Liputan6.com, Jakarta - Mencari hari baik untuk menikah dalam Islam sebaiknya tidak didasarkan pada keyakinan akan nasib baik atau buruk pernikahan di masa depan. Hal ini karena mencari hari baik berdasarkan pertimbangan nasib telah melampaui batasan aqidah dalam Islam, sehingga tidak dianjurkan.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Islam mengajarkan bahwa pernikahan bisa dilangsungkan kapan saja, karena semua hari dianggap baik, tergantung pada niat dan tujuan baik dari kedua pasangan yang ingin menikah. Prinsip dasar dalam Islam adalah menjalankan pernikahan dengan niat yang baik, saling mencintai, dan menjalin hubungan yang penuh keberkahan di bawah ridha Allah.
“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman yang dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang hukum mencari hari baik untuk menikah dalam Islam, Senin (3/6/2023).
Semua Hari Baik
Tradisi mencari "hari baik" untuk melangsungkan pernikahan sering kali dikaitkan dengan keyakinan adanya peruntungan nasib baik atau buruk, namun hal ini sudah memasuki wilayah aqidah dalam Islam. Dalam ajaran agama Islam, mencari hari baik untuk menikah artinya mencari hari yang sesuai dengan keinginan kedua keluarga mempelai dan tidak berhubungan dengan nasib pernikahan di masa depan.
Dikutip dari buku berjudul Fiqih Kontemporer 3 karya KH Ahmad Zahro terbitan Qaf Media Kreativa, mencari hari baik untuk pernikahan yang semata-mata dikaitkan dengan kelonggaran para pihak terkait seperti teman-teman atau kolega undangan, misalnya Sabtu atau Ahad karena hari libur, jelas diperbolehkan dalam Islam.
Begitu pula, melangsungkan pernikahan di bulan tertentu karena diduga tidak akan hujan atau melaksanakannya di awal bulan karena waktu gajian, tidak ada masalah dalam agama, bahkan dapat dianjurkan karena menunjukkan perhitungan dan pertimbangan yang rasional dan matang.
Mayoritas masyarakat di Indonesia masih memperhatikan waktu yang tepat untuk melaksanakan pernikahan, terutama dalam tradisi Aqdun Nikah. Sebagai contoh, dalam budaya Jawa, bulan-bulan seperti Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Syawal, dan Dhul Hijjah dianggap sebagai waktu yang baik untuk menikah. Hal ini mencerminkan adanya kepercayaan dan kebiasaan lokal yang masih dipegang oleh sebagian besar masyarakat dalam menentukan hari baik dalam pernikahan.
Dalam jurnal penelitian berjudul "Budaya Memilih Hari Baik Dalam Pernikahan Terhadap Kelanggengan Rumah Tangga" (2022) oleh Abdurrahman Abubakar Bahmid dkk., mereka yang tetap memilih hari baik sesuai tradisi mempercayai adanya dampak positif dan negatif dalam pemilihan hari baik dalam pernikahan. Dampak positifnya adalah keyakinan bahwa pernikahan mereka akan langgeng dan banyak dihadiri oleh para undangan, sekaligus para undangan akan menyampaikan doa keberkahan atas pernikahan tersebut.
Namun, dampak negatif dari perkawinan yang tidak memilih hari baik antara lain adalah kurangnya keselarasan antara keluarga calon mempelai pria dan wanita, kekhawatiran berlebihan jika hari yang dipilih tidak sesuai atau melanggar tradisi yang berlaku, penundaan atau bahkan kegagalan pernikahan, dan tanpa disadari juga berdampak pada maraknya perselingkuhan dan pergaulan bebas.
Advertisement
Paling Penting di Niat
Sementara itu, dalam pandangan Islam, semua hari adalah baik dan semua bulan adalah berkah. Tidak ada larangan menikah pada bulan-bulan tertentu. Sebagai contoh, pada riwayat pernikahan Rasulullah SAW dengan Siti Aisyah, orang-orang menganggap makruh atau mendatangkan kesialan jika menikah di bulan Syawal.
Namun, untuk menepis kepercayaan tersebut, Rasulullah SAW sendiri menikahi Siti ’Aisyah di bulan Syawwal, menunjukkan bahwa semua bulan sama-sama baik untuk melangsungkan pernikahan.
Dalam kitab al-Minhaj as-Sawi, disampaikan bahwa para ulama fiqh rahimahullah berpendapat bagi orang yang menikah, hendaknya pernikahannya diniati untuk menegakkan sunnah dan menjauhi hal-hal yang haram. Pernikahan akan menjadi ibadah jika disertai dengan niat baik, sehingga pernikahan tersebut dapat mendapatkan pahala ibadah.
Para ulama fiqh rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya bagi orang yang menikah hendaknya pernikahannya diniati menegakkan sunnah, memejamkan pandangan dari perkara yang haram. Dan pernikahan akan menjadi ibadah jika disertai niat baik sehingga pernikahannya mendapatkan pahala ibadah.”
Mencari hari baik untuk menikah dalam Islam seharusnya didasarkan pada keinginan kedua keluarga mempelai dan pertimbangan praktis seperti kelonggaran jadwal para pihak terkait. Meskipun masyarakat masih mempertimbangkan tradisi tertentu atau bulan-bulan tertentu, prinsip dasar dalam Islam adalah bahwa semua hari adalah baik dan semua bulan adalah berkah. Terpenting adalah menjalankan pernikahan dengan niat yang baik, mengikuti sunnah, dan menjauhi hal-hal yang haram.
Dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah, 3/235, Ibnu Katsir juga menjelaskan anjuran menikah di bulan Syawal:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua ‘ied (bulan Syawal termasuk di antara ‘ied Fitri dan ‘idul Adha), mereka khawatir akan terjadi perceraian. Keyakinan ini tidaklah benar.”