CT Value Bukan Penentu Derajat Keparahan COVID, Ini Fungsi Sebenarnya

Erlina menekankan bahwa CT Value bukan penentu kesembuhan seseorang

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 25 Feb 2022, 17:00 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2022, 17:00 WIB
FOTO: Thailand Laporkan Kasus Harian COVID-19 Terbesar Sejak Pandemi
Petugas kesehatan dengan alat pelindung diri (APD) mencatat hasil tes antigen COVID-19 di Gedung Pemerintah, Bangkok, Thailand, Kamis (24/2/2022). Thailand melaporkan jumlah infeksi COVID-19 harian baru terbesar sejak awal pandemi. (Jack TAYLOR/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Pokja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Erlina Burhan mengatakan bahwa masyarakat tidak usah lagi memermasalahkan terkait CT value.

Cycle Threshold atau CT value adalah banyaknya siklus yang dihasilkan dalam mencari genetika virus dalam hal ini SARS-CoV-2 atau virus Corona penyebab COVID-19.

Di atas 40 dianggap negatif COVID-19 dan jika di bawah 40 artinya positif.

Menurut Erlina, masyarakat tidak usah lagi memusingkan nilai CT karena tidak menunjukkan kemampuan infeksi yang sebenarnya dari virus.

“Bisa jadi kalau serpihan-serpihan atau sisa-sisa DNA dari virus itu banyak sekali, maka nilai CT-nya juga rendah," kata Erlina dalam konferensi pers daring bersama Kemenkes RI pada Jumat, 25 Februari 2022.

Padahal, lanjut Erlina, kalau dilihat dari durasi waktunya mungkin saja itu sebetulnya hanya virus-virus yang sudah tidak aktif.

“Jadi, saya kira nilai CT tidak usah menjadi permasalahan lagi, tidak usah lagi dijadikan patokan,” Erlina melanjutkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Berikut Ini


Yang Menjadi Patokan

Sedangkan, yang dapat menjadi patokan adalah durasi infeksi dan gejala klinis yang ditimbulkan saat terjangkit COVID-19.

“Yang jadi patokan adalah lama atau durasi gejala kemudian keluhan klinisnya.”

Ia menambahkan bahwa virus memiliki masa hidup tersendiri. Hal ini sudah diteliti sejak 2020 bahwa SARS-Cov2 ini biasanya setelah 10-14 hari sudah tidak infeksius.

“Setelah 10-14 hari sudah tidak aktif lagi sehingga kalaupun positif biasanya itu adalah hanya DNA virus yang terdeteksi karena alat deteksi PCR itu memang sangat akurat bisa mendeteksi DNA virus tanpa tahu virus itu aktif atau tidak,” kata Erlina.

“Jadi bisa kita simpulkan, walau positif kalau sudah lebih dari 10 hari itu sudah tidak infeksius.”


Durasi Isoman yang Memenuhi Syarat

Mengingat yang menjadi patokan adalah durasi infeksi dan gejala klinis, maka isolasi mandiri atau terpusat selama 10-13 hari sudah terbilang cukup.

Erlina juga berpendapat bahwa isoman 10 hari terutama bagi pasien tanpa gejala adalah kurun waktu yang sudah memenuhi syarat. Namun, setelah 10 hari bukan berarti penyintas menjadi abai.

“Jangan sampai setelah 10 hari kita malah enggak pakai masker. Kita saat enggak sakit pun pakai masker kan jadi tetep protokol kesehatan. Sakit enggak sakit, tetep protokol kesehatan,” katanya.

 


Infografis Ayo Jadikan 2022 Tahun Terakhir Indonesia dalam Masa Pandemi COVID-19

Infografis Ayo Jadikan 2022 Tahun Terakhir Indonesia dalam Masa Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Ayo Jadikan 2022 Tahun Terakhir Indonesia dalam Masa Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya