Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi angkat bicara soal hasil skrining pada sekitar 12 ribu mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), dimana 2.716 orang menunjukkan gejala depresi.
Adib menjelaskan, di dalam program residen ada yang namanya pembelajaran klinis dan ada pula pelayanan medis.
Baca Juga
“Jadi, dia (PPDS) menjalankan pelayanan tapi dia juga mendapatkan pembelajaran. Pembelajaran dalam bentuk apa? Tugas ilmiah, bimbingan tapi dia punya tanggung jawab juga untuk memberikan pelayanan ke pasien,” kara Adib dalam temu media secara daring, Jumat (19/4/2024).
Advertisement
Adib menambahkan, mengingat mahasiswa PPDS melakukan pelayanan pasien, maka sudah sepatutnya mereka mendapatkan bayaran.
“Karena residen PPDS juga melakukan pelayanan, maka sudah seharusnya mendapatkan hak insentif. Karena dia sebagai tenaga medis, tenaga kesehatan yang ada di dalam institusi pelayanan tadi yang memberikan pelayanan,” ujar Adib.
Pemberian insentif terhadap PPDS sudah diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Tahun 2013, lanjut Adib. Hal ini sudah disebutkan secara jelas di pasal 31. Di mana PPDS tak hanya berhak mendapat insentif, tapi juga memperoleh perlindungan hukum dan waktu istirahat.
“PPDS yang sedang menjalankan pendidikan harus mendapatkan tiga hal ini, ini sejak tahun 2013, tapi dalam praktiknya, ini belum semuanya terealisasi.”
Sementara, dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru Adib menilai hal ini tak disebutkan secara detail. Termasuk soal insentif bagi peserta PPDS.
“Memang disebutkan dalam pasal 227, 228, 229 tapi tidak menyebutkan secara spesifik untuk peserta didik. Ini yang saya kira perlu mendorong pemerintah pusat, Kementerian Kesehatan yang nanti melalui peraturan pemerintahnya untuk kemudian memberikan insentif,” ucap Adib.
Alasan Peserta PPDS Perlu Digaji
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Junior Doctors Network (JDN) Indonesia, Tommy Dharmawan, menyampaikan hal senada.
Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan gejala depresi pada peserta PPDS adalah tidak adanya pemasukan. Terkait hal ini, Tommy merekomendasikan agar peserta PPDS untuk mendapatkan gaji dari rumah sakit tempat ia bekerja.
“Kenapa gaji ini sangat penting? Karena para PPDS ini ada di rentang usia dewasa di mana mereka rata-rata sudah umur 30, sudah berkeluarga, sehingga ya memang mereka membutuhkan biaya untuk kehidupan sehari-hari,” kata Tommy.
Advertisement
Gaji PPDS di Negara Tetangga
Tommy menambahkan, para PPDS di seluruh dunia mendapatkan gaji dari rumah sakit tempat mereka bertugas.
Di Malaysia, calon dokter spesialis digaji dengan nominal sekitar Rp15 juta. Sementara itu, di negara maju seperti Singapura peserta PPDS digaji 2.650 dollar Singapura atau sekitar Rp31 juta lebih.
Sementara, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak memberikan gaji pada para PPDS.
“Indonesia ini adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak memberikan gaji untuk para PPDS. Padahal di Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Tahun 2013 sudah dicantumkan bahwa pemerintah wajib memberikan gaji untuk para PPDS,” jelas Tommy.
Jadi Sumber Depresi
Tidak adanya pemberian gaji untuk para PPDS menjadi salah satu sumber depresi, lanjut Tommy.
“Tidak memberi gaji pada PPDS adalah salah satu sumber depresi untuk para PPDS. Jadi, isu ini harus ada solusinya, jangan hanya isu saja.”
Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk menangani isu ini menurut Tommy adalah memberikan gaji pada para PPDS.
“Solusi yang pertama adalah memberikan gaji pada para PPDS karena itu adalah sumber depresi mereka.”
Selain pemberian gaji, solusi lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi beban kerja PPDS. Dan mengurangi atau menghilangkan beban administrasi yang memang tak seharusnya dibebankan pada PPDS.
Advertisement