Liputan6.com, Jakarta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sistem Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah mencuri perhatian utama dalam panggung politik Indonesia. Sidang yang berlangsung pada Kamis (15/6/2023) membahas tentang pengubahan arah Pemilu, dengan gugatan untuk mengubah formatnya ke dalam pola proporsional tertutup. Hasil putusan MK pemilu proporsional tertutup ini pun menarik banyak perhatian.Â
Baca Juga
Advertisement
Hasil dari putusan MK pemilu proporsional tertutup yang diajukan adalah ditolak, MK menolak permohonan para pemohon dan tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka. Ketika berita tentang putusan MK pemilu proporsional tertutup yang ditolak ini menyebar, berbagai reaksi dan spekulasi mewarnai dinamika politik tanah air.Â
Jelas bahwa keputusan untuk kembali mengadopsi sistem proporsional tertutup dapat menciptakan dampak yang signifikan pada proses demokrasi di Indonesia. Karena putusan MK pemilu proporsional tertutup tidak hanya menciptakan ketidakpastian di kalangan pemilih, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana perubahan ini akan memengaruhi representasi demokratis.Â
Untuk hasil putusan MK pemilu proporsional tertutup secara lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber pada Jumat (5/1/2023).Â
Hasil Putusan MK Untuk Gugatan Pemilu Proporsional Tertutup: Ditolak
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan keputusan yang berpengaruh besar terhadap jalannya Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dalam sidang terbuka di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, pada Kamis (15/6/2023), MK menolak gugatan uji materi terkait Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Penolakan ini didasarkan pada pertimbangan hakim konstitusi yang menyatakan bahwa gugatan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat menurut hukum yang berlaku.
Ketua MK saat itu, Anwar Usman, dalam pengumuman keputusan menyampaikan bahwa pokok permohonan para pemohon dianggap tidak beralasan secara hukum. Dengan demikian, sistem Pemilu 2024 akan tetap dilaksanakan dengan format proporsional terbuka, di mana pemilih dapat mencoblos langsung calon legislatif (caleg) pilihan mereka. Keputusan ini menandai langkah signifikan dalam arah demokrasi Indonesia, dan keteguhan MK dalam menjaga prinsip-prinsip hukum.
Gugatan terkait sistem Pemilu ini sebelumnya diajukan oleh enam individu pada 14 November 2022, dengan harapan MK mengembalikan sistem Pemilu ke format proporsional tertutup. Namun, melalui proses persidangan yang panjang dan maraton, MK memutuskan untuk mempertahankan sistem proporsional terbuka yang saat ini diterapkan. Keputusan ini tidak hanya menjadi poin kontroversial di ranah hukum, tetapi juga menciptakan perdebatan di tingkat politik, terutama dengan penolakan dari 8 fraksi DPR terhadap pengembalian ke sistem proporsional tertutup.
Proses persidangan yang berlangsung sebanyak 16 kali sidang memberikan pengamatan mendalam terhadap argumen-argumen yang disampaikan oleh para pihak terkait. Dengan keteguhan hakim konstitusi, keputusan ini membawa implikasi besar pada dinamika politik Indonesia menjelang Pemilu 2024.Â
Advertisement
Alasan Kenapa Mengundang Perhatian dan Kontroversi
Sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) menyampaikan putusannya pada 15 Juni 2023 mengenai sistem Pemilu, kabar burung mengenai kemungkinan perubahan ke sistem tertutup telah menyebar luas. Rumor ini menciptakan kontroversi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, yang mengecam keras dugaan kebocoran informasi putusan MK.
Menteri Mahfud MD menegaskan bahwa jika kebocoran informasi itu benar, itu dapat dikategorikan sebagai preseden buruk dan dianggap sebagai pembocoran rahasia negara. Dalam rapat bersama Kapolri dan Panglima TNI di Jakarta, Mahfud menyatakan kekecewaannya dan mendesak untuk mengusut informasi yang bocor tersebut.Â
Rumor ini pertama kali muncul melalui media sosial, ketika Denny Indrayana menyatakan bahwa MK akan memutuskan Pemilu legislatif berubah menjadi sistem proporsional tertutup. Kabar ini disertai dengan klaim bahwa enam hakim MK mendukung keputusan ini, sementara tiga hakim lainnya memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Meskipun juru bicara MK, Fajar Laksono, membantah rumor tersebut dan menyatakan bahwa perkara tersebut belum dibahas secara mendalam, kontroversi tetap berkembang.
Kontroversi ini mendapatkan respons dari berbagai pihak, termasuk Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY menyebut bahwa jika informasi yang disampaikan Denny benar, maka bisa terjadi 'chaos' politik, terutama mengingat Daftar Caleg Sementara (DCS) baru saja diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Reaksi keras ini menunjukkan bagaimana rumor tersebut tidak hanya menciptakan kekhawatiran politik, tetapi juga berpotensi mengganggu kesiapan Pemilu.
Pengertian Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup
1. Sistem Pemilu Proporsional Terbuka:
Sistem Pemilu Proporsional Terbuka adalah suatu metode pemilihan umum di mana pemilih memiliki kebebasan untuk memilih antara partai politik dan/atau calon legislator dari partai tersebut. Dalam sistem ini, pemilih dapat memilih calon secara langsung tanpa harus mematuhi urutan yang telah ditentukan oleh partai. Artinya, pemilih dapat memengaruhi distribusi kursi di parlemen berdasarkan preferensi mereka terhadap calon individu.
Dalam konteks ini, pemilih memberikan suaranya untuk partai politik yang kemudian akan mendistribusikan kursi sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh oleh setiap partai. Calon dari partai yang meraih suara akan menduduki kursi di parlemen. Pemilih memiliki kontrol lebih besar terhadap pilihan calon, dan ini dapat menciptakan hubungan langsung antara pemilih dan wakil mereka di legislatif.
2. Sistem Pemilu Proporsional Tertutup:
Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, sebaliknya, membatasi pemilih untuk memilih partai politik saja, bukan calon individual. Dalam sistem ini, partai politik menentukan daftar calon yang akan menduduki kursi parlemen berdasarkan peringkat yang telah ditentukan sebelumnya. Pemilih memberikan suara untuk partai, dan distribusi kursi di parlemen bergantung pada peringkat calon yang telah ditetapkan oleh partai.
Dengan kata lain, pemilih tidak memiliki kebebasan untuk memilih calon tertentu, tetapi suaranya digunakan untuk mendukung partai secara keseluruhan. Partai kemudian mengisi kursi di parlemen berdasarkan urutan calon dalam daftar mereka. Sistem ini memberikan partai kontrol yang lebih besar terhadap anggota yang terpilih, dan pemilih lebih cenderung memberikan dukungan terhadap platform partai secara keseluruhan.
Advertisement