Liputan6.com, Jakarta Kriminalisasi adalah istilah yang sering kali muncul di media. Namun, jarang sekali dibahas apa sebenarnya kriminalisasi itu. Istila ini mengacu pada proses penggunaan hukum untuk mengkriminalisasi tindakan atau perilaku tertentu, menjadikannya ilegal atau melanggar hukum.
Baca Juga
Advertisement
Praktik kriminalisasi menunjukkan kecenderungan penggunaan mekanisme hukum pidana sebagai alat untuk mengontrol sosial dan memastikan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan yang ada. Keberadaan undang-undang yang mengkriminalisasi tindakan non-kejahatan sering kali digunakan sebagai alat untuk menegakkan ketaatan terhadap hukum, bukan untuk mengatasi masalah kriminalitas secara substansial.
Berikut ulsan lebih lanjut tentang apa itu kriminalisasi yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (11/7/2024).
Apa itu Kriminalisasi?
Kriminalisasi adalah proses di mana tindakan atau perilaku yang sebelumnya legal atau tidak dianggap sebagai tindak pidana, diubah menjadi ilegal oleh pemerintah atau otoritas yang berwenang. Ini berarti bahwa sesuatu yang sebelumnya mungkin dianggap sebagai masalah sosial atau etika, sekarang menjadi dasar untuk penuntutan hukum.
Praktik kriminalisasi mencakup berbagai jenis tindakan, mulai dari kejahatan seperti pencurian atau penggunaan narkotika hingga perilaku yang lebih subjektif seperti pengemis jalanan atau prostitusi. Ketika sebuah tindakan atau perilaku tersebut ditetapkan sebagai ilegal melalui undang-undang atau peraturan baru, individu yang terlibat dalam perilaku tersebut dapat dihadapkan pada sanksi hukum, termasuk denda, penjara, atau hukuman lainnya.
Kriminalisasi sering kali mencerminkan perubahan dalam nilai-nilai sosial atau pandangan masyarakat terhadap suatu perilaku, serta upaya pemerintah untuk mengatur dan mengontrol kehidupan sosial dalam masyarakat. Meskipun tujuannya dapat meliputi penegakan hukum dan perlindungan masyarakat, dampak dari kriminalisasi juga dapat memunculkan debat tentang keadilan, hak asasi manusia, dan efektivitas hukum dalam menanggapi masalah sosial.
Advertisement
Contoh Kriminalisasi yang Terjadi di Indonesia
UU ITE adalah salah satu perangkat hukum yang banyak dijadikan alat kriminalisasi karena pasa-pasal karet di dalamnya. Kriminalisasi UU ITE di Indonesia telah menimbulkan polemik yang signifikan terkait implementasinya. Undang-undang seharusnya ditujukan untuk mengatur masalah digital seperti hoaks dan cybercrime, justru sering kali digunakan sebagai instrumen untuk mempidanakan kelompok tertentu, termasuk aktivis dan jurnalis, atas dasar publikasi atau ekspresi mereka.
Salah satu contoh yang mencuat adalah kasus Muhammad Asrul, seorang jurnalis asal Palopo, Sulawesi Selatan. Asrul dijatuhi hukuman penjara selama tiga bulan karena melaporkan dugaan korupsi oleh pejabat daerah. Kasus ini menunjukkan bagaimana UU ITE digunakan untuk menahan individu yang mengkritik atau mengungkap kekurangan pemerintah.
Juga terdapat kasus lain seperti Dandhy Dwi Laksono, seorang jurnalis dari Watchdoc, yang dijerat dengan UU ITE karena cuitannya di Twitter mengenai kondisi politik di Papua. Gencar Jarot, pemilik media online koranindigo.online di Sulawesi Tengah, juga menjadi tersangka karena pemberitaannya mengenai kebijakan RSUD Anuntaloko Parigi.
Fadli Aksar dan Wiwid Abid Abadi, jurnalis dari detiksultra.com dan okesultra.com, dilaporkan ke polisi karena meliput dugaan maladministrasi dalam Pemilihan Umum Legislatif 2019 di Sulawesi Tenggara. Mereka dijerat dengan UU ITE setelah melaporkan temuan mereka.
Dampak Kriminalisasi
Kriminalisasi memiliki dampak yang luas terhadap individu dan masyarakat, yang dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan hukum. Berikut adalah beberapa dampak utama dari kriminalisasi.
1. Stigma Sosial
Individu yang terkena kriminalisasi sering mengalami stigma dalam masyarakat. Mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan, perumahan, atau menjalani kehidupan yang normal setelah masa penjara. Stigma ini dapat memperburuk reintegrasi sosial mereka dan meningkatkan risiko keterlibatan kembali dalam kegiatan kriminal.
2. Overkriminalisasi
Proses kriminalisasi yang berlebihan dapat menghasilkan peningkatan jumlah narapidana. Hal ini membebani sistem peradilan pidana dengan kasus-kasus yang mungkin tidak seharusnya diproses secara kriminal, melainkan dapat diselesaikan dengan cara alternatif. Overkriminalisasi juga dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum, dengan menggunakan undang-undang yang ambigu atau terlalu luas untuk menuntut individu.
3. Biaya Sosial dan Ekonomi
Kriminalisasi membutuhkan sumber daya yang besar dalam penegakan hukum, proses peradilan, dan sistem penjara. Biaya ini meliputi anggaran untuk penegakan hukum, biaya peradilan, biaya penahanan, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial. Pengeluaran ini dapat menguras anggaran negara yang bisa dialokasikan untuk program-program sosial, pendidikan, atau kesehatan yang lebih produktif dan bermanfaat bagi masyarakat.
Advertisement