COVID-19 hingga Perubahan Iklim Berkontribusi pada Kasus Kelaparan dan Kerawanan Pangan

Dampak sosial ekonomi pandemi COVID-19, berbagai konflik, dan perubahan iklim menyebabkan sebagian besar populasi global menghadapi kelaparan dan kerawanan pangan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 15 Agu 2022, 15:00 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2022, 15:00 WIB
[Fimela] Kelaparan
Selama pandemi Corona, UNICEF melaporkan jumlah balita kelaparan di dunia meningkat. | dok. SOGO

Liputan6.com, Jakarta Dampak sosial ekonomi pandemi COVID-19, berbagai konflik, dan perubahan iklim menyebabkan sebagian besar populasi global menghadapi kelaparan dan kerawanan pangan.

Sekitar 10 persen dari populasi global – sekitar 768 juta orang – menghadapi kelaparan dan kekurangan gizi pada tahun 2020. Lebih dari 750.000 orang diperkirakan akan menghadapi kelaparan dan kematian pada tahun 2022.

Menurut peneliti dari Thammasat University, Thailand, Prapimphan Chiengkul, berdasarkan tren saat ini, dunia akan gagal mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2 (SDG2), yang bertujuan untuk mencapai situasi tanpa kasus kelaparan (zero hunger) pada 2030.

Di Asia Tenggara, 7,3 persen populasi kekurangan gizi sementara 18,8 persen menghadapi kerawanan pangan sedang atau parah pada tahun 2020.

Pada tahun yang sama, 27,4 persen anak-anak di bawah umur lima tahun di Asia Tenggara menderita pertumbuhan yang terhambat. Ini kebanyakan terjadi pada anak-anak dari latar belakang keluarga miskin dan yang tidnggal di daerah pedesaan.  

Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa kemajuan signifikan telah dibuat di negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk mengatasi kerawanan pangan dan kekurangan gizi dalam beberapa tahun terakhir. Namun, investasi yang lebih bertarget dan peningkatan program gizi diperlukan jika ASEAN bertujuan untuk memenuhi target gizi global SDG2 dan 2025.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Lebih dari Sekadar Jumlah Makanan yang Tersedia

Potret anak-anak yang terancam kelaparan akut akibat Perang Yaman (AP/Hani Mohamed)
Potret anak-anak yang terancam kelaparan akut akibat Perang Yaman (AP/Hani Mohamed)

Ketahanan pangan mencakup lebih dari sekadar jumlah makanan yang tersedia. Definisinya juga mencakup kemampuan masyarakat untuk membeli makanan bergizi dalam jumlah yang cukup dan apakah mereka dapat melakukannya secara konsisten.

Di Asia Tenggara, pandemi dan perang di Ukraina telah sangat mengganggu rantai pasokan makanan, yang berkontribusi pada harga yang lebih tinggi. Gangguan tersebut termasuk pengurangan pasokan tenaga kerja karena pembatasan perjalanan yang menghambat transportasi pertanian-pangan.

“Apalagi, hampir tiga perempat rumah tangga ASEAN mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi. Semua ini berdampak buruk pada kemampuan orang untuk membeli makanan yang cukup,” kata Prapimphan mengutip Channel News Asia, Senin (15/8/2022).

Negara-negara termiskin di Asia Tenggara adalah yang paling terdampak. Ironisnya, di Thailand – negara yang telah mempromosikan dirinya sebagai “Dapur Dunia” – hampir 30 persen warga mengalami kerawanan pangan sedang atau berat antara 2018 dan 2020. Sebelumnya, antara 2014 dan 2016 angka tersebut sekitar 15 persen.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Diperumit Perubahan Iklim

[Bintang] Zimbabwe
Ilustrasi anak Zimbabwe yang kelaparan. (niketalk.com)

Prapimphan menambahkan, inflasi harga pangan dan penurunan pendapatan telah memaksa banyak rumah tangga berpenghasilan rendah di negara-negara seperti Laos, Malaysia, dan Kamboja untuk mengonsumsi makanan yang lebih murah tetapi kurang bergizi dalam beberapa tahun terakhir.

Upaya untuk mengatasi kelaparan dan kekurangan gizi di Asia Tenggara semakin diperumit oleh dampak perubahan iklim. Kerawanan pangan juga memiliki kaitan erat dengan konflik, penurunan ekonomi, kemiskinan, dan ketidaksetaraan.

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyampaikan bahwa perubahan iklim akan mengurangi pasokan pangan dan menyebabkan harga yang lebih tinggi, yang akan merusak ketahanan pangan di Asia Selatan dan Tenggara.

Satu perkiraan menunjukkan bahwa hasil padi di Asia Tenggara kemungkinan menurun hingga 50 persen karena banjir, kekeringan, dan tekanan panas.

Perkebunan padi di daerah delta sungai juga akan sangat terpengaruh oleh peningkatan salinitas air dari permukaan laut yang lebih tinggi.

Perubahan iklim berdampak pada ketahanan pangan karena memiliki kaitan dengan pengurangan pasokan biji-bijian makanan pokok, seperti beras.

Makanan Bergizi Terbatas dan Mahal

Ilustrasi makanan bergizi
Ilustrasi makanan bergizi (Sumber: Istockphoto)

Pola cuaca ekstrem kemungkinan besar akan menghambat kemampuan masyarakat untuk memperoleh makanan secara tetap.

Padahal, banyak orang di ASEAN bergantung pada pertanian dan perikanan untuk mata pencaharian mereka. Efek buruk perubahan iklim pada produktivitas pertanian dan stok ikan dapat mengurangi pendapatan dan kemampuan individu ini untuk membeli makanan yang memadai.

Perubahan iklim juga kemungkinan akan semakin menurunkan produksi dan pasokan makanan bergizi. Ini menjadi masalah besar karena ketersediaan makanan bergizi dalam pasokan makanan ASEAN seperti buah-buahan, sayuran, dan berbagai sumber protein sudah cukup terbatas.

Makanan kaya nutrisi sendiri harganya relatif mahal. Satu studi menunjukkan bahwa, pada 2020, sekitar 46 persen populasi ASEAN tidak mampu membeli makanan yang sehat.

Sepanjang tahun 2010, penduduk ASEAN sangat bergantung pada karbohidrat seperti beras dan sekitar 24 persen menerima vitamin dan mineral dalam jumlah yang tidak memadai. Ini bisa berdampak buruk pada kemampuan kognitif dan peluang hidup mereka.

Infografis 7 Penyebab Sampah Makanan
Infografis 7 Penyebab Sampah Makanan. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya