Di Balik Layar Islamabad, Pusat Komunitas Ahmadiyah Internasional di Inggris

Setelah terusir dari Pakistan pada 1984, Ahmadiyah memindahkan pusatnya di Inggris. Iuran dan donasi anggotanya menjelma jadi aset besar.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 30 Jul 2023, 20:56 WIB
Diterbitkan 30 Jul 2023, 20:56 WIB
Masjid Mubarak di kompleks Islamabad di Inggris (Liputan6/Elin Kristanti)
Masjid Mubarak di kompleks Islamabad di Inggris (Liputan6/Elin Kristanti)

Liputan6.com, Jakarta - Tempat itu bernama Islamabad, tapi lokasinya bukan di Pakistan, melainkan di Inggris. Area seluas 10,3 hektar di Tilford, Surrey tersebut adalah markas komunitas Ahmadiyah internasional. Di sana juga khalifah kelimanya, Hazrat Mirza Masroor Ahmad tinggal.

Lokasi Islamabad bukan di jalan utama. Menuju ke sana, kendaraan harus melewati jalur aspal tak seberapa lebar. Papan nama yang bertuliskan ucapan selamat datang dalam sejumlah bahasa berdiri di dekat gerbang.

Tak jauh dari gapura, terhampar lapangan luas yang pernah jadi lokasi jalsa salana atau pertemuan tahunan Ahmadiyah di masa lalu, sebelum pindah ke tempat baru, Hadeeqtul Mahdi.

Hadeeqtul Mahdi adalah tanah milik Ahmadiyah yang luasnya mencapai 208 acre atau 84,17 hektar di Alton.

Masjid Mubarak punya bentuk unik. Atapnya mirip 32 sirip yang disusun melingkar, dengan kubah sebagai sumbunya. Rumah ibadah itu dilengkapi jendela kaca yang memungkinkan cahaya alami masuk ke dalam masjid. Tak perlu menyalakan lampu saat hari masih terang. 

Kompleks Islamabad, pusat komunitas Ahmadiyah Internasional (Liputan6/Elin Kristanti)
Kompleks Islamabad, pusat komunitas Ahmadiyah Internasional (Liputan6/Elin Kristanti)

Lokasi di mana Islamabad berdiri punya sejarah panjang sejak tahun 1128. Kala itu, tanah di sana adalah milik Waverley Abbey. Lokasi persis di mana Masjid Mubarak berada kala itu dijuluki ‘Holy Ground’.

Para pengunjung yang datang ke Islamabad biasanya punya tiga tujuan, yakni bertemu pemimpin, ziarah ke makam khalifah keempat, Hazrat Mirza Tahir Ahmad dan istrinya, juga mengunjungi Masjid Mubarak yang bentuknya unik.

Di sana, warga Ahmadiyah bisa bertemu langsung dengan sang pemimpin yang akrab dipanggil huzur. “Dalam pertemuan yang disebut juga mulaqat, jemaah bisa curhat, menyampaikan banyak hal, juga minta doa seperti halnya ke orangtua,” kata Ketua Lajnah Imailah atau Wanita Ahmadiyah Indonesia, Siti Aisyah.

Ia menambahkan, warga non-Ahmadiyah juga bisa bertemu dengan khalifah. Asal, memberikan pemberitahuan sebelumnya ke pengurus.

Simak Video Pilihan Ini:

Ajakan Hidup Sederhana dan Berkorban Harta

Bagian dalam Masjid Mubarak. Dilengkapi jendela-jendela kaca untuk penerangan (Liputan6/Elin Kristanti)
Bagian dalam Masjid Mubarak. Dilengkapi jendela-jendela kaca untuk penerangan (Liputan6/Elin Kristanti)

Dari Masjid Mubarak, pemimpin Ahmadiyah rutin menyampaikan khotbah Jumat yang disiarkan ke seluruh dunia lewat jaringan Muslim Television Ahmadiyya (MTA) International.

“Warga Ahmadiyah bisa mendengar suara khalifahnya hingga ke setiap dinding rumah, juga lewat ponsel,” kata Siti Aisyah.

Apa yang disampaikan lewat khotbah, kata dia, adalah bagaimana menaati perintah Tuhan dan menghindarkan dari apa yang dilarang. Bahwa komunitas Ahmadiyah harus memehuhi hak Allah dan hak manusia, dengan mempraktikkan hablum minannas untuk mendekatkan diri pada Sang Khalik.

