Dalam menurunkan angka kematian ibu dan anak, Indonesia sepertinya masih kalah dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. Bagaimana tidak, bukannya menurun, jumlah kematian ibu dan anak malah meningkat. Lantas, ada apa sebenarnya?
Menurut pendiri lembaga riset perempuan Women Research Institute (WRI), Edriana Noerdin, berdasarkan data SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) 2012, jumlah angka kematian ibu dan anak tercatat mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak dibanding hasil SDKI 2007 yang mencapai 228 per 100 ribu
"Sementara angka kematian di sejumlah negara seperti Vietnam 159 per 100 ribu kelahiran hidup dan lebih jauh lagi, Malaysia hanya 29 per 100 ribu kelahiran hidup," kata Edriana dalam Dialog Publik dengan tema 12 Hari Menyongsong Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, seperti ditulis Minggu (22/12/2013).
Menurut Edriana, masalah menurunkan angka kematian ibu dan bayi memang tidak mudah. Tapi ia jadi khawatir menjelang JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), ketika semua orang di daerah harusnya mendapat pelayanan kesehatan, namun jumlah bidan masih kurang apalagi dokter.
"Di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur misalnya, kalau seseorang mau ke puskesmas harus menumpang satu truk yang lewat satu kali sehari. Truk itu setiap hari harus mengangkut sayur dan babi. kebayang kan kalau tidak ada truk itu, masyarakat harus berjalan jauh dan mungkin akan batal ke puskesmas," jelasnya.
Begitu juga di Lombok, ada satu kampung yang hanya memiliki satu bidan. Yang ironis, bidan ini sempat dituntut seorang pria karena istrinya meninggal usai melahirkan.
"Karena ia bidan satu-satunya di kampung tersebut, ia juga menjadi bidan di kampung tetangga yang jaraknya cukup jauh. Walaupun dia naik motor tapi daerahnya bisa dibilang terjal (off road). Menurut keterangan bidan tersebut, waktu itu kondisi istri pria yang menuntutnya masih aman sehingga ia memutuskan untuk pergi menolong wanita melahirkan ke kampung lain. Sayangnya, ketika wanita itu ditinggal bersama dukun, wanita itu mengalami pendarahan dan akhirnya meninggal dunia. Dan saat itu si bidan dituntut, " katanya.
Belum lagi permasalahan gaji bidan yang menggunakan sistem reimburse yang menurut Pemda (Pemerintah Daerah) akan dibayar 6 bulan. Tapi pada kenyataannya, pembayaran sering terlambat dan untuk menutupi hal tersebut bidan akhirnya kesulitan.
"Di beberapa daerah bahkan ada yang masyarakatnya iuran Rp 100.000 untuk bidan. Tapi ketika masyarakat tidak memiliki uang, mereka akan merasa keberatan membayarnya," ungkap Edriana.
Melihat masih banyaknya kasus tersebut, Edriana mengatakan, ada tiga masalah yang seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah sebelum benar-benar terlibat dalam JKN. Yang pertama, masalah tenaga kesehatan. Kedua, masalah biaya dan terakhir masalah infrastruktur yang harus diperbaiki.
(Fit/Igw)
Menurut pendiri lembaga riset perempuan Women Research Institute (WRI), Edriana Noerdin, berdasarkan data SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) 2012, jumlah angka kematian ibu dan anak tercatat mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak dibanding hasil SDKI 2007 yang mencapai 228 per 100 ribu
"Sementara angka kematian di sejumlah negara seperti Vietnam 159 per 100 ribu kelahiran hidup dan lebih jauh lagi, Malaysia hanya 29 per 100 ribu kelahiran hidup," kata Edriana dalam Dialog Publik dengan tema 12 Hari Menyongsong Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, seperti ditulis Minggu (22/12/2013).
Menurut Edriana, masalah menurunkan angka kematian ibu dan bayi memang tidak mudah. Tapi ia jadi khawatir menjelang JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), ketika semua orang di daerah harusnya mendapat pelayanan kesehatan, namun jumlah bidan masih kurang apalagi dokter.
"Di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur misalnya, kalau seseorang mau ke puskesmas harus menumpang satu truk yang lewat satu kali sehari. Truk itu setiap hari harus mengangkut sayur dan babi. kebayang kan kalau tidak ada truk itu, masyarakat harus berjalan jauh dan mungkin akan batal ke puskesmas," jelasnya.
Begitu juga di Lombok, ada satu kampung yang hanya memiliki satu bidan. Yang ironis, bidan ini sempat dituntut seorang pria karena istrinya meninggal usai melahirkan.
"Karena ia bidan satu-satunya di kampung tersebut, ia juga menjadi bidan di kampung tetangga yang jaraknya cukup jauh. Walaupun dia naik motor tapi daerahnya bisa dibilang terjal (off road). Menurut keterangan bidan tersebut, waktu itu kondisi istri pria yang menuntutnya masih aman sehingga ia memutuskan untuk pergi menolong wanita melahirkan ke kampung lain. Sayangnya, ketika wanita itu ditinggal bersama dukun, wanita itu mengalami pendarahan dan akhirnya meninggal dunia. Dan saat itu si bidan dituntut, " katanya.
Belum lagi permasalahan gaji bidan yang menggunakan sistem reimburse yang menurut Pemda (Pemerintah Daerah) akan dibayar 6 bulan. Tapi pada kenyataannya, pembayaran sering terlambat dan untuk menutupi hal tersebut bidan akhirnya kesulitan.
"Di beberapa daerah bahkan ada yang masyarakatnya iuran Rp 100.000 untuk bidan. Tapi ketika masyarakat tidak memiliki uang, mereka akan merasa keberatan membayarnya," ungkap Edriana.
Melihat masih banyaknya kasus tersebut, Edriana mengatakan, ada tiga masalah yang seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah sebelum benar-benar terlibat dalam JKN. Yang pertama, masalah tenaga kesehatan. Kedua, masalah biaya dan terakhir masalah infrastruktur yang harus diperbaiki.
(Fit/Igw)