Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia meminta seluruh Dinas Kesehatan di provinsi dan kabupaten/kota untuk memantau penggunaan obat sirup. Hal ini seiring dengan pelaporan kasus baru gagal ginjal akut, khususnya pada awal Februari 2023.
Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI Azhar Jaya menegaskan, seluruh Dinas Kesehatan di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota harus melakukan pemantauan aktif terhadap penggunaan obat sediaan sirup terkait kasus gagal ginjal akut.
Baca Juga
Penegasan Azhar tertuang melalui surat edaran terbaru nomor YR.03.03/D/0786/2023 perihal 'Tindakan Pencegahan Kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/Atypical Progressive Acute Kidney Injury (GGAPA) di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.'
Advertisement
Secara rinci, dari surat edaran Kemenkes yang diterima Health Liputan6.com pada Senin (20/2/2023), seluruh Dinas Kesehatan di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota untuk harus:
- melakukan pemantauan aktif terhadap penggunaan obat sediaan sirup, penyelidikan epidemiologi (PE) mendalam terhadap kasus, dan pengawasan, pelaporan serta rujukan kasus dengan kecurigaan GGAPA di masyarakat agar langsung dibawa pasien tersebut ke Rumah Sakit Rujukan GGAPA
- memberikan instruksi ke semua fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di wilayah kerjanya untuk selalu menanyakan gejala utama GGAPA (anuria/oliguria) serta riwayat konsumsi obat cair kepada semua kasus yang bergejala. Jika ada laporan terkait riwayat tersebut, maka harus segera dilakukan pengambilan sediaan obat, plasma darah pasien
- melakukan penarikan obat sediaan sirup dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF) dan Toko Obat, melakukan pemusnahan dan/atau koordinasi penarikan oleh industri farmasi untuk obat yang dicabut NIE dan yang ditarik pada bets tertentu, melakukan karantina (tidak mendistribusikan dan tidak menggunakan) dengan memisahkan dan memberi tanda untuk obat yang belum dinyatakan aman terhadap semua obat baik yang ditarik dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, PSEF dan Toko Obat.
Tidak Gunakan Obat Sirup yang Belum Aman
Pada surat edaran terbaru Kemenkes yang diteken Dirjen Pelayanan Kesehatan Azhar Jaya tertanggal 17 Februari 2023 juga memberikan arahan agar fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) tidak menggunakan obat sirup yang belum dinyatakan aman oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.
Bunyi arahan, antara lain:
1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan, PSEF dan Toko Obat wajib tidak menggunakan sediaan sirup yang termasuk dalam:
- sediaan sirup yang dicabut Nomor Izin Edar (NIE), dan yang ditarik pada bets tertentu berdasarkan penjelasan BPOM pada website https://www.pom.go.id/new/view/direct/sirop_ob
- sediaan sirup yang belum dinyatakan aman yaitu yang tidak tercantum dalam daftarpada https://www.pom.go.id/new/view/direct/sirop_obat_aman
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan, PSEF dan Toko Obat harus melakukan:
- membuat langkah pemantauan, mulai dari perencanaan, pembelian baik melalui e-katalog dan non e-katalog, dan pengawasan daftar stok obat agar tidak terdapat jenis obat yang tercantum pada poin 1a dan 1b
- bertindak untuk menarik dari daftar stok obat di tempatnya, tidak menggunakan dalam pelayanan, melakukan karantina dengan memisahkan dan mengirimkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota/Provinsi
- membuat daftar list obat aman sebagai panduan bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan
Advertisement
Perketat Penggunaan Bahan Pelarut
Belajar dari kasus gagal ginjal akut BPOM RI berencana memperketat penggunaan bahan pelarut obat.
Dijelaskan Kepala BPOM RI, Penny K Lukito, bahan pelarut tidak hanya digunakan dalam pembuatan obat sirup berbasis kimia, melainkan juga sebagai tambahan pembuatan obat tradisional.
"Penggunaan pelarut tidak hanya di obat, tapi suplemen kesehatan, vitamin anak bentuk cair dan sebagainya,"Â kata Penny saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IX DPR RI di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu, 15 Februari 2023.
"Dan itu (penggunaan bahan pelarut) kami tegakan terus, kemudian kami evaluasi, pelarut juga digunakan pada obat tradisional."
Bahan pelarut seperti yang terkandung pada obat sirup, antara lain Polietilen Glikol (PEG), sorbitol, propilen glikol dan gliserol dapat berpotensi mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) tinggi jika digunakan tidak sesuai kadar standar.
Cemaran EG dan DEG yang melebihi ambang batas berujung pada kejadian gagal ginjal akut pada anak.
"Strateginya dikaitkan dengan langkah-langkah yang akan dilakukan karena memang penggunaan pelarut juga sangat intensif dilakukan pada obat tradisional dan pemberian sertifikasi cara produksi obat tradisional yang baik juga akan kami review (tinjau) kembali,"Â Penny menambahkan.