“Bimbingan hidup juga untuk hal-hal kecil, seperti senyum menjadi bagian dari ibadah kita, juga tahrik jadid atau gerakan hidup sederhana yang disertai dengan pengorbanan harta demi kejayaan Islam,” tambah Siti Aisyah.

Komunitas Ahmadiyah memiliki ketentuan pengorbanan harta yang disebut dengan candah, dari 1/16, 1/10, dan 1/3 dari penghasilan rutin. “Itu di luar zakat dan fitrah” kata dia.

Pengelolaan candah, juga zakat, dilakukan lewat aplikasi candah.id dengan sistem yang transparan. Hasilnya dipergunakan untuk pembangunan masjid, pencetakan Alquran dalam berbagai bahasa, serta kegiatan sosial dan kemanusiaan.

Puluhan Aset di Inggris

Islamabad di Inggris menjadi pusat komunitas Ahmadiyah internasional (Liputan6/Elin Kristanti)
Islamabad di Inggris menjadi pusat komunitas Ahmadiyah internasional (Liputan6/Elin Kristanti)

Eksistensi Ahmadiyah di Inggris tercatat mulai pada 1913, menyusul kedatangan Chaudhry Fateh Muhammad Sial pada Juli tahun itu. Dan pada 1984 pusat komunitas Ahmadiyah internasional pindah ke London.

Saat itu, Pemerintah Pakistan menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan bagian dari Islam. Khalifah keempat, Mirza Tahir Ahmad kemudian mendapat suaka di Inggris. Masjid Fazl di London kemudian menjadi pusat koordinasi internasional selama 35 tahun sebelum pindah ke Masjid Mubarak di Tilford pada 15 April 2019.

Pindah ke Inggris, komunitas Ahmadiyah justru kian mengglobal hingga ke lebih dari 200 negara di dunia, dengan aset yang menyebar, termasuk di Pakistan, India, Kanada, Amerika Serikat, Spanyol, Swiss, Denmark, Palestina, Ghana, Nigeria, Burkina Faso, juga di Inggris.

Di Inggris, tercatat ada 49 properti yang menjadi milik Ahmadiyah, berupa ruang pertemuan, tepat ibadah, penginapan tamu, kantor, juga lembaga pendidikan. Salah satunya, Baitul Futuh, masjid terbesar di Inggris Raya, bahkan mungkin di Eropa Barat.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah, KH Taslim Syahlan mengatakan, Islamabad dan Masjid Mubarak menjadi bukti bahwa Ahmadiyah menjadi representasi dari peradaban Islam yang toleran, modern, dengan komitmen mengelola keuangan yang transparan dan didukung kecanggihan teknologi. Manajemennya dikelola serius.

“Mubarak membuktikan bahwa Ahmadiyang enggak kaleng-kaleng,” kata dia, Jumat 29 Agustus 2023. “Mereka membangun masjid dengan candai dan dana infak anggota komunitasnya, bukan membuat proposal dan minta sumbangan ke sana sini.”

Kediaman pemimpin Ahmadiyah di kompleks Islamabad, Inggris (Liputan6/Elin Kristanti)
Kediaman pemimpin Ahmadiyah di kompleks Islamabad, Inggris (Liputan6/Elin Kristanti)

Taslim menambahkan, jemaah Ahmadiyah menggunakan masjid bukan hanya sebagai tempat beribadah tapi juga fasilitas publik untuk kalangan internal dan masyarakat umum.

“Semboyan mereka, “love for all, hatred for none” menjadi kristalisasi ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin, yang menjunjung tinggi kemanusiaan, misalnya dengan kegiatan donor mata dan bantuan kemanusiaan,” dia menambahkan.

Hal tersebut menjadi negasi dari ISIS, misalnya, yang justru mencoreng Islam dengan tindakan kekerasan yang mereka lakukan.

Jika komunitas Ahmadiyah yang jumlahnya sedikit bisa memiliki banyak aset di berbagai negara, bayangkan kekuatan seluruh umat Islam yang saat ini menjadi salah satu agama terbesar di dunia. Termasuk, di Indonesia.

“Misalnya, sumbangan Rp 1.000 saja dari umat Islam Indonesia, jika dikelola dengan baik dan transparan, efeknya akan dahsyat untuk kesejahteraan umat,” kata Taslim.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya