Liputan6.com, Jakarta Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Indonesia menjelaskan bahwa pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat adalah sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pentingnya integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas penyelenggara pemilu menjadi kunci untuk memastikan pelaksanaan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Baca Juga
Indonesia telah melaksanakan pemilu legislatif dan presiden sebanyak lima kali pasca reformasi, dimulai dari tahun 1999. Pemilu tahun 2019 merupakan yang pertama menggabungkan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, presiden, dan wakil presiden, diatur oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatukan beberapa undang-undang sebelumnya. Namun, apakah peraturan ini masih sama dengan undang-undang pemilu 2024?
Advertisement
Meskipun telah memasuki tahapan Pemilu 2024, implementasinya masih mengacu pada UU Pemilu 2019. Dengan pengalaman dari pemilu sebelumnya, ditemukan beberapa masalah yang perlu diantisipasi dan diperbaiki dalam regulasi Pemilu 2024. Tapi, hingga saat ini belum ada revisi yang dilakukan untuk mengatasi potensi kelemahan dan permasalahan yang mungkin timbul pada pelaksanaan Pemilu 2024.
Berikut ulasan lebih lanjut tentang undang-undang pemilu 2024 yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (22/21/2023).
Pernyataan KPU RI Tentang Perubahan Undang-undang Pemilu
Dilansir dari laman kpu.go.id, pada Juni 2020, muncul kabar yang menyatakan kemungkinan penundaan Pemilu dan Pemilihan dari tahun 2024 ke tahun 2027, merespon wacana revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan. Anggota KPU RI, Ilham Saputra, sebagai narasumber pada berita tersebut, memberikan klarifikasi dua hari setelah berita tersebut tayang. Klarifikasinya menegaskan bahwa Pemilu, sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017, tetap dijadwalkan pada tahun 2024.
KPU, sebagai lembaga penyelenggara pemilu, menyatakan ketaatan dan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, yang mengatur bahwa Pemilu dan Pemilihan serentak nasional akan diselenggarakan pada tahun 2024.
Meskipun muncul wacana revisi UU, KPU menegaskan bahwa kewenangan untuk pembentukan dan perubahan UU, terutama Undang-Undang Pemilu 2024, berada pada DPR bersama Pemerintah. KPU, sebagai lembaga penyelenggara pemilu, berfokus pada tugas, wewenang, dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka dapat memberikan masukan dan pengalaman kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan DPR.
Pada prosesnya, terjadi koordinasi antara berbagai pihak, termasuk DPR, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP, yang membentuk Tim Kerja Bersama. Tim ini sepakat bahwa Pemilu dan Pemilihan tetap diselenggarakan pada tahun 2024 sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 Tahun 2016.
Jadwal Pemilu direncanakan pada tanggal 21 Februari 2024, sementara Pemilihan Kepala Daerah dijadwalkan pada tanggal 27 November 2024. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan menegaskan kembali komitmen KPU untuk melaksanakan pemilu sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Advertisement
Respon Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian UU Pemilu yang Berlaku
Dilansir dari laman mkri.id, Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 15 Juni 2023 menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan ini diajukan oleh sejumlah pemohon yang mengajukan beberapa pasal UU Pemilu terhadap UUD 1945, khususnya terkait sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Meskipun beberapa pemohon mendalilkan bahwa sistem ini mendistorsi peran partai politik, MK menegaskan bahwa Pemilu anggota DPR dan DPRD 2024 tetap menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa partai politik masih memiliki peran sentral yang signifikan dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon, termasuk penentuan nomor urut calon anggota legislatif. MK juga menekankan bahwa sistem proporsional dengan daftar terbuka lebih dekat kepada sistem pemilu yang diinginkan oleh UUD 1945.
Meskipun MK mengakui kelebihan dan kekurangan dari kedua sistem proporsional, yaitu dengan daftar terbuka dan daftar tertutup. MK menegaskan bahwa keputusan tentang sistem pemilu yang akan diterapkan tetap menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), menyuarakan perlunya evaluasi, perbaikan, dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah diterapkan sejak Pemilu 2004. Ia menekankan bahwa transisi dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan untuk mengatasi konflik internal partai politik dan persaingan tanpa etika antar calon anggota legislatif.
Meskipun MK menolak permohonan ini, pendapat berbeda dari Arief Hidayat mencerminkan adanya ikhtilaf dan tuntutan untuk melibatkan partisipasi publik yang bermakna dalam penyelenggaraan pemilu.