Liputan6.com, Jakarta Banyak masyarakat menilai bahwa masalah cemaran Etilen Glikol (EG) dalam obat sirup merupakan bentuk kelalaian pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Namun menurut Zullies, hal ini bisa disebut kelalaian jika aturan yang dilakukan tidak ditetapkan.
"Dalam masalah ini, pengawasan obat pasca pasar sudah dilakukan, hanya saja memang tidak ada yang mengatur bahwa EG (etilen glikol) dan DEG (dietilen glikol) pada produk jadi itu harus diukur," kata Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Zullies Ikawati.
Baca Juga
Jelang Laga Versus Jepang di GBK, Bintang Timnas Indonesia Thom Haye: Atmosfer Bermain di Kandang Itu Gila
Prediksi Susunan Pemain Timnas Indonesia vs Jepang, Marselino Ferdinan dan Maarten Paes Diprediksi Jadi Pemain Kunci
Jadwal Pertandingan Mike Tyson vs Jake Paul, Merebutkan Hadiah Senilai Rp1,2 Triliun
"Ini memang menjadi kelemahan, ketika kemudian ditemukan bahwa ada produk-produk yang memang mengandung ED/DEG dalam dosis yang jauh melebihi batas aman. Dengan adanya kejadian ini, maka ini menjadi hal baru yang perlu diatur lagi," tambahnya dalam pesan teks ke Health-Liputan6.com, Kamis, 3 November 2022.
Advertisement
Zullies mengungkapkan bahwa perlu adanya regulasi baru yang mewajibkan para industri farmasi untuk memastikan kembali kualitas bahan baku yang digunakan. Industri farmasi tidak boleh hanya mengacu data dari supplier.
"Maksudnya perlu dibuat regulasi baru yang mewajibkan industri farmasi untuk memastikan lagi kualitas bahan bakunya, tidak hanya mengacu pada Certificate of Analysis (CoA) produk yang diperoleh dari supplier," ujar Zullies.
Regulasi Soal Cemaran EG dan DEG
Menurut Zullies, perlu adanya tambahan regulasi juga terkait dengan cemaran EG dan DEG dalam suatu produk obat. Hal ini akan berguna untuk lebih menegaskan soal batasan yang diperbolehkan dan tidak.
"Juga ada tambahan regulasi terkait mengukur cemaran EG/DEG jika perlu pada produk jadi/final product," kata Zullies.
Selama ini, adanya kandungan EG dan DEG dalam suatu produk obat memang diperbolehkan. Hanya saja batasnya 0,1 mg/ml dari setiap produk. Sehingga bila melebihi kadar tersebut, maka kandungan ini akan menjadi cemaran yang membahayakan.
Pihak BPOM RI pun telah membeberkan industri farmasi mana saja yang produknya mengandung cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas. Sejauh ini terdapat setidaknya tiga industri farmasi yang tercatat.
Ketiganya adalah PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afi Farma. Berikut rincian produknya:
PT Afi Farma
- Paracetamol Drops
- Paracetamol Sirup Rasa Peppermint
- Vipcol Sirup (PT Afi Farma)
PT Universal Pharmaceutical Industries
- Unibebi Cough Sirup
- Unibebi Demam Sirup
- Unibebi Demam Drops
PT Yarindo Farmatama
- Flurin DMP Sirup
Advertisement
Faktor Risiko Lonjakan Kasus Gagal Ginjal Akut
Kementerian Kesehatan RI meminta tenaga kesehatan serta apotek tidak untuk menjual obat sirup. Sejak adanya aturan yang diteken pada 18 Oktober 2022, terjadi penurunan pasien anak yang mengalami gagal ginjal akut atipikal progresif.
"Kita juga melihat kondisinya sekarang, saya update (perbarui) dulu, bahwa sesudah kita melakukan pelarangan obat sirup, jumlah kasusnya kita lihat dari 7 days moving average sudah menurun drastis," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI di Jakarta, Rabu, 2 November 2022.
"Yang tadinya sempat di angka 6 sampai 7 kasus baru per hari dengan puncak 10 kasus per hari, itu jumlah kasusnya sudah menurun drastis," lanjut Budi.
Meski terjadi penurunan anak yang mengalami gagal ginjal akut tapi mengapa masih ada anak yang alami gagal ginjal akut atipikal progresif?
Berkaitan dengan hal tersebut, Zullies mengungkapkan bahwa dibutuhkan adanya kajian saintifik untuk benar-benar bisa membuktikan penyebabnya apa benar hanya terkait obat.
"Menurut saya perlu dilakukan kajian saintifik yang benar-benar bisa menggali penyebab pasti kematian anak dengan gagal ginjal akut. Apakah memang ada kaitannya dengan penggunaan obat, atau ada faktor lain," ujar Zullies.
Menkes Budi menerangkan ada lima hal yang bisa menyebabkan anak mengalami gagal ginjal akut. Yakni infeksi dari virus atau bakteri, kelainan kongenital (genetik), dehidrasi berat, kehilangan darah, serta obat dan keracunan.
Akan tetapi dari kelima penyebab, yang paling banyak menyebabkan kenaikan kasus gagal ginjal akut menurut penyelidikan yang dilakukan Kemenkes adalah masalah obat dan keracunan.
"Kalau ditanya penyebabnya apa, saya bilang penyebabnya sudah pasti. Maksud saya pasti adalah faktor risiko paling besar menyebabkan anak ini meninggal itu keracunan obat," ujar Budi Gunadi saat Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR pada Rabu, 2 November 2022.
Namun, Budi tidak memungkiri bahwa ada kemungkinan lain anak gagal ginjal akut meninggal bukan karena obat tapi mungkin karena empat penyebab lain seperti sudah disampaikan di atas.
"Apakah ada yang meninggal bukan karena obat? Saya rasa pasti ada, karena tanpa obat pun bulan-bulan sebelumnya ada kasus," tambahnya.
Menurut Budi Gunadi, pihak Kemenkes RI memang bisa menunggu hingga benar-benar pasti apa yang menjadi penyebab gagal ginjal akut. Namun ditakutkan angka kematiannya semakin meningkat bila tidak segera ditentukan.
"Memang ada penyebab-penyebab AKI (Acute Kidney Injury) yang lain, betul. Tapi yang paling drastis menyebabkan kenaikan ini adalah adanya senyawa kimia berbahaya di obat," ujar Budi Gunadi.