Mpox Clade 1 Menyebar di Afrika, Rasa Sakit Tak Tertahankan Menghantui Seorang Pria di Burundi

Pria Burundi Ceritakan Gejala Menyakitkan Mpox Clade 1b yang Membuatnya Tersiksa hingga Tak Bisa Tidur.

oleh Aditya Eka PrawiraDyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 26 Agu 2024, 07:16 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2024, 07:09 WIB
Pria Burundi Alami Sakit Tak Tertahankan Akibat Mpox Clade 1, Menyebar Tanpa Ampun yang Membuatnya Tidak Bisa Tidur (Tchandrou NITANGA / AFP)
Pria Burundi Alami Sakit Tak Tertahankan Akibat Mpox Clade 1, Menyebar Tanpa Ampun yang Membuatnya Tidak Bisa Tidur (Tchandrou NITANGA / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah varian dari virus mpox yang dikenal sebagai Clade 1b kini menimbulkan kekhawatiran besar di Afrika. Seorang pria asal Burundi, Egide Irambona, baru-baru ini angkat bicara tentang pengalaman menyakitkan yang dia alami akibat infeksi virus ini.

Saat ini, pria berumur 40 tahun tersebut sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Burundi, di tengah merebaknya wabah mpox yang memicu kekhawatiran akan kemungkinan pandemi global baru.

Pekan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah mpox sebagai kondisi darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional. Kasus Clade 1b juga telah dilaporkan di Thailand dan Swedia, meningkatkan kekhawatiran tentang penyebarannya ke berbagai belahan dunia.

Varian Clade 1b ini terutama menyebar melalui penularan heteroseksual. Meskipun tampaknya tidak terlalu mematikan dibandingkan varian Monkeypox lainnya, Clade 1b terbukti lebih menular. Irambona menceritakan bahwa virus ini menyebabkan rasa sakit yang luar biasa, khususnya pada bagian tenggorokan dan kaki.

"Saya mengalami pembengkakan kelenjar getah bening di tenggorokan saya. Sakit sekali sampai tidak bisa tidur," ujar Irambona kepada BBC. "Setelah beberapa waktu, rasa sakitnya mulai mereda di tenggorokan, tapi berpindah ke kaki saya, dan itu juga sangat menyakitkan," tambahnya.

Hingga saat ini, belum ada kematian yang terkonfirmasi akibat varian baru mpox ini di Burundi. Namun, pengujian untuk menentukan seberapa fatal wabah ini masih terbatas. Direktur Nasional Pusat Operasi Darurat Kesehatan Masyarakat Burundi, Dr Liliane Nkengurutse menjelaskan bahwa keterbatasan fasilitas pengujian menjadi tantangan besar dalam mengatasi wabah ini.

"Ini adalah tantangan nyata. Fakta bahwa diagnosis hanya dilakukan di satu tempat memperlambat pendeteksian kasus baru," kata Nkengurutse. Dia juga menambahkan bahwa diperlukan dana sekitar $14 juta untuk meningkatkan respons terhadap penyakit ini, termasuk mempercepat pengujian dan pendeteksian kasus.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Belum Tahu Kapan Pemberian Vaksin Mpox Dilakukan di Brundi

Pria Burundi Alami Sakit Tak Tertahankan Akibat Mpox Clade 1, Menyebar Tanpa Ampun yang Membuatnya Tidak Bisa Tidur (Tchandrou NITANGA / AFP)
Pria Burundi Alami Sakit Tak Tertahankan Akibat Mpox Clade 1, Menyebar Tanpa Ampun yang Membuatnya Tidak Bisa Tidur (Tchandrou NITANGA / AFP)

Saat ini, belum ada informasi mengenai kapan vaksin untuk mpox akan mulai diberikan di Burundi. Sementara itu, pejabat kesehatan mendesak masyarakat untuk tetap waspada dan menjaga diri, meskipun upaya ini menghadapi banyak kendala.

"Banyak orang tidak memahami gawatnya masalah ini. Bahkan ketika ada kasus yang terkonfirmasi, masyarakat masih sering berkumpul dan berbaur," ujar Nkengurutse. 

Ketika ditanya tentang mpox, banyak warga di ibu kota Burundi, Bujumbura, yang tidak tahu apa itu mpox atau seberapa serius penyebarannya. Beberapa orang hanya mendengar tentang penyakit ini dari media sosial dan belum melihatnya secara langsung.

"Saya pernah mendengar tentang penyakit ini, tapi saya belum pernah melihat ada orang yang menderita penyakit ini. Saya hanya melihatnya di media sosial," kata salah satu warga yang tidak mau disebutkan namanya.

Meskipun ketakutan akan penyakit ini mulai menyebar, banyak orang masih merasa perlu untuk terus bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga mereka, meskipun risiko terinfeksi virus ini tetap ada.


Penyakit MPOX Itu Apa?

Mpox adalah penyakit yang disebabkan oleh virus cacar monyet, bagian dari kelompok Orthopoxvirus. Penyakit ini biasanya ditandai dengan gejala seperti ruam kulit, demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot, nyeri punggung, dan pembengkakan kelenjar getah bening. Gejala-gejala tersebut bisa berlangsung antara dua hingga empat minggu.

Virus Mpox dapat menyebar melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi, atau melalui bahan yang sudah terkontaminasi. Penyakit ini juga bisa ditularkan dari hewan yang terinfeksi ke manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi perhatian khusus pada penyakit ini, terutama karena adanya peningkatan kasus di Afrika.


Penyakit Cacar Monyet Disebabkan Oleh Apa?

Menurut CDC, cacar monyet bisa menular dari hewan ke manusia melalui gigitan, cakaran, atau saat menangani daging hewan buruan. Penularan antar manusia bisa terjadi lewat tetesan pernapasan besar selama kontak tatap muka yang lama.

Selain itu, infeksi juga bisa menyebar melalui kontak langsung dengan cairan tubuh, lesi yang muncul selama infeksi, atau benda yang terkontaminasi, seperti pakaian atau tempat tidur.

Di Eropa, banyak kasus terbaru ditemukan di kalangan pria yang berhubungan seks dengan pria. Namun, cacar monyet tidak dianggap sebagai infeksi menular seksual.

Dr Agam Rao dari Divisi Patogen dan Patologi Tinggi di CDC menjelaskan bahwa kasus yang banyak di kelompok ini mungkin disebabkan oleh kontak kulit ke kulit di komunitas yang dekat.

"Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah virus cacar monyet bisa ditularkan melalui cairan mani atau cairan vagina. Masih banyak yang harus dipelajari sebelum kita bisa memastikan bahwa cacar monyet dapat menular secara seksual," katanya pada tahun 2022.


Apa Saja Gejala Monkeypox?

Monkeypox atau cacar monyet biasanya dimulai dengan gejala mirip flu, seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, dan kelelahan. Beberapa hari setelah demam muncul, pasien bisa mengalami ruam di wajah atau bagian tubuh lainnya.

Ruam dari cacar monyet bisa terlihat mirip dengan cacar air, sifilis, atau herpes. Namun, ada perbedaan penting: lepuh berisi cairan yang disebut vesikel sering kali muncul di telapak tangan.

Gejala cacar monyet bisa muncul antara lima hingga 21 hari setelah terinfeksi. Sebagian besar orang sembuh dalam waktu dua hingga empat minggu.

Setelah kasus cacar monyet pertama kali terdeteksi di AS, CDC menganjurkan tenaga kesehatan untuk memeriksa pasien yang menunjukkan gejala ruam cacar monyet. Rao juga merekomendasikan agar semua dokter, terutama di klinik Penyakit Menular Seksual, melakukan pemeriksaan ini.


Apa Obat untuk Cacar Monyet?

Saat ini, tidak ada obat khusus yang terbukti efektif untuk mengobati cacar monyet. Namun, beberapa pendekatan perawatan dapat membantu mengelola gejala dan mengurangi dampak penyakit tersebut.

Rimoin menyebutkan bahwa perawatan suportif cukup efektif untuk varian Afrika Barat. Selain itu, ada beberapa obat percobaan yang belum banyak diuji pada manusia.

Jika dokter mencurigai adanya kasus cacar monyet, mereka harus melaporkannya ke CDC. "Setiap perawatan potensial hanya bisa diakses melalui konsultasi dengan otoritas kesehatan masyarakat," ujar Rao.

CDC menyebutkan bahwa vaksin cacar dapat membantu mengendalikan wabah cacar monyet, namun vaksinasi cacar dihentikan di AS pada tahun 1972.

Pada tahun 2019, FDA menyetujui vaksin cacar yang juga melindungi dari cacar monyet, tapi vaksin ini belum tersedia secara luas. Para ahli percaya vaksin ini bisa mengurangi gejala atau mencegah penyakit jika diberikan segera setelah infeksi.

CDC mengatakan akan mengeluarkan pedoman vaksinasi jika terjadi wabah cacar monyet di AS di masa depan.

Lanjutkan Membaca ↓

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya