Sedih Lihat Teman Dibully, Alasan Audrey Maximillian Herli Tergerak Ciptakan Aplikasi Riliv untuk Konseling Kesehatan Mental

Aplikasi konseling kesehatan mental 'Riliv' diciptakan Audrey Maximillian Herli karena sakit hati melihat teman dibully

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 26 Mei 2023, 09:00 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2023, 09:00 WIB
Pengembang Software, Audrey Maximillian Herli, Menceritakan Kisah di Balik Terciptanya Aplikasi Konseling Kesehatan Mental 'Riliv'. (Foto: instagram.com/audreymaxi13)
Pengembang Software, Audrey Maximillian Herli, Menceritakan Kisah di Balik Terciptanya Aplikasi Konseling Kesehatan Mental 'Riliv'. (Foto: instagram.com/audreymaxi13)

Liputan6.com, Jakarta - Software developer muda Indonesia, Audrey Maximillian Herli, menceritakan kisah di balik terciptanya aplikasi konseling kesehatan mental 'Riliv'.

Menurut pria yang karib disapa Maxi, aplikasi kesehatan mental buatannya tercetus ketika dia melihat temannya mendapat perundungan (bully)

Perundungan yang menimpa temannya itu terjadi saat masa kuliah kira-kira 2015. Teman Maxi di-bully lantaran membagikan cerita dan masalah pribadinya di media sosial.

Seperti diketahui, meluasnya penggunaan media sosial telah memungkinkan orang untuk berbagi cerita dan pengalaman pribadi mereka secara daring. Terkadang, hal ini memicu cyberbullying atau perundungan siber.

Bully Masih Menjadi Momok di Indonesia

Perundungan di dunia maya adalah masalah global yang terjadi ketika individu melecehkan, mengintimidasi, atau mengancam orang lain melalui platform digital. Seperti media sosial, aplikasi pesan instan, atau forum daring.

Di Indonesia, isu mengenai bullying dan cyberbullying telah beredar luas. Sebuah studi tahun 2019 menyoroti bahwa 49 persen pengguna internet Indonesia pernah mengalami perundungan di media sosial.

Studi ini dilakukan oleh Polling Indonesia bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).

Fenomena ini mendorong software developer muda ini untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di sekitarnya.

Sebagai mahasiswa IT di Universitas Airlangga, Surabaya, pada 2015, dia memutuskan untuk memberikan layanan konseling di kampus.

Tujuannya, tak lain agar mahasiswa dapat mengungkapkan perasaannya dan merasa didengar.

Bikin Aplikasi Gratis untuk Korban Bullying

Pengembang Software, Audrey Maximillian Herli, Menceritakan Kisah di Balik Terciptanya Aplikasi Konseling Kesehatan Mental 'Riliv'. (Foto Pexels via Pixabay)
Pengembang Software, Audrey Maximillian Herli, Menceritakan Kisah di Balik Terciptanya Aplikasi Konseling Kesehatan Mental 'Riliv'. (Foto Pexels via Pixabay)

Dalam menciptakan layanan konseling di kampus, pria kelahiran 13 Oktober 1992 mencari mahasiswa psikologi yang dapat membantu mahasiswa yang membutuhkan. Serta memberikan respons tentang kesulitan emosional dalam suasana santai.

Selain konseling tatap muka, Maxi menyiapkan aplikasi untuk memfasilitasi layanan ini dan membiarkan teman kampusnya menggunakan aplikasi tersebut secara gratis.

Setelah itu, Maxi bergabung dengan program inkubator lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah kota setempat dan akselerator. Di tahap ini, dia menyadari bahwa visinya bisa diubah menjadi bisnis jangka panjang.

Menciptakan Riliv, Aplikasi Layanan Kesehatan Mental yang Tercipta Usai Melihat Teman Dibully

Pengembang Software, Audrey Maximillian Herli, Menceritakan Kisah di Balik Terciptanya Aplikasi Konseling Kesehatan Mental 'Riliv'. (Foto Pexels via Pixabay)
Pengembang Software, Audrey Maximillian Herli, Menceritakan Kisah di Balik Terciptanya Aplikasi Konseling Kesehatan Mental 'Riliv'. (Foto Pexels via Pixabay)

Di akhir tahun 2015, Maxi dan saudaranya, Audy Christopher Herli, mengembangkan ide tersebut menjadi Riliv.

Kini, Riliv dikenal sebagai sebuah startup yang menawarkan layanan konseling dan kesehatan mental.

Kemudian pada 2022, Riliv menggalang pendanaan dipimpin oleh perusahaan keuangan yang mendanai startup (venture capital/VC) East Ventures.

Bertahun-tahun kemudian, beberapa faktor mendorong munculnya kesadaran kesehatan mental.

Pertama, pandemi COVID-19 yang telah membuat orang mengalami kecemasan, depresi, trauma, atau sindrom psikologis lainnya.

Di samping itu, kebangkitan pendidikan dan tingkat ekonomi di Indonesia telah meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental dan menghilangkan stigma penyakit mental dari waktu ke waktu.

Faktor-faktor ini memainkan peran penting dalam membantu membentuk kesiapan pasar untuk menormalkan penerapan layanan kesehatan mental.

Lonjakan Konsultasi Kesehatan Mental Daring

Pengembang Software, Audrey Maximillian Herli, Menceritakan Kisah di Balik Terciptanya Aplikasi Konseling Kesehatan Mental 'Riliv' (FOTO: Unsplash.com/Docusign).
Pengembang Software, Audrey Maximillian Herli, Menceritakan Kisah di Balik Terciptanya Aplikasi Konseling Kesehatan Mental 'Riliv' (FOTO: Unsplash.com/Docusign).

Pasca pandemi, Maxi mengungkapkan bahwa permintaan konsultasi online melonjak sangat tinggi, hingga 800 persen.

"Semakin banyak orang yang menyadari pentingnya kesehatan mental dan merasakan meningkatkan kualitas hidup mereka, baik secara fisik maupun mental. Selain itu, mereka juga sudah merasa nyaman dengan konsultasi online. Maka, preferensi sistem online masih ada," kata Maxi mengutip keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com pada Kamis 25 Mei 2023.

Hingga Maret 2023, lebih dari 900.000 orang di seluruh Indonesia telah mengunduh aplikasi Riliv. Dan lebih dari 100 psikolog profesional bermitra dengan aplikasi tersebut untuk memecahkan masalah pengguna.

Tiga fitur yang menjadi favorit dalam aplikasi ini adalah Counseling, Journal, dan Meditation, untuk pengguna individu dan karyawan perusahaan.

Infografis Perluasan Telemedicine Gratis Pasien Isoman Covid-19 di Jawa-Bali. (Liputan6.com/Niman)
Infografis Perluasan Telemedicine Gratis Pasien Isoman Covid-19 di Jawa-Bali. (Liputan6.com/Niman)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya