Pakar: 42,6 Persen Balita Indonesia Terpapar Minuman Berpemanis Dalam Kemasan

Minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK paling banyak di sekitar anak-anak balita

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 18 Sep 2022, 06:00 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2022, 06:00 WIB
Dokter spesialis anak Kurniawan Satria Denta dalam Forum for Young Indonesians (FYI) bertajuk Dunia Tipu-tipu Minuman Berpemanis Dalam Kemasan, Sabtu (17/9/2022).
Dokter spesialis anak Kurniawan Satria Denta dalam Forum for Young Indonesians (FYI) bertajuk Dunia Tipu-tipu Minuman Berpemanis Dalam Kemasan, Sabtu (17/9/2022). Foto: Tangkapan layar Youtube CISDI Channel.

Liputan6.com, Jakarta - Dokter spesialis anak Kurniawan Satria Denta mengatakan bahwa 42,6 persen balita di Indonesia sudah terpapar Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Menurut dia ini sangat berbahaya sekali.

"Semakin dini seseorang terpapar minuman berpemanis, semakin tinggi kemungkinan risikonya menghadapi kondisi obesitas," kata Kurniawan dalam Forum for Young Indonesians (FYI) bertajuk Dunia Tipu-tipu Minuman Berpemanis Dalam Kemasan, Sabtu (17/9/2022).

Selain risiko obesitas atau kelebihan berat badan, risiko penyakit lain juga bisa timbul pada orang yang gemar mengonsumsi MBDK. Penyakit-penyakit tersebut termasuk diabetes, penyakit jantung, ginjal, pembuluh darah, kanker, stroke, gangguan cemas, gangguan perilaku, dan demensia atau pikun.

"Masih suka agak-agak lemot? Coba dikurangi gulanya," ujarnya dalam acara yang diselenggarakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI).

Bahkan, lanjut Kurniawan, bagi sebagian orang konsumsi gula berlebih dapat membuat mereka resisten terhadap insulin. Akibatnya, jika terkena COVID-19 maka gejalanya lebih parah.

"Jadi yang namanya penyakit tidak menular sebenarnya tidak berdiri sendiri. Berbeda dengan penyakit menular," katanya.

"Keduanya berkesinambungan. Ketika kita memiliki penyakit yang tidak menular, kita lebih rentan menghadapi penyakit menular yang lebih berat," Kurniawan menambahkan.

Gula acap kali menjadi biang kerok dari berbagai penyakit tidak menular. Sebab, gula, butiran-butiran kecil dari tebu, dan gula sintetik bekerja dalam tubuh tidak hanya di level permukaan tapi hingga level molekuler, seluler.

"Hingga level terkecil dalam tubuh kita yaitu DNA," dia menekankan.

Tak Hanya Gigi, Jantung pun Bisa Bolong Karena Gula

Ilustrasi Anak Minum
Ilustrasi anak minum air gula (Foto: Pixabay/Barrie Taylor)

Kinerja gula dalam tubuh yang mencapai level DNA membuat pengaruhnya menjadi sangat sistemik. Tak hanya membuat gigi berlubang, tapi jantung pun bisa berlubang akibat gula.

"Pengaruhnya bisa jadi sangat sistemik, enggak cuma bisa bikin gigi bolong tapi juga bisa bikin jantungnya bolong. Tidak hanya bisa memporakporandakan ginjal, tapi juga bisa memporakporandakan hati atau liver kita," katanya.

Lantas, apa yang dilakukan gula dalam tubuh?

Menjawab pertanyaan ini, Kurniawan memberikan perumpamaan pada kenop yang biasa digunakan untuk mengatur tinggi rendahnya volume.

"Cara kerja gula di level molekuler seperti kenop volume, apa yang diatur oleh gula adalah risiko-risiko kita terhadap diabetes," Kurniawan menjelaskan.

Jika kenop diputar ke arah kanan maka volume akan lebih tinggi atau nyaring. Sebaliknya, jika diputar ke arah kiri maka volume akan semakin rendah bahkan bisa sampai tidak terdengar.

Ini sama halnya dengan gula dalam tubuh. Yang bisa 'memutar kenop' ke arah kanan adalah konsumsi gula berlebih. Sehingga risiko diabetes semakin tinggi.

Sebaliknya, untuk meminimalisasi risiko diabetes maka konsumsi gula pun perlu dikurangi.

Kurangi Konsumsi Gula dengan Cukai MBDK

Minuman Manis Mengandung Gula
Ilustrasi Minuman Manis Mengandung Gula. Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Guna mengurangi konsumsi gula, CISDI menyampaikan bahwa ratusan anak muda mendorong pemerintah menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

Suara dan pendapat mereka sangat penting karena industri MBDK menarget mereka sebagai konsumen tetap.

"Belum ada regulasi terkait iklan, promosi, dan sponsor MBDK. Ini membuat pemasaran MBDK selalu dikemas sangat menarik bagi anak-anak muda," kata Direktur Kebijakan CISDI dalam acara FYI), Olivia Herlinda.

"Akibatnya, jumlah konsumen terus meningkat dan menciptakan kesan MBDK adalah produk yang normal dan baik-baik saja," ujarnya.

Perwakilan komunitas Simpul Remaja yang beroperasi di Maluku, Provinsi Maluku, Desi Rahmawaty, dalam acara yang sama menyampaikan bahwa pemahaman soal MBDK penting diketahui setiap anak.

"Anak-anak muda Indonesia, seperti di daerah tempat tinggal saya (Maluku) masih belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai persoalan MBDK. Bahkan, banyak yang belum mengetahui berapa idealnya jumlah konsumsi gula setiap harinya," katanya.

"Karena itu, menurut saya, edukasi kesehatan kepada anak muda bisa  dimulai dengan edukasi konsumsi gula harian," Desi menambahkan.

Terpapar Iklan

Ilustrasi gula pasir
Ilustrasi gula pasir. (Photo by pasja1000 on Pixabay)

Senada dengan pernyataan Desi, CISDI menemukan satu studi yang menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia terpapar promosi iklan minuman tidak sehat di televisi, mayoritas MBDK, setiap 4 menit sekali.

Temuan lain menyebut satu dari 10 anak Indonesia (14,7 persen) mengkonsumsi satu jenis MBDK, minuman berkarbonasi (soft drinks) sebanyak satu hingga enam kali per minggunya.

Sementara, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menunjukkan prevalensi diabetes melitus pada kelompok umur 15-24 tahun tidak kunjung berkurang, tetap di angka 0,1 persen pada 2013 dan 2018.

"Konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan adalah salah satu faktor risiko yang meningkatkan prevalensi obesitas dan penyakit tidak menular di Indonesia, termasuk terhadap anak-anak muda," kata Olivia.

Dalam FYI tahun ini, CISDI mengajak anak muda mendorong pemerintah membuat kebijakan yang melindungi kesehatan masyarakat.

Salah satunya melalui penandatanganan petisi daring yang mendesak pemerintah memberlakukan cukai produk MBDK sebesar 20 persen. Hingga Sabtu (17/9) lebih dari seribu orang telah menandatangani petisi ini.

Selain petisi, CISDI juga mendorong adanya representasi multi-stakeholder dan anak muda dalam proses regulasi cukai MBDK dengan mendatangkan 30 anak muda dari 16 organisasi untuk menghadiri FYI dan mengikuti pelatihan advokasi kebijakan.

"Kami akan melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesadaran bahaya konsumsi MBDK di wilayah tinggal kami sebagai bentuk tindak lanjut pelatihan ini. Namun, sinergitas dengan pemerintah daerah bersama lembaga masyarakat lain juga sangat dibutuhkan agar persoalan MBDK juga semakin disadari publik luas," pungkas Desi.

Infografis Gula Indonesia
Produksi gula selalu kurang, impor berdatangan, dan pabrik lokal tutup? (liputan6.com/Trie yas)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya