Liputan6.com, Jakarta - Rasa nyeri atau sakit pada penderita kanker, terlebih yang sudah stadium lanjut, ternyata tidak bisa dipisahkan dari berbagai gejala yang dirasakan pasien kanker. Selain angka kematian yang tinggi, para pasien kanker juga mengalami penurunan kualitas hidup akibat nyeri kanker.
Melalui penetian yang dilakukannya, Prof. Yusak Mangara Tua Siahaan, Sp.N(K), Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, menyoroti pentingnya mengetahui efektivitas dan penerapan metode intervensi nyeri bagi penderita kanker. Penelitian ini juga yang membawanya berhasil meraih gelar Guru Besar bidang Neurologi.
Baca Juga
Yusak mengatakan, meski tidak langsung menyebabkan kematian, nyeri akibat kanker bisa menyebabkan kualitas hidup pasien kanker menurun.
Advertisement
“Meskipun nyeri kanker tidak langsung menyebabkan kematian, namun menjadi salah satu gejala kanker yang umum dan mengakibatkan disabilitas serta penurunan kualitas hidup,” ungkapnya.
Sebagai salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia, kanker menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Menurut data WHO, kanker menyebabkan 10 juta kematian pada tahun 2020 dan diperkirakan akan meningkat hingga 70 persen pada tahun 2030.
Menurut Yusak, jumlah pasien kanker di Indonesia mencapai sekitar 400.000 orang, dengan 120.000 di antaranya mengalami nyeri. Kegagalan pengobatan nyeri dengan menggunakan farmakologi analgesia mencapai 20 sampai 30 persen, sehingga penderita nyeri kanker yang memerlukan manajemen intervensi nyeri mencapai 24.000-36.000 kasus.
Yusak menjelaskan, nyeri kanker disebabkan oleh progresivitas perjalanan kanker itu sendiri, termasuk pertumbuhan tumor, proses metastasis, dan terapi anti-kanker seperti kemoterapi, radioterapi, dan operasi kuratif.
Rasa Nyeri Disebabkan Perjalanan Kanker
Guna mengatasi nyeri, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 1986 telah mengatur pemberian opioid sebagai obat nyeri kanker. Meski dinilai efektif mengatasi nyeri kanker, interaksi opioid dengan sistem tubuh menimbulkan efek samping yang kurang nyaman pada pasien.
“Sejak 1986, WHO mengatur tiga tahapan pemberian opioid sebagai obat nyeri kanker, yaitu non-opioid atau nyeri ringan, opioid ringan atau nyeri sedang, dan opioid untuk nyeri sedang-berat. Meskipun opioid efektif meredakan nyeri kanker, mereka juga berinteraksi dengan sistem tubuh yang dapat menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, konstipasi, sedasi, pusing, halusinasi, dan depresi pernapasan,” tuturnya.
Untuk itu, Yusak mengajukan tiga perubahan terhadap tahapan penggunaan opioid dari WHO. Pertama, menghapus tahapan kedua, yaitu opioid ringan atau nyeri sedang. Kedua, memprioritaskan kenaikan intensitas nyeri sebagai pertimbangan untuk segera mengubah langkah pengobatan.
Ketiga, merekomendasikan prosedur manajemen intervensi nyeri. Prof. Yusak juga mengajukan agar prosedur manajemen intervensi nyeri tersebut dapat menjadi tahapan keempat WHO untuk mengatasi nyeri bagi penderita kanker.
Sebagai contoh, pada tahun 2023, di Poliklinik Neurologi Siloam Hospitals Lippo Village, dilakukan prosedur blok saraf dan neurolitik Radiofrequency Saraf Pudendal dengan bantuan ultrasonografi pada penderita nyeri kanker vulva stadium 4. Meskipun pasien telah menerima obat opioid dan adjuvan sebelumnya, intensitas nyeri tidak berkurang, bahkan menyebabkan kesulitan tidur dan depresi.
“Pasien dan keluarganya kemudian diberikan opsi prosedur radiofrekuensi saraf pudendal, sebagai salah satu metode manajemen intervensi nyeri. Setelah menjalani prosedur selama dua minggu, skala nyeri pasien menurun dari 10 menjadi 3, tidur malam mencapai 5-6 jam sehari, depresi berkurang, dan tidak lagi menggunakan obat analgesia,” tutur Yusak.
Advertisement
Intervensi Rasa Nyeri Belum Dianggap Prioritas
Meski begitu, ternyata langkah intervensi nyeri oleh ahli neurologi ini belum mendapatkan prioritas lantaran tidak dianggap sebagai pengobatan saat intensitas nyeri meningkat. Kendala lain yang membuat manajemen intervensi nyeri belum optimal adalah keraguan pasien terhadap prosedur tersebut, karena dianggap tidak memberikan efek jangka panjang dan khawatir terhadap efek samping.
“Saat ini, manajemen intervensi nyeri umumnya dilakukan oleh spesialis Neurologi, Anestesi, Bedah Saraf, maupun Ortopedi. Namun, jumlahnya belum mencukupi untuk melakukan prosedur nyeri yang merata di seluruh rumah sakit di Indonesia,” katanya.
Lanjutnya, dari sekitar 150 dokter spesialis neurologi yang telah memiliki sertifikat kompetensi manajemen intervensi nyeri, hanya sekitar 5-10 orang yang melakukan prosedur tersebut.
“Ini juga menjadi tantangan bagi para mahasiswa dan alumni muda untuk mempertimbangkan bidang ini sebagai area pelayanan kesehatan di masa depan. Dengan semakin optimalnya pelayanan manajemen intervensi nyeri, maka diharapkan dapat mengurangi penggunaan opioid jangka panjang, sehingga penderita kanker dapat terhindar dari efek samping, tetap memiliki kualitas hidup yang baik, dan fokus pada pengobatan kankernya,” tuturnya.