Liputan6.com, Jakarta - Syarat pemilu yang demokratis, menurut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), merujuk pada aspek penting yang membentuk integritas dan keadilan dalam proses pemilihan di Indonesia. Melihat praktiknya, terdapat perjuangan yang berkelanjutan untuk memastikan kejelasan regulasi yang mengatur jalannya pemilu.
Hal ini tampak dari upaya revisi berbagai undang-undang terkait pemilihan, seperti UU Pemilu. Upaya ini dibangun untuk memperkuat landasan hukum yang mengatur proses pemilihan secara menyeluruh.
Advertisement
Baca Juga
Dalam acara sosialisasi yang dihadiri oleh jajaran Bawaslu se-Bali pada 25 Maret 2023, Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menguraikan secara rinci lima syarat penting yang harus dipenuhi untuk menjadikan pemilu sebagai proses demokratis yang berkualitas. Raka Sandi menyebut lima syarat pemilu yang demokratis, yakni regulasi jelas, penyelenggara yang independen, peserta yang taat aturan, pemilih aktif, dan birokrasi yang netral.
"Dengan terpenuhinya lima syarat tersebut, saya kira Pemilu 2024 nanti bisa berjalan dengan baik dan demokratis," kata Raka Sandi dikutip dari Antara pada Jumat (5/1/2024).
Pentingnya penyelenggara yang independen, terpercaya, dan berintegritas telah menjadi fokus utama dalam upaya menjaga keberlangsungan pemilu yang adil. DKPP mengamati bahwa meskipun masih ada tantangan, langkah-langkah telah diambil untuk meningkatkan kredibilitas lembaga-lembaga terkait pemilihan.
Pembenahan struktur, peningkatan kapasitas, dan penegakan kode etik telah menjadi bagian dari perbaikan sistem penyelenggaraan pemilu demi menjaga independensi dan kepercayaan masyarakat. Berikut Liputan6.com ulas penjelasannya, Jumat (5/1/2024).
1. Regulasi yang jelas
Pertama-tama, dijelaskan bahwa regulasi yang jelas menjadi salah satu aspek krusial dalam penyelenggaraan pemilu. Hal ini menuntut adanya peraturan yang tegas dan dapat diinterpretasikan dengan mudah oleh semua pihak terkait pemilu. Regulasi yang jelas membantu meminimalkan ketidakpastian, konflik interpretasi, serta melindungi hak-hak pemilih dan peserta pemilu.
Contoh praktik yang salah adalah adanya peraturan yang ambigu atau rentan terhadap penafsiran yang bervariasi. Sedangkan praktik yang benar melibatkan penyusunan regulasi yang bersifat inklusif, melibatkan para pemangku kepentingan, dan mengakomodasi berbagai perspektif untuk menjamin keadilan dalam proses pemilihan.
2. Mandiri, berintegritas, dan kredibel
Syarat kedua yang diungkapkan adalah keberadaan penyelenggara pemilu yang mandiri, berintegritas, dan kredibel. Penyelenggara pemilu yang bebas dari intervensi politik serta memiliki tingkat integritas yang tinggi sangat penting untuk memastikan transparansi, kepercayaan masyarakat, serta hasil yang sah dan akurat.
Praktik yang salah dapat terjadi jika terdapat campur tangan pihak tertentu dalam proses penyelenggaraan. Sementara praktik yang benar adalah menjaga independensi dan integritas lembaga penyelenggara serta menjamin bahwa mereka memiliki kapasitas dan kompetensi yang diperlukan dalam mengelola pemilu secara efektif.
Advertisement
3. Peserta taat pada aturan
Syarat ketiga yang dijelaskan adalah peserta yang taat aturan. Hal ini menekankan perlunya seluruh pihak yang terlibat dalam pemilu mematuhi aturan yang telah ditetapkan untuk menjaga integritas proses demokratis. Peserta pemilu yang berkomitmen untuk berpartisipasi sesuai dengan aturan yang berlaku akan menjaga kelancaran dan keadilan dalam setiap tahapan pemilihan.
Praktik yang salah mencakup pelanggaran etika kampanye atau pemalsuan informasi yang dapat merusak proses demokratis. Sementara praktik yang benar adalah menjaga komitmen dan ketaatan terhadap aturan yang telah ditetapkan.
4. Cerdas dan partisipatif
Pemilih yang cerdas dan partisipatif menjadi syarat keempat yang disoroti. I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menyoroti pentingnya pemilih yang mampu mengakses informasi secara bijak untuk membuat keputusan yang tepat. Pemilih yang cerdas dan aktif secara partisipatif dalam proses pemilihan merupakan salah satu penentu keberhasilan pemilu yang demokratis.
Praktik yang salah dapat mencakup penyebaran berita palsu atau manipulatif yang dapat memengaruhi opini pemilih. Sementara praktik yang benar adalah memberikan pendidikan politik yang seimbang dan memastikan ketersediaan informasi yang jelas terkait kandidat dan program mereka.
5. Birokrasi yang netral
Terakhir, syarat kelima adalah keberadaan birokrasi yang netral. I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menekankan bahwa aparat yang terlibat dalam pemilu harus bersikap netral dan tidak berpihak pada satu pihak tertentu. Birokrasi yang netral sangat penting untuk menjaga keadilan, integritas, serta kepercayaan masyarakat dalam proses pemilihan.
Praktik yang salah dapat melibatkan intervensi birokrasi yang memihak atau tidak netral, sementara praktik yang benar adalah menjaga netralitas dan profesionalitas aparat terkait dalam setiap tahapan pemilihan. Jika bisa memenuhi kelima syarat ini, pemilu dapat menjadi landasan yang kuat untuk proses demokratis yang sehat di Indonesia.
Advertisement
Pentingnya syarat demokratis dalam Pemilu
Pentingnya memiliki proses pemilihan umum yang demokratis bagi negara yang menganut sistem demokrasi sangatlah besar. Ini menjadi pondasi utama bagi representasi yang adil dan inklusif dari kepentingan seluruh rakyat. Dalam sebuah sistem demokratis, pemilihan umum merupakan salah satu pilar utama yang memungkinkan suara dan kehendak rakyat untuk tercermin secara proporsional dalam pembentukan pemerintahan.
Ketika syarat-syarat pemilu yang demokratis terpenuhi, hal ini memastikan bahwa proses politik menjadi lebih terbuka, merangsang partisipasi publik, dan mendorong akuntabilitas.
Pemilu yang demokratis juga mengukuhkan legitimasi pemerintahan. Ketika masyarakat melihat bahwa proses pemilihan berlangsung dengan transparan, adil, dan tanpa intervensi, kepercayaan mereka terhadap institusi politik dan perwakilan yang terpilih meningkat. Hal ini membantu menjaga stabilitas politik dan sosial suatu negara, mengurangi potensi ketegangan, dan memperkuat kohesi sosial di antara warga negara.
Selain itu, pemilihan umum yang demokratis memainkan peran kunci dalam mengembangkan budaya politik yang inklusif. Ketika proses pemilihan memberikan ruang bagi partisipasi semua elemen masyarakat, termasuk minoritas, kelompok sosial, dan ekonomi yang beragam, hal ini mengirim pesan bahwa setiap suara memiliki nilai yang sama. Ini bukan hanya tentang memilih para pemimpin, tetapi juga tentang membangun jaringan sosial dan politik yang memperkuat kesatuan dalam keberagaman.
Pemilihan umum yang demokratis juga mengakomodasi perubahan dan aspirasi masyarakat. Mampu memberikan platform bagi perwakilan dari berbagai lapisan masyarakat, proses ini memungkinkan adanya perubahan dan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan dinamis rakyat. Ini merupakan manifestasi dari demokrasi yang adaptif, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang terus berlangsung.