Kisah Karomah Syaikh Bahauddin An-Naqsyabandi, Ulama yang Dadanya Terukir Lafal Jalalah

Karomah Syaikh Bahauddin An-Naqsyabandi ini tidak dimiliki oleh para tokoh sufi lainnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Mei 2024, 03:30 WIB
Diterbitkan 03 Mei 2024, 03:30 WIB
Karamah: Inilah Para Tokoh Kedokteran Muslim di Abad Pertengahan
Ibnu Sina, ilmuan muslim terkemuka di sekitar tahun 1000 Masehi yang banyak berkontribusi di bidang kedokteran.

Liputan6.com, Cilacap - Dalam tradisi tasawuf kita mengenal istilah tarekat atau thariqah dalam bahasa Arab. Salah satu thariqah atau tarekat yang memiliki jumlah pengikut yang banyak, khususnya di Indonesia ialah thariqah Naqsyabandiyah.

Nama Naqsyabandiyah untuk thariqah ini dinisbatkan kepada salah seorang ahli sufi tersohor yakni Bahauddin Naqsyabandi. Bahauddin Naqsabandi merupakah ulama yang menempuh jalan kesufian.

Beliau merupakan salah seorang sufi garda depan yang namanya bisa disejajarkan dengan ahli sufi lain seperti al-Junaid, al-Ghazali, Hasan Basri dan tokoh-tokoh sufi terkemuka lainnya.

Namun yang jarang dibahas ialah perihal Bahauddin Naqsyabandi yang dianugerahi karomah atau kemuliaan yang tidak dimiliki tokoh sufi lainnya, yakni di dadanya terukir lafal jalalah (Allah).

 

Simak Video Pilihan Ini:

Awal An-Naqsabandi Belajar di Usia Muda

Masjid Namirah di padang Arafah
Masjid Namirah di padang Arafah, Arab Saudi. (Dok: Instagram @umrohmqtravel https://www.instagram.com/p/CDQ86zRpy5h/?igsh=aGE5MWlvZDNxNGxo)

Menukil islami.co, Bahauddin An-Naqsyabandi adalah nama populernya. Nama aslinya Bahauddin Muhammad bin Muhammad al-Uwaisy al-Nukhari al-Bukhari an-Naqsabandi.

la lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharam tahun 717 Hijriah atau April 1317 Masehi.

Wafat 791 Hijriah atau 1389 Masehi dalam usia 74 tahun, dan dimakamkan di tanah kelahirannya, Qasrel Arifan, Bukhara.

Nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad Saw. melalui cucunya, yaitu Sayidina Husein Ra. Lalu mengapa ia di panggil An-Naqsabandi?.

Ada banyak alasan mengapa gelar ini melekat di belakang namanya. Yang jelas gelar ini melekat karena ia mampu menempa dan mengukir sifat keutamaan dan kebaikan pada hati setiap orang.

Dengan kata lain, ia dinilai sebagai seorang manusia suci yang mampu membimbing orang lain untuk meniti jalan kebaikan dan kemuliaan. Sementara alasan kedua karena konon di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya.

An-Naqsabandi Muda Mulai Belajar

Ilustrasi kitab Allah Swt.
Ilustrasi kitab Allah Swt. (Image by chandlervid85 on Freepik)

Syahdan, Bukhara lagi-lagi menjadi lingkungan yang amat kondusif bagi para pecinta ilmu. Di kota kecil ini, An-Naqsabandi mulai meniti jalan keilmuannya. Semula, ia hanya berguru kepada para ulama di daerahnya untuk belajar ilmu-ilmu syariat.

Namun, menginjak usia remaja, ia mulai berani mengembara ke daerah-daerah lain untuk menimba ilmu dari para ulama besar. Di antara ulama yang menjadi gurunya adalah Muhammad Baba as-Sammasi, Amir Sayid al-Kulali, dan Arif ad-Dikarani.

Arif ad-Dikarani boleh jadi merupakan guru terbesar bagi An-Naqsyabandi. Sebab, darinya ia mendapat khirqah kesufian. Pada waktu menerima khirqah kesufian, ia berusia sekitar 30 tahun.

Kemudian, ia berangkat menuju Samarkand untuk bekerja di Istana Sultan Khalil, tepatnya sebagai penasihat bidang keagamaan.

Tugas ini dilaksanakannya secara baik selama lebih dari dua belas tahun. Namun, ia belum dapat menemukan kebahagiaan sejati, sekalipun jabatannya cukup penting.

Menjadi Mursyid Thariqah

Ilustrasi mesjid dengan tulisan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW
Ilustrasi mesjid dengan tulisan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Foto: Abdullah Oguk/Unsplash.com

Untuk menemukan kebahagiaan sejati, ia memutuskan untuk meninggalkan Samarkand dan menetap di Zewartun. Di tempat inilah ia mulai menjalani kehidupan sufistiknya (mewarnai kehidupannya dengan kezuhudan total).

Selama 14 tahun ia membaktikan diri dalam pelayanan sosial, menolong orang tidak mampu, dan membimbing mereka untuk bertakarub kepada Allah Swt.

Dalam waktu relatif singkat, ia sudah berhasil memperoleh banyak pengikut, yang kebanyakan berasal dari kalangan kelas bawah.

Meski telah mulai menemukan kebahagiaannya, An-Naqsyabandi kemudian pulang ke kampung halamannya di Qasrel Arifan.

Tidak ditemukan informasi ihwal alasan di balik keputusannya kembali ke sana. Yang jelas, ia kemudian mendirikan pesantren dan membangun ribath untuk tarekatnya.

Murid dan pengikutnya berdatangan dari berbagai penjuru negeri untuk bergabung dalam tarekat An-Naqsyabandiyah. Sejak itu pula, ia dikukuhkan sebagai Syekh Kamil (mursyid) dalam tarekatnya itu.

Penulis : Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya