Ada 50 Ribu Anak Penyakit Jantung Bawaan, Menkes Budi Cemas Bonus Demografi 2030

Kecemasan soal bonus demografi 2030 di tengah 50.000 anak kena penyakit jantung bawaan.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 16 Okt 2022, 11:00 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2022, 11:00 WIB
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin meninjau pemeriksaan gigi dan mulut anak SDN Gunung Geulis 01, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada 18 Agustus 2022. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin mengkhawatirkan soal bonus demografi 2030 mendatang. Terlebih melihat data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per Oktober 2022, bahwa ada 50.000 anak tiap tahunnya terkena Penyakit Jantung Bawaan (PJP) di Indonesia.

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) merupakan kelainan yang paling banyak ditemukan pada bayi baru lahir dengan angka prevalensi 8 per 1.000 kelahiran. Penyakit jantung bawaan telah diidentifikasi sebagai salah satu penyebab kematian tersering pada satu tahun pertama kehidupan.

"Setiap tahunnya, 50.000 dari 5 juta anak itu terkena penyakit jantung bawaan. Kalau kita tidak bereskan masalah kesehatan ini, nanti yang namanya bonus demografi kita, bukan diisi orang-orang yang produktif, bisa bekerja, bisa memberdayakan ekonomi," ucap Budi Gunadi saat acara 'NU Women Festival: Perempuan NU, Berdaya dan Berkarya' di Graha Pertamina Jakarta pada Sabtu, 15 Oktober 2022.

"Tapi bisa jadi akan diisi oleh anak-anak kita yang sakit, tidak bisa bekerja, harus tinggal di rumah dan ini yang melemahkan ekonomi."

Menuju bonus demografi 2030, menurut Budi Gunadi, salah satu yang paling penting adalah pemberdayaan ekonomi. Pada saat bonus demografi nanti, akan didominasi oleh kelompok usia produktif di Indonesia.

"Kita ada bonus demografi. Pada saat itu adalah orang-orang dengan usia produktif di Indonesia atau paling banyak yang bisa kerja bisa dapat uang. Itu adalah generasi anak-anak kita," lanjutnya.

Kematian Tinggi dari Penyakit Jantung

Saturasi Oksigen
Ilustrasi Penyakit Jantung Credit: unsplash.com/Emily

Terkait bonus demografi 2030, Budi Gunadi Sadikin menyoroti, generasi masa depan dari anak-anak sekarang harus dipersiapkan matang, terutama dari sisi kesehatan. Mereka harus sehat agar dapat produktif.

Di sisi lain, penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular atau jantung justru semakin banyak dialami masyarakat Indonesia. Penderita diabetes yang harus cuci darah pun termasuk tinggi angkanya.

"Pemberdayaan ekonomi hanya bisa terjadi, kalau anak-anak kita sehat. Sekarang Bapak/Ibu, 13 persen dari penduduk kita sudah terkena diabetes. 40 juta orang terkena terkena diabetes. Dalam 5 tahun, 40 persen orang itu akan harus cuci darah," jelas Menkes Budi Gunadi.

"Cuci darah kan bisa 3 - 4 hari dalam seminggu. Dia harus masuk rumah sakit, lalu empat jam cuci darah. Kemudian Bapak/Ibu, penyakit jantung adalah penyakit yang paling tinggi kematiannya di Indonesia, itu sekitar 600.000 sampai 700.000 per tahun."

Oleh karena itu, Budi Gunadi meminta peran aktif orangtua untuk menjaga kesehatan anak, khususnya dari jeratan Penyakit Jantung Bawaan.

"Bapak/Ibu, saya minta tolong sekaligus saya titip. Karena kebesaran ekonomi Indonesia, kejayaan negara ini sangat tergantung dari putra-putri kita yang sehat," pungkasnya.

Risiko Tinggi Penyakit Jantung Bawaan

5 Jenis Penyakit Kulit yang Sering Menyerang Anak, Wajib Tahu
Anak sakit (unsplash/tadeusz lakota).

Penyakit Jantung Bawaan disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya faktor genetik dan lingkungan. PJB seringkali pula merupakan bagian dari suatu sindrom bawaan lahir, misalnya Down’s Syndrome dan William’s Syndrome.

Down’s Syndrome adalah kelainan genetik yang menyebabkan penderitanya memiliki tingkat kecerdasan yang rendah dan kelainan fisik yang khas. William’s Syndrome adalah kelainan genetik yang menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan.

Bagi ibu yang memiliki penyakit diabetes atau infeksi rubella saat kehamilan juga dapat berperan dalam kejadian PJB. Meski demikian, hampir 90 persen kasus PJB terjadi tanpa penyakit yang mendasari.

Sesuai informasi Kemenkes yang dipublikasikan pada 27 Mei 2022, bayi dengan PJB dapat menunjukkan bermacam tanda dan gejala, namun dapat juga tidak bergejala sampai ia dewasa. PJB yang tidak terdeteksi dan tidak terobati sampai dewasa berisiko menyebabkan gagal jantung dini dan kematian.

Adanya risiko yang tinggi di masa depan dan kejadian PJB yang sulit diprediksi, maka penting untuk melakuan deteksi dini PJB pada bayi baru lahir.

Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan

Ekspresi Anak-Anak Saat Kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah
Paramedis dari Puskesmas Cinere membenahi masker murid kelas 1 saat kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di SDI Al-Hidayah, Depok, Jawa Barat, Kamis (18/11/2021). Sebanyak 100.719 siswa kelas I, II, dan V SD atau MI sederajat menjadi sasaran pemberian imunisasi. (merdeka.com/Arie Basuki)

Adapun deteksi dini Penyakit Jantung Bawaan (PJB) pada anak, antara lain:

Fetal Echocardiography

Deteksi dini PJB dapat dilakukan sejak dalam kandungan, dengan pemeriksaan ekokardiografi janin. Sarana dan prasarana pemeriksaan ini belum tersedia luas di Indonesia, sehingga pemeriksaannya hanya diindikasikan pada ibu dengan risiko tinggi mengandung janin dengan PJB.

Misalnya, ibu dengan riwayat keluarga PJB, ibu dengan konsumsi obat-obatan Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAID), ibu yang terpapar zat teratogen seperti litium atau anti kejang, dan ibu dengan infeksi TORCH.

TORCH adalah singkatan dari beberapa penyakit infeksi di antaranya, Toxoplasma gondii (Toxo), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang terdiri dari HSV1 dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain yang dampak klinisnya lebih terbatas (Measles, Varicella, Echovirus, Mumps, virus Vaccinia, virus Polio, dan virus Coxsackie-B).

Pemeriksaan Oksimetri

Pemeriksaan oksimetri di jari dapat dilakukan sebagai deteksi dini PJB pada bayi baru lahir. Pemeriksaan terbilang mudah, murah, dan tidak invasif sehingga dapat dilakukan di mana saja. Oksimetri dianjurkan untuk diperiksakan pada bayi berusia lebih dari 24 jam, dan sebelum bayi diperbolehkan pulang dari fasilitas kesehatan.

Pemeriksaa oksimetri dilakukan pada kedua tangan dan kaki bayi. Idealnya, bayi berusia lebih dari 24jam menunjukkan saturasi oksigen di atas 95 persen. Hasil oksimetri dikatakan positif apabila ditemukan saturasi oksigen kurang dari 90 persen di tangan kanan atau kaki.

Apabila hasilnya meragukan, misal antara 90 - 94 persen atau terdapat perbedaan lebih dari 3 persen di tangan kanan dan kaki, pemeriksaan diulang sampai maksimal dua kali. Bayi dengan hasil pemeriksaan oksimetri positif sebaiknya segera dirujuk ke fasilitas tersier yang mampu menangani penyakit jantung bawaan, setelah penyebab saturasi oksigen rendah lainnya disingkirkan.

Infografis 5 Tips Ajarkan Anak Pakai Masker Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Niman)
Infografis 5 Tips Ajarkan Anak Pakai Masker Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Niman)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya