasikan pembelanjaan pendapatan rumah tangga di Indonesia tahun 2005.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini


Bukan Perokok Tak Serta Merta Tanpa Risiko

Kanker paru-paru
Selain pengobatan, kualitas hidup yang baik dapat membantu pasien kanker paru-paru untuk sembuh. (Foto: Unsplash)

Namun, mereka yang bukan perokok aktif pun juga tidak serta merta terhindar dari bahayanya.

"Perokok aktif itu mendapatkan risiko kanker paru 13,6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan tidak merokok," kata Sita yang juga Wakil Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PDPI ini.

Sementara pada perokok pasif, Sita menyebutkan bahwa risiko terkena kanker parunya adalah 4 kali lipat jika dibandingkan mereka yang tidak terpapar asap rokok.

Selain itu, ada juga beberapa orang yang meski tak pernah terpapar asap rokok atau bukan perokok aktif, tetapi tetap berisiko mengalami kanker paru.

"Yang bukan perokok aktif dan bukan perokok pasif (risiko) mendapatkan kanker tergantung genetic susceptibility. Dalam tanda kutip (seperti) dapat lotre," ungkapnya.

Terkait faktor genetik, Sita mengatakan bahwa sampai saat ini para ahli masih mencari tahu mengenai kerentanan seseorang terhadap kanker paru secara genetik.


Pilihan Pengobatan Kanker Paru

Dokter spesialis paru Erlang Samoedro, Sekretaris Umum PDPI mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan prevalensi rokok yang tinggi. Hal inilah yang juga terkait erat dengan angka kejadian kanker paru di tanah air.

"Untuk menekan prevalensi kanker paru di Indonesia perlu pengendalian dan penurunan prevalensi rokok serta pengendalian polusi udara," ujarnya.

Ia juga menyebutkan, saat ini pengobatan kanker paru di Indonesia sudah tersedia dalam beberapa pilihan seperti operasi, kemoterapi, terapi radiasi, terapi target, hingga imunoterapi.

Sita menambahkan, saat ini, kombinasi kemoterapi dan imunoterapi menjadi salah satu standar baru pengobatan kanker paru.

"Kehadiran imunoterapi menjawab tantangan dari metode pengobatan kanker terdahulu, yaitu peningkatan respons terapi dan peningkatan kualitas hidup. Terobosan pengobatan kanker paru saat ini dapat memberikan optimisme dan proses pengobatan yang lebih baik, khususnya bagi pasien kanker sehingga bisa memberikan hidup yang berkualitas," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya