Jokowi Minta Menkes Siapkan Karantina Khusus Pasien Tuberkulosis, Dokter Paru Sarankan Tak Semua Perlu Dikarantina

Tanggapi permintaan Jokowi ke Menkes BGS, dokter paru yang juga dosen FKUI Erlina Burhan mengatakan karantina khusus tidak untuk semua pasien tuberkulosis.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 16 Jan 2024, 09:56 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2023, 09:01 WIB
Ilustrasi Bakteri TB (Tuberkulosis) di Saluran Pernapasan. Bagaimana Juga Penanganan Penyakit Tuberkulosis di Indonesia. Serta Bagaimana Pula Nasib Pasien Tuberkulosis Resisten Obat atau TB Resisten Obat (Sumber: Illumina Inc)
Kasus baru TB di Indonesia (Sumber: Illumina Inc)

Liputan6.com, Jakarta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyiapkan tempat karantina khusus untuk pasien tuberkulosis. Tujuannya agar penyakit menular ini tidak menularkan ke anggota keluarga lain.

Selama dua bulan awal pengobatan pasien tuberkulosis bakal berada di karantina. Lantaran, obat TB baru bereaksi untuk tidak menularkan setelah dikonsumsi dua bulan.

"Jadi agar dia tidak menularkan keluarganya, dimasukin ke karantina khusus. Saya disuruh bekerja sama dengan Menteri PUPR di bawah koordinasi Menko PMK dan dipastikan juga mereka yang kena TB ini minum obat terus," jelas Budi Gunadi.

Terkait hal ini, dokter spesialis paru konsultan yang memiliki ketertarikan dalam penanganan tuberkulosis Erlina Burhan menyetujui hal tersebut diperlukan tapi dengan syarat.

"Sebagian besar pasien TB itu sebenarnya tidak perlu dikarantina khusus karena tidak butuh oksigen atau perlakukan khusus," kata Erlina dalam cuitan di akun Twitter @erlinaburhan pada 21 Juli 2023.

Cukup disiplin minum obat, makan teratur dan bergizi serta wajib pakai masker dan menutup mulut dan hidung saat batuk bersin.

Sementara itu, karantina khusus bisa ditujukan untuk pasien berat yang dikhawatirkan bila tidak dikarantina akan menularkan ke banyak orang. Lalu, siapa pasien TB yang perlu dikarantina?

"Pasien berat (termasuk yang resistan terhadap obat) yang secara ekonomi miskin, tidak ada keluarga, dan tidak punya support keluarga. Kriteria pasien seperti ini yang harus dikarantina," kata Erlina yang juga Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Peran Negara

Kata Satgas COVID-19 PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Erlina Burhan soal penggunaan masker di KRL. (Foto Ade Nasihudin)
Kata Satgas COVID-19 PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Erlina Burhan. (Foto Ade Nasihudin)

Erlina menekankan bahwa untuk karantina khusus pasien TB ini perlu peran negara. Mulai dari tempat karantina yang layak, makanan hingga tes dahak.

"Ini butuh peran negara untuk menempatkan mereka di karantina. Diberi makan yang cukup, lingkungan layak, pengawasan minum obat, hingga uji dahak mereka negatif. Biasanya setelah dua bulan," tuturnya.

Setelah dua bulan mengonsumsi obat, lalu pasien menjalani pemeriksaan dahak sudah negatif tidak berpotensi menularkan.

"Bahkan pada kasus yang ringan dengan jumlah kuman sedikit pemeriksaan dahak bisa negatif kurang dari dua bulan," katanya.

Meski tidak menularkan, pengobatan TB belum selesai. Pastikan konsumsi obat diselesaikan sekitar enam bulan. 

 


969 Kasus Baru per Tahun

Erlina mengingatkan bahwa setiap tahun nyaris sejuta kasus baru TB di Indonesia. Sehingga tidak semua pasien TB harus dikarantina mengingat jumlah yang begitu besar itu.

"Tapi sekali lagi, tidak semua pasien TB harus dikarantina."

"Estimasi pasien TB di Indonesia tiap tahunnya sebanyak 969 ribu kasus baru, hampir satu juta. Bayangkan," katanya. 


Ingat Sanatorium di Zaman Dulu untuk Pasien TB

Erlina juga mengungkapkan di cuitannya bahwa dahulu kala sebelum revolusi industri, ada tempat karantina untuk pasien TB bernama sanatorium. 

"Mereka akan dijemur ramai-ramai tiap pagi, diminta minum susu, konsumsi makanan bergizi, lalu diistirahatkan. Hanya itu yang bisa dilakukan (saat itu)," kata Erlina.

Setelah itu, pengobatan tuberkulosis terus berkembang termasuk penemuan obat. Setelah obat TB ditemukan ada harapan di saat itu bisa menyembuhkan penyakit ini dengan cepat.

Dalam perkembangannya ada empat fase obat TB. Berikut penjelasan Erlina:

- Fase obat TB pertama yaitu Sterptomycin, yang memakan waktu dua tahun untuk memulihkan pasien.

- Fase obat TB Kedua dengan kombinasi obat pertama dan kedua, masa pengobatan menjadi 1,5 tahun.

- Fase obat ketiga yang berhasil memperpendek lagi masa pengobatan menjadi 1 tahun.

- Fase obat keempat yang membuat masa pengobatan sekitar enam bulan.

"Nah, begitu ditemukan empat macam obat, yaitu Rifampicin, Isonaizid atau INH, Ethambutol, dan Pyrazinamide maka pengobatan TB makin efektif, menjadi 6 bulan," kata Erlina.

Pasien Harus Selesaikan Pengobatan 

Pasien tidak boleh berhenti minum obat hingga selesai enam bula walaupu n sudah merasa sehat. Jika berhenti malah membuat kuman justru bermutasi.

"Jika obat tidak cukup waktunya atau dosisnya tidak benar, akan membuat kumannya lemah saja. Seiring berjalannya waktu kuman justru bermutasi jadi lebih kuat dan resistan terhadap obat yang lama. Ini bahaya," tegas Erlina.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya