Pakar Farmasi: Say No Legalisasi Ganja meski untuk Medis

Pakar farmasi UGM, Zullies, menyarankan yang dapat dilegalkan adalah senyawa turunan ganja seperti cannabidiol. Bukan tanaman ganja.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Jul 2022, 15:00 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2022, 15:00 WIB
Bagaimana Ganja Medis Bisa Tangani Cerebral Palsy, Ini Penjelasan Peneliti Ganja
Ilustrasi daun ganja.(Sumber foto: Pexels.com)

Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zullies Ikawati mengusulkan agar ganja tidak dilegalisasi meski untuk tujuan medis. Ia menyarankan yang dapat dilegalkan adalah senyawa turunan ganja seperti cannabidiol. Bukan tanaman ganja.

"Mudah-mudahan banyak sepakat dengan saya, bahwa say no untuk legalisasi ganja walaupun memiliki tujuan medis," ujar Zullies dalam webinar Jalan Panjang Legalisasi Ganja Medis pada Rabu, 6 Juli 2022.

Ia berharap tanam ganja dan semua bagian yang masuk dalam genus Cannabis mulai dari bagian tanaman hingga olahan termasuk dalam narkotika golongan I.

Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk menyebabkan ketergantungan.

Terkait ganja untuk medis, Zullies mengatakan yang dapat dilegalkan adalah senyawa turunan ganja seperti cannabidiol. Senyawa tersebut tidak bersifat psikoaktif dan bisa digunakan sebagai obat berdasarkan uji klinis yang telah banyak dilakukan.

"Maka, (cannabidiol) bisa masuk ke dalam golongan II bahkan III karena tidak berpotensi untuk disalahgunakan, mengingat sifatnya yang tidak psikoaktif," ujar Zullies mengutip Antara.

 

Ganja

Bagaimana Ganja Medis Bisa Tangani Cerebral Palsy, Ini Penjelasan Peneliti Ganja
Ilustrasi minyak CBD (Cannabidiol). (Sumber foto: Pexels.com).

Proses legalisasi senyawa turunan ganja tersebut harus mengikuti kaidah pengembangan obat dengan menggunakan data uji klinis terkait.

Zullies menekankan bahwa nantinya regulasi terkait senyawa dari tanaman ganja tidak bisa seperti obat herbal.

"Kita juga tidak bisa menggunakan regulasi seperti obat herbal. Meski ini seperti obat herbal, sama-sama dari tanaman, tapi tidak bisa begitu, karena (tanamannya) mengandung senyawa yang memabukkan," imbuh Zullies.

Ia juga menekankan pentingnya  koordinasi dari semua pihak terkait yakni DPR, Kementerian Kesehatan, Badan Narkotika Nasional (BNN), hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membuat regulasi pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja.

"Kita memang harus terbuka bahwa kemungkinan ganja merupakan sumber dari suatu obat. Tapi, tentu harus dipertimbangkan semua risiko dan manfaatnya," kata Zullies.

Bahaya Jika Tanaman Ganja Dilegalisasi

Kemenkes Segera Terbitkan Regulasi Riset Ganja Medis di Indonesia
Sudah melakukan kajian, regulasi yang mengatur pelaksanaan riset ganja untuk kebutuhan medis sebentar lagi keluar. (Pexels/sharon mccutcheon).

Zullies menyorot ada potensi penyalahgunaan ganja yang besar jika tanaman ganja dilegalisasi. Dia mengacu pada narkotika lain seperti morfin yang saat ini dapat diresepkan sebagai obat. Namun, tanaman penghasilnya yakni opium tetap masuk dalam narkotika golongan I yang tidak dapat dijadikan terapi pengobatan.

"Kita bisa mengacu pada narkotika lain seperti morfin. Morfin itu kan obat, bisa diresepkan untuk nyeri kanker yang berat. Tapi opiumnya, tanaman penghasilnya, tetap masuk golongan I karena potensi penyalahgunaannya besar," katanya.

"Ganja juga seperti itu. Kalau ganja masuk golongan II misalnya dan dibolehkan, akan ada banyak penumpang gelapnya. Karena berapa persen sih, orang yang benar-benar membutuhkan ganja untuk medis? Nanti akan susah lagi untuk mengaturnya," sambungnya.

Kemenkes Bakal Lakukan Riset

Intip Suasana Perkebunan Ganja di Afghanistan
Seorang petani bekerja di perkebunan ganja di distrik Panjwai Kandahar (13/10/2021). Sebagian besar penduduk di Panjwai Kandahar adalah petani dan berpendidikan rendah karena tidak tersedianya sekolah. (AFP/Javed Tanveer)

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan kajian penelitian dengan melibatkan perguruan tinggi. Dalam kajian penelitian untuk riset ganja medis juga memerlukan laboratorium dan sumber daya manusia.

Riset ganja medis tersebut disampaikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin. Fasilitas laboratorium pun sudah tersebar, salah satunya Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional di bawah naungan Kemenkes di Tawangmangu, Jawa Tengah.

"Fasilitas kita tersedia untuk riset ganja. Yang pertama, kita mesti punya lab-nya. Yang kedua, kita mesti punya orangnya (sumber daya manusia)," terang Budi Gunadi saat berdialog dengan wartawan di Gedung Kementerian Kesehatan RI Jakarta pada Rabu, 29 Juni 2022.

"Lab untuk riset ini banyak. Salah satu yang kita punya ya di Tawangmangu."

Budi Gunadi kembali menekankan, hasil riset yang dilakukan untuk ganja hanya ditujukan untuk medis saja, bukan konsumsi. Dari hasil riset akan diperoleh, apa saja layanan medis yang dapat diberikan dari penggunaan ganja.

"Soal ganja itu tahapannya riset dulu. Nanti habis riset kita tahu untuk digunakan buat medis, bukan untuk konsumsi. Jadi, buat medisnya apa saja. Mungkin bisa lah, misalnya, satu dua, atau tiga layanan medis bisa kita berikan dengan berbasis ganja," tegasnya.

"Nah, habis itu kemudian dilakukan proses produksinya. Tapi itu dilakukan tahap kedua ya. Tahap pertama tadi riset dulu biar ketahuan (manfaat medis)."

Ilustrasi pengemasan daun ganja untuk pengobatan medis
Ilustrasi pengemasan daun ganja untuk pengobatan medis
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya