Liputan6.com, Jakarta - Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang kelima dan memiliki sejarah yang sangat panjang dan mendalam, berakar dari zaman Nabi Ibrahim AS.
Sejarah haji bermula ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk meninggalkan istrinya, Hajar, dan putranya, Ismail, di lembah tandus Makkah.
Saat Hajar mencari air untuk anaknya yang haus, ia berlari antara bukit Safa dan Marwah tujuh kali, yang kemudian menjadi bagian dari ritual Sa’i dalam ibadah haji.
Advertisement
Pada saat itulah, dengan izin Allah, muncul mata air zamzam yang masih ada hingga sekarang dan menjadi sumber kehidupan bagi Makkah.
Perintah untuk melaksanakan haji pertama kali diberikan kepada Nabi Ibrahim AS setelah ia dan Ismail membangun kembali Ka'bah, rumah ibadah pertama di dunia yang didedikasikan untuk menyembah Allah.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Ini Perintah Kepada Nabi Ibrahin AS
Ka'bah kemudian menjadi pusat bagi ritual haji. Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyeru umat manusia agar datang ke Ka'bah untuk melaksanakan ibadah haji.
Sejak saat itu, ibadah haji menjadi bagian penting dari kehidupan umat beriman, meskipun sering kali hanya dilakukan oleh umat Yahudi dan Nasrani yang mengakui Nabi Ibrahim sebagai nenek moyang mereka, hingga dihidupkan kembali oleh Nabi Muhammad SAW.
Seperti dikutip dari Islami.co, Nabi Ibrahim AS yang pertama kali diperintahkan oleh Allah SWT untuk menunaikannya sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai onta yang kurus. Mereka akan datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS al-Haj: 27).
Akan tetapi sebagian dari praktik-praktik ibadah haji tersebut pada masa-masa selanjutnya diselewengkan oleh sebagian umat yang tidak bertanggungjawab sehingga jauh dari substansi awalnya sebagaimana yang diajarkan oleh Ibrahim As.
Advertisement
Nabi Muhammad Dapat Perintah Menyempurnakan
Dari sini lalu Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan ibadah tersebut agar dikembalikan sesuai dengan ajarannya semula.
Ibadah ini baru diwajibkan kembali kepada umat Nabi Muhammad pada tahun ke-6 hijriah (ada juga yang menyebutkan pada tahun ke-3 atau 5 hijriah) melalui firman Allah SWT:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya:“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) makam Ibrahim, barangsiapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji menuju baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya dari semesta alam” (QS Ali Imran: 97).
Kendati sudah diwajibkan, namun pada tahun tersebut Nabi dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah haji karena Mekkah ketika itu masih dikuasai oleh kaum musyrik.
Baru setelah Rasulullah SAW menguasai kota Mekkah pada tanggal 12 Ramadan tahun ke-8 hijriah beliau berkesempatan untuk menunaikannya.
Namun lagi-lagi karena ada prioritas lain yang harus beliau utamakan, pada tahun ini beliau terpaksa menundanya. Baru pada tahun ke-10 hijriah atau kurang lebih tiga bulan sebelum meninggal dunia, Rasulullah SAW berkesempatan untuk menunaikannya.
Oleh karena itu, haji yang beliau lakukan disebut juga dengan haji wada’ (haji perpisahan), karena haji tersebut merupakan haji yang pertama dan sekaligus yang terakhir bagi beliau.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul