Liputan6.com, Jakarta Bulan Ramadan merupakan momen spiritual yang sangat istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Pulau Jawa. Bagi masyarakat Jawa, kedatangan bulan suci ini tidak hanya disambut dengan persiapan ibadah, tetapi juga diiringi dengan berbagai tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Tradisi menyambut bulan puasa di Jawa mencerminkan perpaduan harmonis antara nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal masyarakat setempat. Setiap daerah di Pulau Jawa memiliki cara unik tersendiri dalam menyambut kedatangan bulan Ramadan, yang masing-masing mengandung makna filosofis mendalam.
Advertisement
Baca Juga
Keberagaman tradisi menyambut bulan puasa di Jawa ini menjadi bukti nyata bagaimana Islam dan budaya Jawa dapat berjalan beriringan dalam menciptakan khazanah budaya yang kaya. Tradisi-tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai ritual, tetapi juga menjadi media untuk mempererat tali silaturahmi dan membersihkan diri secara lahir dan batin.
Memasuki era modern, tradisi menyambut bulan puasa di Jawa tetap terjaga kelestariannya, meskipun telah mengalami beberapa penyesuaian seiring perkembangan zaman. Berikut adalah beberapa tradisi yang masih aktif dilaksanakan oleh masyarakat Jawa dalam menyambut bulan Ramadan, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Senin (13/1/2025).
Padusan: Tradisi Penyucian Diri Jelang Ramadan
Padusan berasal dari kata "adus" dalam bahasa Jawa yang berarti mandi. Tradisi ini telah ada sejak masa penyebaran Islam di tanah Jawa, di mana para wali mengadaptasi kebiasaan mandi ritual masyarakat setempat dengan nilai-nilai Islam.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat berbondong-bondong mendatangi sumber mata air, seperti sendang, sungai, atau pemandian umum untuk melakukan ritual mandi besar. Kegiatan ini biasanya dilakukan satu atau dua hari menjelang bulan Ramadan, terutama di daerah Yogyakarta dan sekitarnya.
Prosesi Padusan dimulai dengan niat membersihkan diri, dilanjutkan dengan berendam atau mandi di sumber air yang dianggap suci. Beberapa tempat bahkan menggabungkan ritual ini dengan pembacaan doa dan zikir bersama sebelum atau sesudah mandi.
Makna filosofis dari tradisi Padusan adalah sebagai simbol penyucian diri secara lahir dan batin sebelum memasuki bulan Ramadan. Masyarakat meyakini bahwa dengan melakukan Padusan, mereka dapat menjalani ibadah puasa dengan jiwa dan raga yang bersih.
Advertisement
Dugderan: Tradisi Pengumuman Awal Ramadan di Semarang
Dugderan merupakan tradisi khas Semarang yang mulai diperkenalkan pada masa pemerintahan Bupati RMTA Purbaningrat pada tahun 1881. Nama "Dugderan" sendiri berasal dari bunyi "dug" (bedug) dan "der" (meriam) yang menjadi penanda dimulainya tradisi ini.
Acara ini diselenggarakan dalam bentuk festival rakyat yang meriah, dengan berbagai rangkaian kegiatan seperti karnaval budaya, pasar malam, dan pertunjukan seni tradisional. Puncak acara ditandai dengan pemukulan bedug dan dentuman meriam yang menandakan dimulainya bulan Ramadan.
Pelaksanaan Dugderan biasanya berlangsung sehari sebelum bulan Ramadan, dengan pusatnya berada di Masjid Agung Semarang dan alun-alun kota. Seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang agama dan suku, turut berpartisipasi dalam perayaan ini.
Tradisi ini memiliki makna sebagai sarana pemersatu umat dan media sosialisasi penetapan awal puasa Ramadan. Dugderan juga menjadi simbol harmonisasi antara pemimpin pemerintahan, ulama, dan masyarakat dalam menyambut datangnya bulan suci.
Nyadran: Tradisi Ziarah Leluhur Menjelang Ramadan
Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta "Sraddha" yang berarti ritual penghormatan kepada leluhur. Tradisi ini merupakan akulturasi antara budaya Hindu-Jawa dengan nilai-nilai Islam yang dibawa oleh para wali.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat melakukan tiga tahapan utama: kenduri atau doa bersama, besik atau pembersihan makam, dan ziarah kubur. Setiap tahapan dilakukan dengan khidmat dan diikuti oleh seluruh warga desa secara bergotong-royong.
Tradisi Nyadran biasanya dilaksanakan pada bulan Ruwah (Sya'ban) atau beberapa hari sebelum Ramadan. Di beberapa daerah, tradisi ini juga dilengkapi dengan pembagian sedekah berupa makanan kepada para peserta dan warga sekitar.
Makna mendalam dari tradisi Nyadran adalah sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan sarana introspeksi diri sebelum memasuki bulan puasa. Melalui tradisi ini, masyarakat juga diajarkan untuk selalu mengingat kematian dan pentingnya berbuat baik selama hidup.
Advertisement
Munggahan: Tradisi Sunda dalam Menyambut Ramadan
Munggahan merupakan tradisi khas masyarakat Sunda yang telah mengakar di berbagai wilayah Jawa Barat. Istilah "munggah" sendiri berasal dari bahasa Sunda yang berarti naik atau meningkat, mengandung harapan untuk meningkatkan kualitas spiritual menjelang Ramadan.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat melakukan berbagai kegiatan seperti berkumpul bersama keluarga, mengadakan piknik ke tempat wisata, atau membersihkan tempat ibadah. Dahulu, para pemuda juga memiliki tradisi mandi di sungai sebagai simbol penyucian diri.
Ritual Munggahan biasanya dilaksanakan satu atau dua hari sebelum Ramadan dimulai. Momen ini menjadi kesempatan bagi keluarga besar untuk berkumpul dan mempererat tali silaturahmi sebelum menjalani ibadah puasa.
Tradisi ini mengandung makna filosofis tentang pentingnya mempersiapkan diri secara mental dan spiritual dalam menyambut Ramadan. Melalui Munggahan, masyarakat diingatkan untuk membersihkan hati dan pikiran agar lebih siap menjalani ibadah puasa.
Nyorog: Warisan Budaya Betawi di Jakarta
Nyorog adalah tradisi khas masyarakat Betawi yang masih dilestarikan hingga kini, terutama di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tradisi ini mencerminkan karakteristik masyarakat Betawi yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan penghormatan kepada yang lebih tua.
Dalam pelaksanaan Nyorog, masyarakat berbagi bingkisan berupa sembako, makanan khas Betawi seperti sayur gabus pucung, ikan bandeng, atau daging kerbau kepada sanak keluarga, terutama yang lebih tua. Bingkisan ini diantarkan langsung ke rumah penerima sebagai bentuk silaturahmi.
Kegiatan Nyorog biasanya dilakukan beberapa hari menjelang Ramadan. Moment ini menjadi kesempatan bagi keluarga muda untuk mengunjungi dan memohon doa restu dari orang tua dan sesepuh keluarga sebelum memasuki bulan puasa.
Tradisi ini mengandung nilai-nilai luhur tentang pentingnya menghormati orang tua dan menjaga silaturahmi. Melalui Nyorog, masyarakat Betawi mengajarkan generasi muda untuk selalu ingat pada akar budaya dan nilai-nilai keluarga, sekaligus sebagai momentum untuk saling memaafkan menjelang bulan suci.
Advertisement
Cucurak: Tradisi Makan Bersama ala Sunda
Cucurak merupakan tradisi masyarakat Sunda yang memiliki arti bersenang-senang atau berkumpul bersama. Tradisi ini menggambarkan karakteristik masyarakat Sunda yang gemar berkumpul dan berbagi kebahagiaan dengan keluarga besar.
Dalam pelaksanaannya, keluarga besar berkumpul untuk makan bersama dengan cara lesehan beralas daun pisang. Menu yang disajikan biasanya berupa makanan tradisional Sunda seperti nasi liwet, tempe, ikan asin, sambal, dan aneka lalapan segar.
Tradisi Cucurak dilaksanakan menjelang Ramadan sebagai bentuk syukur atas rezeki yang telah diberikan. Moment ini juga menjadi kesempatan untuk mempererat tali silaturahmi antaranggota keluarga sebelum menjalani ibadah puasa.
Makna mendalam dari tradisi ini adalah sebagai pengingat akan pentingnya rasa syukur dan kebersamaan. Melalui Cucurak, masyarakat diajarkan untuk selalu berbagi kebahagiaan dan nikmat dengan sesama, sekaligus mempersiapkan diri menyambut bulan suci Ramadan dengan penuh sukacita.