Keuntungan yang Indonesia Dapat Jika Menaikkan Harga Rokok

Kebijakan cukai produk tembakau sebagai pungutan terhadap barang yang konsumsinya harus dikendalikan adalah kebijakan strategis yang dapat memengaruhi penentuan harga rokok di pasaran.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 01 Okt 2020, 21:00 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2020, 21:00 WIB
Sebagian besar pengguna rokok elektrik mengatakan menggunakan rokok yang satu ini sebagai cara berhenti merokok. (Foto: Awan Harinto)
Sebagian besar pengguna rokok elektrik mengatakan menggunakan rokok yang satu ini sebagai cara berhenti merokok. (Foto: Awan Harinto)

Liputan6.com, Jakarta Kebijakan cukai produk tembakau sebagai pungutan terhadap barang yang konsumsinya harus dikendalikan adalah kebijakan strategis yang dapat memengaruhi penentuan harga rokok di pasaran.

Dengan kenaikan tarif cukai produk tembakau, Indonesia berpotensi mendapatkan berbagai hadiah bernilai tinggi seperti pemulihan ekonomi dan kesehatan dari dampak pandemi COVID-19, meningkatkan kualitas hidup petani melalui DBHCHT, mendorong pencapaian target RPJMN dan SDGs, serta dengan ini negara memberikan perlindungan kelompok rentan (anak-anak, perempuan, dan keluarga miskin).

Hadiah turunannya adalah penurunan prevalensi perokok anak, penekanan stunting dan penyakit-penyakit tidak menular berisiko kematian, serta peningkatan pembangunan daerah melalui pajak rokok daerah.

Dengan demikian, sebagai bangsa yang besar dan bertanggung jawab pada 270 juta rakyatnya, Indonesia benar-benar dapat pulih kembali, bukan hanya dari pandemi COVID-19, tapi kehidupan secara keseluruhan.

Selama ini, proses penentuan tarif cukai dilakukan Kementerian Keuangan (UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai). Seperti yang digambarkan dalam CISDI Magazine vol.1, penentuan tarif cukai rokok di Indonesia setiap tahunnya selalu diwarnai perdebatan antara pendukung upaya pengendalian tembakau dan pendukung industri rokok.

Keengganan Kementerian Keuangan untuk mengambil kebijakan cukai yang efektif kebanyakan dikarenakan kekhawatiran akan rokok ilegal dan dampaknya terhadap industri kecil serta pekerja dan petani yang bergantung pada industri tembakau.

Untuk mendukung pemerintah dan membuktikan bahwa kekhawatiran-kekhawatiran tersebut tidak benar, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Komnas Pengendalian Tembakau, Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI, dan Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T) mengadakan simposium.

Simposium yang mengundang para pemangku kebijakan terkait ini bertujuan untuk mengumpulkan dukungan masyarakat untuk kenaikan harga rokok melalui kebijakan cukai demi melindungi masyarakat dari konsumsi rokok yang merugikan kesehatan dan ekonomi.

Dalam simposium ini masyarakat diajak untuk memberikan dukungan melalui PulihKembali.org dan meyakinkan pemerintah bahwa menaikkan cukai produk tembakau adalah pilihan mutlak bagi Indonesia, terutama di masa sulit menuju resesi saat ini.

“Semakin tinggi kenaikan cukai, semakin besar hadiah yang didapatkan,” dikutip dari rilis yang diterima Health-Liputan6.com pada Rabu (30/9/2020).

Simak Video Berikut Ini:

Konsumsi Rokok di Indonesia

Indonesia adalah negara dengan konsumsi rokok kedua tertinggi di dunia menurut Tobacco Atlas 2016. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018) 62.9 persen laki-laki usia lebih dari 15 tahun adalah perokok.

Selain itu, 9,1 persen anak usia 10-18 tahun juga telah mulai merokok. Tingginya konsumsi rokok di Indonesia disinyalir memperparah kondisi kemiskinan karena mayoritas perokok termasuk dalam golongan ekonomi menengah ke bawah.

Menurut Komnas Pengendalian Tembakau, Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI adiksi rokok mendorong perokok untuk terus mengorbankan belanja kebutuhan primer untuk membeli rokok.

Keluarga penerima bantuan sosial yang merokok cenderung memiliki kondisi sosio-ekonomi yang lebih buruk jika dibandingkan dengan penerima bantuan sosial yang tidak merokok.

Studi lanjutan PKJS-UI terhadap 10 anggota keluarga penerima bantuan sosial di Kota Malang dan Kabupaten Kediri menunjukkan, keluarga penerima Program Keluarga Harapan masih belum mampu memenuhi kebutuhan penting akibat tingginya pengeluaran untuk belanja rokok (PKJS UI 2019).

Menurut Hasil Kajian CISDI

Selain menjadi beban bagi keluarga miskin, tingginya konsumsi rokok dalam jangka panjang akan menyebabkan penyakit kronis tidak menular yang membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi.

Seperti hasil kajian CISDI menggunakan data tahun 2019 (CISDI, Forthcoming), beban ekonomi merokok yang mencakup biaya langsung (direct cost) dan tidak langsung (indirect cost), mencapai Rp 446.73 triliun atau sama dengan 2.9 persen pendapatan nasional bruto.

Beban biaya ini diperkirakan akan terus meningkat jika prevalensi perokok saat ini tidak dikendalikan. Salah satu faktor penyebab tingginya konsumsi rokok di Indonesia adalah tingkat keterjangkauan yang tinggi.

Rokok dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja, bahkan oleh anak-anak dan remaja, dan keluarga miskin, dengan harga yang sangat murah. Dengan Rp 1000 saja per batang, rokok dapat dibeli eceran.

Sementara, menurut hasil survei yang dilakukan oleh PKJS UI (2018), perokok berpikir untuk berhenti merokok jika harga rokok dinaikan hingga Rp70.000 per bungkus. Angka ini masih jauh dari kenyataan.

Infografis Rokok

Infografis Merokok Sambil Berkendara Didenda Rp 750 Ribu
Infografis Merokok Sambil Berkendara Didenda Rp 750 Ribu. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya