Liputan6.com, Jakarta Setiap tahun, ribuan keluarga di Indonesia dihadapkan pada tantangan dalam menghadapi penyakit thalasemia. Kondisi genetik ini tidak hanya mempengaruhi penderitanya secara fisik, tetapi juga berdampak signifikan pada kualitas hidup keluarga secara keseluruhan. Di Indonesia sendiri, prevalensi pembawa gen thalasemia cukup mengkhawatirkan, yakni mencapai 6-10% dari total populasi. Artinya, 6 dari 100 penduduk Indonesia berpotensi menjadi pembawa gen penyakit ini.
Thalasemia adalah kelainan darah yang diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya melalui gen pembawa sifat. Kondisi ini terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang dalam membentuk protein yang diperlukan untuk memproduksi hemoglobin, komponen penting dalam sel darah merah. Akibatnya, penderita mengalami anemia atau kekurangan darah karena sel darah merah yang seharusnya bertahan hingga 120 hari menjadi lebih mudah rusak.
Advertisement
Memahami thalasemia menjadi semakin penting mengingat dampaknya yang berkelanjutan pada kesehatan penderita. Tidak seperti penyakit lain yang mungkin dapat disembuhkan dengan pengobatan jangka pendek, thalasemia membutuhkan penanganan seumur hidup. Hal ini menjadikan pemahaman yang mendalam tentang kondisi ini sangat krusial, terutama bagi calon pasangan yang berencana memiliki keturunan.
Advertisement
Untuk memahami lebih dalam tentang apa itu thalasemia secara lebih mendalam, simak penjelasan selengkapnya berikut ini sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu (23/10/2024).
Memahami Mekanisme Pewarisan Thalasemia
Thalasemia merupakan penyakit genetik yang diwariskan mengikuti pola pewarisan autosomal resesif. Ini berarti seseorang harus mewarisi gen thalasemia dari kedua orang tuanya untuk mengembangkan bentuk berat penyakit ini. Ketika kedua orang tua adalah pembawa gen thalasemia (carrier), setiap kehamilan memiliki:
- 25% kemungkinan anak lahir normal
- 50% kemungkinan anak menjadi pembawa gen (thalasemia minor)
- 25% kemungkinan anak mengalami thalasemia mayor
Advertisement
Mengenal Jenis-jenis Thalasemia
Dalam dunia medis, thalasemia diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan tingkat keparahannya. Pemahaman tentang setiap jenis ini penting untuk menentukan pendekatan pengobatan yang tepat.
Thalasemia Minor
Thalasemia minor merupakan bentuk paling ringan dari kondisi ini. Penderitanya adalah pembawa sifat yang umumnya tampak sehat dan tidak memerlukan transfusi darah. Meskipun demikian, mereka dapat menurunkan gen thalasemia kepada anak-anaknya. Pada pemeriksaan darah, biasanya ditemukan kadar hemoglobin yang sedikit di bawah normal.
Thalasemia Intermedia
Berada di antara thalasemia minor dan mayor, thalasemia intermedia menunjukkan gejala yang lebih moderate. Penderita mungkin memerlukan transfusi darah secara berkala, namun tidak seintensif penderita thalasemia mayor. Kondisi ini biasanya terdiagnosis pada usia yang lebih besar, dan penderitanya dapat bertahan hingga usia dewasa dengan penanganan yang tepat.
Thalasemia Mayor
Thalasemia mayor, yang juga dikenal sebagai Cooley Anemia, merupakan bentuk terparah dari kondisi ini. Terjadi ketika anak menerima gen pembawa thalasemia dari kedua orang tuanya. Meskipun bayi dengan thalasemia mayor tampak normal saat lahir, gejala akan mulai muncul pada usia 3-18 bulan. Tanpa perawatan yang tepat, penderita hanya dapat bertahan hidup hingga usia 5-6 tahun.
Gejala dan Komplikasi Thalasemia
Manifestasi thalasemia bervariasi tergantung pada jenisnya. Gejala umum meliputi mudah lelah, lemas, dan anemia. Pada kasus thalasemia mayor, penderita menunjukkan gejala yang lebih serius seperti kulit kekuningan (jaundice), urin gelap, denyut jantung meningkat, serta pertumbuhan terhambat. Perut membuncit akibat pembesaran hati dan limpa juga sering ditemui.
Komplikasi dapat timbul akibat penyakit ini maupun pengobatannya. Transfusi darah berulang dapat menyebabkan penumpukan zat besi di berbagai organ tubuh, terutama jantung, hati, pankreas, dan kelenjar hormon. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ-organ tersebut jika tidak ditangani dengan tepat.
Advertisement
Diagnosis dan Pencegahan
Diagnosis thalasemia dilakukan melalui kombinasi pemeriksaan gejala klinis dan tes darah lengkap. Analisis genetik juga dapat dilakukan untuk mengonfirmasi jenis thalasemia yang diderita. Namun, langkah terpenting sebenarnya adalah pencegahan melalui skrining pranikah.
Pasangan yang berencana menikah sangat disarankan untuk melakukan skrining thalasemia, terutama jika memiliki riwayat keluarga dengan kondisi ini. Beberapa indikasi yang mengharuskan seseorang melakukan skrining antara lain: memiliki saudara sedarah penderita thalasemia, riwayat anemia yang tidak membaik dengan suplemen zat besi, atau ukuran sel darah merah yang lebih kecil dari normal.
Penanganan dan Pengobatan
Meskipun belum ada penyembuhan total untuk thalasemia, berbagai metode pengobatan tersedia untuk meningkatkan kualitas hidup penderita. Transfusi darah rutin menjadi tulang punggung pengobatan, terutama untuk thalasemia mayor. Namun, transfusi perlu diimbangi dengan terapi kelasi besi untuk mencegah penumpukan zat besi dalam tubuh.
Terapi Kelasi Besi
Terdapat dua jenis utama obat kelasi besi yang digunakan dalam pengobatan thalasemia:
1. Deferoxamine: Diberikan melalui injeksi subkutan secara perlahan. Meskipun efektif, penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping seperti gangguan penglihatan dan pendengaran.
2. Deferasirox: Tersedia dalam bentuk tablet yang diminum sekali sehari. Efek samping yang mungkin timbul meliputi sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri sendi, dan kelelahan.
Pengobatan Suportif
Selain transfusi darah dan terapi kelasi besi, penderita thalasemia juga memerlukan:
- Suplemen asam folat untuk membantu pembentukan sel darah merah sehat
- Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan secara teratur
- Perawatan gigi dan mulut yang baik
- Vaksinasi sesuai jadwal untuk mencegah infeksi
Pilihan Pengobatan Lanjutan
Untuk kasus tertentu, transplantasi sumsum tulang belakang dapat menjadi pilihan pengobatan yang menjanjikan. Metode ini, bersama dengan pendonoran darah tali pusat, memberikan harapan baru bagi penderita thalasemia. Namun, keberhasilan transplantasi sangat bergantung pada kecocokan HLA (Human Leukocyte Antigens) antara donor dan penerima.
Dukungan keluarga dan masyarakat sangat penting dalam membantu penderita thalasemia menjalani kehidupan sehari-hari. Pemahaman yang baik tentang kondisi ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung bagi penderita thalasemia. Selain itu, kesadaran masyarakat tentang pentingnya skrining pranikah dan donor darah regular juga dapat membantu meningkatkan kualitas hidup penderita thalasemia.
Advertisement