Liputan6.com, Jakarta - Tahun baru Imlek 2575 Kongzili jatuh pada Sabtu, 10 Februari 2024. Jauh-jauh hari, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia telah menyiapkan perayaan Imlek dengan riang gembira.
Sejak tahun 2000 atau tepatnya setelah keluar Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, suasana perayaan Imlek memang terasa gegap gempita setelah puluhan tahun harus digelar tertutup.
Sosok di balik perubahan yang sangat dirasakan masyarakat Tionghoa itu adalah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dialah yang menandatangani Keppres tersebut saat menjabat presiden sejak 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
Advertisement
Baca Juga
Keppres yang ditandatangani pada 17 Januari 2000 itu menjadi pintu pembuka bagi masyarakat keturunan Tionghoa untuk dapat menjalankan kembali agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya, termasuk perayaan Imlek. Hal ini sebagaimana disebutkan pada poin kedua dan ketiga dari Keppres tersebut.
Kedua: Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Ketiga: Dengan ini penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Imlek Sebelum Gus Dur Presiden
Perayaan Imlek sebelum Gus Dur menjadi presiden tidak terang-terangan seperti sekarang. Mengutip situs NU, Jumat (9/2/2024), Lan Fang dalam tulisannya Imlek Tanpa Gus Dur (2012) menggambarkan perayaan Imlek sebelum era Gus Dur sangatlah sepi. Harus bersembunyi jika ingin merayakannya.
“Namun, saya heran, kenapa ‘Idul Fitri’ kami sangat sepi? Bahkan sepertinya dirayakan dengan sembunyi-sembunyi,” demikian kata Lan Fang. Ia merasa ada yang beda dengan perayaan hari raya umat Islam, Idul Fitri, yang suasana gegap gempitanya sangat terasa.
“Akhirnya, saya selalu menunggu Idul Fitri tiba, sebab sebulan penuh itu suasana sangat meriah. Ada banyak penjual makanan dan petasan,” tulisnya.
Awalnya, Lan Fang berpikir jika perayaan Idul Fitri adalah hari raya baginya juga. Sebab, ia dan keluarganya juga turut serta berkeliling ke para tetangga untuk mengucapkan selamat. Tiga hari sebelumnya, orang tuanya juga membagikan kue-kue.
Namun, dugaannya itu salah. Sebab, orang tuanya juga suatu ketika menutup tokonya seharian penuh. Lalu menyulut hiosua di pintu belakang toko pada pagi hari, makan misua dan telur rebus, hingga sungkem terhadap orang tua dan sesepuh, serta diberikan angpau. Saat itu, ia diberitahu orang tuanya, bahwa hari itulah hari rayanya.
Alih-alih ramai seperti Idul Fitri, perayaan hari raya Lan Fang ternyata sepi. Bahkan, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia harus bersembunyi jika ingin merayakan Imlek.
Advertisement
Imlek Sesudah Gus Dur Presiden
Namun, suasana berubah drastis 180 derajat ketika Gus Dur menjadi presiden. Dengan kebijakannya, Gus Dur menetapkan tak ada lagi pelarangan segala kebudayaan Tionghoa, termasuk perayaan Imlek.
Bahkan, Imlek dijadikan sebagai hari libur fakultatif berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2001 yang ditandatangani pada 19 Januari 2001. Kemudian menjadi hari libur nasional di era Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
Sejak Keppres Nomor 6 Tahun 2000 ditandatangani Gus Dur, Lan Fang merasakan perubahan yang signifikan terhadap ‘Idul Fitri’nya. Berkat tangan dingin Gus Dur, Lan Fang merasakan perayaan Imlek dengan suasana gegap gempita seperti Idul Fitri.
Bagaimana tidak? Kalimat Gong Xi Fa Chai banyak diucapkan secara terbuka seperti halnya Minal Aidin wal Faizin pada Idul Fitri atau Merry Christmas pada perayaan Natal. Bahkan, Barongsai yang semula hanya bisa dinikmati dalam film-film silat, mulai saat itu, atraksinya bisa ditonton secara langsung.