Vaksin COVID-19 Booster Kedua untuk Umum, ITAGI: Masih Perlu Dikaji

Vaksinasi booster kedua sudah diberikan kepada kelompok lanjut usia (lansia) setelah sebelumnya hanya diberikan kepada tenaga kesehatan (nakes).

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 13 Des 2022, 20:00 WIB
Diterbitkan 13 Des 2022, 20:00 WIB
FOTO: Layanan Vaksinasi COVID-19 Puskesmas Kecamatan Matraman
Petugas kesehatan dari Puskesmas Kecamatan Matraman melakukan vaksinasi COVID-19 di SD Negeri 25 Utan Kayu Selatan, Matraman, Jakarta Timur, Rabu (23/3/2022). Vaksin yang digunakan adalah vaksin AstraZeneca untuk dosis pertama, kedua, dan ketiga (booster). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Vaksinasi COVID-19 booster kedua sudah diberikan kepada kelompok lanjut usia (lansia) setelah sebelumnya hanya diberikan kepada tenaga kesehatan (nakes).

Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Prof Sri Rezeki Hadinegoro kemudian memberi tanggapan soal pemberian vaksin booster kedua alias suntikan keempat kepada masyarakat umum.

Menurutnya, jika dilihat dari penurunan antibodi, maka dalam kurun waktu 6 bulan sudah pasti ada penurunan. Hal ini pun ditanggulangi dengan pemberian booster pertama.

Namun, jika dilihat dari situasinya, COVID-19 masih ada dan masih cenderung bermutasi. Ini pun menunjukkan bahwa masyarakat masih perlu perlindungan. Namun, pemberian booster kedua masih perlu dikaji dari berbagai aspek.

“Ini yang masih kita kaji juga, mengingat logistik sekarang apakah cukup, dulu kan diramalkan pandeminya selesai akhir tahun ini. Kalau selesai kita gak lagi pake EUA atau pemakaian darurat tapi pemakaian rutin,” kata Sri dalam wawancara eksklusif Takeda di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (13/12/2022).

“Nah ini kan tergantung anggaran, apakah bisa masuk asuransi, BPJS, apa harus bayar, itu masih jadi kajian kita,” tambahnya.

Untuk saat ini, pihak Sri masih mendorong vaksinasi booster kedua untuk lansia, karena kematian terbanyak ada di kelompok ini.

“Sampai akhir tahun ini lansia harus naik boosternya, booster pertamanya aja masih rendah. Kalau masyarakat umum sudah 70 persen, booster kedua (untuk umum) ini PR (pekerjaan rumah) tahun depan,” katanya.

Soal DBD

dr Sri Rezeki S Hadinegoro
Ketua Komunitas Dengue Indonesia Prof Dr dr Sri Rezeki S Hadinegoro Sp.A(K) dalam wawancara eksklusif Takeda di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (13/12/2022). Foto: Ade Nasihudin.

Dalam kesempatan yang sama, Sri juga membahas soal Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue).

Ketua Komunitas Dengue Indonesia ini menjelaskan, kasus DBD pertama di Indonesia dilaporkan di Surabaya pada 1968. Sejak pertama kali ditemukan, kasus ini terus menunjukkan peningkatan setiap tahun.

Pada 17 Juni 2022, kasus DBD di Indonesia tembus 45 ribu dengan kematian 432 jiwa. Selang sekitar satu bulan, yakni pada 9 Juli 2022, kasusnya tembus 52 ribu dengan kematian sebanyak 448 orang.

“Apa artinya? Ini enggak boleh didiamkan, jadi ini benar-benar satu bukti bahwa dengue ini satu penyakit yang progresif, bisa naik turun naik turun," kata Sri.

Ia pun menyampaikan data DBD pada tahun sebelumnya. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada 2021 terdapat 73.518 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 705 kasus.

Pada tahun yang sama, Provinsi Kepulauan Riau memiliki Incidence Rate (IR/angka kesakitan) DBD tertinggi sebesar 80,9 per 100.000 penduduk. Diikuti oleh Kalimantan Timur dan Bali masing-masing sebesar 78,1 dan 59,8 per 100.000 penduduk.

Secara Nasional IR DBD 2021 sebesar 27 per 100.000 penduduk, angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan target nasional sebesar ≤ 49 per 100.000 penduduk.

Sebabkan Kematian

Kasus DBD yang terlambat mendapatkan perawatan dapat menyebabkan fatalitas seperti kematian.

Awalnya, kasus DBD paling banyak ditemukan pada kelompok usia 5 hingga 14 tahun. Namun, masuk ke tahun 2000, jumlah ini disalip oleh kelompok umur 15 tahun ke atas.

“Jadi sekarang ini kalau kita lihat datanya, memang anak di atas 15 tahun atau remaja, dewasa muda ini meningkat. Tapi kalau lihat jumlah kematian, tetap anak-anak (4-14 tahun) lebih banyak,” katanya.

Proporsi kematian terhadap seluruh kasus DBD atau yang dikenal dengan Case Fatality Rate (CFR) juga dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pengendalian DBD.

Secara nasional CFR DBD tahun 2021 mencapai 0,96 persen. CFR ini melebihi batas 0,7 persen yang telah ditetapkan pada target Strategi Nasional Penanggulangan Dengue.

Meskipun CFR pada tahun 2021 meningkat dibandingkan periode sebelumnya, besarannya berada di bawah 1 persen yang artinya masih berada pada kategori rendah. CFR dinilai tinggi jika melampaui angka 1 persen.

Salah Satu Negara Paling Terdampak

Sri juga menyampaikan, Indonesia adalah salah satu negara paling terdampak oleh demam berdarah dengue.

DBD merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dan disebarkan oleh vektor. Virus yang menyebabkan penyakit ini pun disebut Dengue. Vektor penular penyakit ini berasal dari jenis nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

Karakteristik vektor penular menentukan persebaran dan waktu kejadian infeksi. Habitat nyamuk Aedes pada umumnya berada di wilayah dengan iklim tropis, curah hujan tinggi, serta suhu panas dan lembab.

Nyamuk Aedes menyukai genangan atau tempat penampungan air seperti selokan, vas atau pot tanaman, tempat minum hewan peliharaan, kolam renang, atau tempat sampah sebagai tempat perindukan.

Karakteristik dan perilaku vektor tersebut dapat menjelaskan adanya kecenderungan peningkatan kasus DBD pada musim penghujan seiring dengan bermunculannya tempat perindukan. Kasus Demam berdarah ini akan mengalami peningkatan saat musim pancaroba dan/atau peralihan musim kemarau ke musim hujan.

infografis beda DBD dan Malaria
Apa bedanya DBD dan Malaria?
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya