Ngeri, Ini Ancaman Sengaja Meninggalkan Sholat Fardhu Menurut 4 Mazhab Penjelasan Buya Yahya

Ironisnya, di zaman sekarang banyak orang yang dengan sengaja meninggalkan sholat fardhu. Selain dosa, apa hukuman bagi seseorang yang dengan sengaja meninggalkan sholat?

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 23 Jul 2024, 13:30 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2024, 13:30 WIB
Buya Yahya
Buya Yahya. (Foto: Dok. Instagram @buyayahya_albahjah)

Liputan6.com, Jakarta - Sholat lima waktu diwajibkan kepada umat Islam yang sudah mukallaf. Kewajiban sholat fardhu jika dilakukan akan mendapat pahala, sementara jika ditinggalkan akan mendapat dosa.

Ironisnya, di zaman sekarang banyak orang yang dengan sengaja meninggalkan sholat fardhu. Selain dosa, apa hukuman bagi seseorang yang dengan sengaja meninggalkan sholat?

Jika orang itu ber’tikad bahwa sholat fardhu tidak wajib padahal ia mengerti syarait Islam mewajibkan sholat, maka dihukumi murtad alias keluar dari Islam. Jika meninggal, ia tidak wajib disholati karena sudah keluar Islam.

Bagaimana jika meninggalkan sholat karena malas-malasan? Ini pernah dijawab oleh Pengasuh LPD Al Bahjah, KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya.

“Menurut jumhur ulama mazhab kita Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik, bahwa jika ada orang yang meninggalkan sholat karena malas-malasan, selagi dia masih meyakini sholat itu wajib, maka dia melakukan dosa gede tapi masih muslim (tidak murtad). Kalau mati masih harus disholati,” jelas Buya Yahya, dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, Senin (22/7/2024).

Meski begitu, orang yang meninggalkan sholat karena malas tetap ada sanksinya. Kata Buya Yahya, sanksi buat orang semacam itu adalah dipenggal lehernya.

"Tapi tidak langsung dipenggal, disuruh taubat (istitab) dulu selama tiga hari. Kalau dia tetap gak mau solat, berarti emang dia pengen mati," tutur Buya Yahya.

Pandangan 3 imam mazhab tersebut berbeda dengan Imam Ahmad bin Hambal. Buya Yahya mengatakan, biar pun dia masih meyakini sholat itu wajib dan meninggalkan sholat dengan malas malasan, hukumnya dianggap murtad.

“Biar pun menurut mazhab jumhur ulama Imam Syafi’i atau Imam Ahmad bin Hambal (ada perbedaan) semuanya menunjukkan dosa meninggalkan sholat berat. Subhanallah. Sholat itu padahal kerjaan paling ringan, ternyata paling berat dilaksanakannya,” kata ulama kharismatik kelahiran Blitar ini.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Bagaimana Jika Terlanjur Meninggalkan Sholat Fardhu?

Ilustrasi Sholat, Ibadah
Ilustrasi Sholat, Ibadah (Photo created by rawpixel.com on freepik)

Lupa ataupun sengaja, sholat fardhu yang kita tinggalkan harus diqadha. Tidak ada cara khusus untuk mengganti sholat yang terlewat kecuali wajib sesegera mungkin melaksanakannya.

Jumlah rakaat serta gerakan-gerakan sholat qadha sama seperti sholat yang ditinggalkan itu. Hal ini senada dengan dalil hadis riwayat Imam Bukhari nomor  572.

من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها، لا كفارة لها إلا ذلك 

Artinya: “Barangsiapa meninggalkan sholat karena tertidur atau lupa, maka laksanakanlah sholat saat ia ingat. Tidak ada denda baginya kecuali hal tersebut.”

Cara Mengqadha Sholat Fardhu

Warga Dubai Sholat Tahajud di Malam Lailatul Qadar
Umat Muslim melaksanakan sholat Tahajud selama Malam Lailatul Qadar di Masjid Naif, Dubai (5/5/2021). 10 hari menjelang berakhirnya bulan Ramadhan, umat muslim melakukan Itikaf untuk meraih malam kemuliaan (Lailatul Qadar) dengan membaca Alquran, Shalat Tahajud dan berzikir. (AFP/Karim Sahib)

Mengutip NU Online, berikut tata cara mengqadha sholat fardhu menurut Al-Qadhi Husain, Imam Al-Baghawi, Al-Mutawalli, dan ulama lainnya.  

Pertama, pendapat al-ashah atau yang dinilai lebih shahih, menyatakan yang menjadi standar dalam membaca keras atau lirih dalam shalat qadha adalah waktu qadhanya. 

Bila waktu qadhanya malam hari, maka bacaan Al-Fatihah dan bacaan surah tetap dibaca secara keras, meskipun shalatnya adalah shalat Zuhur dan Ashar yang asalnya disunnahkan secara lirih. 

Sebaliknya, bila waktu qadhanya siang hari maka bacaan-bacaan tersebut dilakukan secara lirih, meskipun sholatnya adalah sholat Maghrib, Isya, dan Subuh.  

Kedua, pendapat muqâbilul ashah yang juga dinilai sebagai pendapat yang sahih menyatakan bahwa yang menjadi standar adalah waktu asal sholat tersebut. 

Bila shalat itu adalah Dzuhur dan Ashar, maka bacaan-bacaan tersebut tetap dibaca lirih meskipun diqadha pada waktu malam hari, dan bila sholatnya adalah Maghrib, Isya, dan Subuh maka bacaan-bacaan tersebut tetap dibaca keras meskipun diqadha pada waktu siang hari.

Secara lengkap Imam An-Nawawi menjelaskan,

وَأَمَّا الْفَائِتَةُ فَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ اللَّيْلِ بِاللَّيْلِ جَهَّرَ بِلَا خِلَافٍ. وَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ النَّهَارِ بِالنَّهَارِ أَسَرَّ بِلَا خِلَافٍ؛ وَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ النَّهَارِ لَيْلًا أَوِ اللَّيْلِ نَهَارًا فَوَجْهَانِ، حَكَاهُمَا الْقَاضِى حُسَيْنُ وَالْبَغَوِيُّ وَالْمُتَوَلِّيُّ وَغَيْرُهُمْ. أَصَحُّهُمَا: أَنَّ الْاِعْتِبَارَ بِوَقْتِ الْقَضَاءِ فِي الْإِسْرَارِ وَالْجَهْرِ، صَحَّحَهُ الْبَغَوِيُّ وَالْمُتَوَلِّيُّ وَالرَّافِعِيُّ. وَالثَّانِيُّ: اَلْاِعْتِبَارُ بِوَقْتِ الْفَوَاتِ وَبِهِ قَطَعَ صَاحِبُ الْحَاوِي  

Artinya: “Adapun shalat fâ’itah atau yang keluar dari waktunya, maka (1) bila orang mengqadha shalat malam—Maghrib, Isya’, demikian pula Subuh meskipun sebenarnya waktunya adalah pagi—di waktu malam, maka ia sunnah membaca dengan bacaan keras tanpa perbedaan pendapat di antara ulama. (2) bila ia mengqadha shalat siang di waktu siang maka ia sunnah membaca dengan bacaan lirih tanpa perbedaan pendapat di antara ulama. 

Namun (3) bila ia mengqadha shalat siang di waktu malam, atau mengqadha shalat malam di waktu siang, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah yang dihikayatkan oleh Al-Qadhi Husain, Imam al-Baghawi, Imam al-Mutawalli dan lainnya. 

(1) Pendapat al-ashah atau yang paling shahih menyatakan, pertimbangannya dengan mengacu pada waktu qadha terkait lirih dan kerasnya. Pendapat ini dinilai shahih oleh Imam al-Baghawi, Imam al-Mutawalli, dan Imam ar-Rafi’i. 

Adapun (2) pendapat kedua menyatakan, pertimbangannya dengan mengacu pada waktu yang terlewatkan atau waktu asalnya. Pendapat ini dipastikan oleh penulis Kitab Al-Hâwi, yaitu Imam al-Mawardi (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmû Syarhul Muhadzdzab, juz III, halaman 390). 

Kesimpulan

Kesimpulannya untuk sholat qadha, terkait bacaannya apakah keras atau lirih, terdapat dua pendapat. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengambil standar waktu qadhanya. Meskipun shalat Dzuhur atau Ashar bila qadhanya dilakukan di malam hari, maka sunnahnya adalah dengan suara keras. Pendapat ini lebih kuat di lingkungan ulama Syafi’iyah. 

Wallahu a’lam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya