Liputan6.com, Jakarta - Dalam ceramahnya, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha berbagi kisah menarik yang mengajarkan nilai penghormatan kepada ulama, bahkan dari orang-orang yang tidak menjalankan agama secara sempurna. Cerita tersebut mencerminkan kedalaman cinta terhadap simbol-simbol agama dan para tokohnya.
Gus Baha mengisahkan pengalaman tetangganya yang bekerja di Malaysia. Peristiwa itu terjadi di kapal.
Advertisement
Gus Baha menjelaskan bahwa pada suatu Jumat, sekelompok orang mengadakan sholat Jumat di atas kapal. Namun, hal ini memicu ketidakpuasan seorang penumpang asing. "Kapal orang banyak kok buat jumatan," ujar orang asing tersebut, yang akhirnya menyebabkan konflik.
Advertisement
Tetangga Gus Baha, yang bekerja di kapal tersebut, merasa tersinggung dan terlibat dalam perkelahian dengan orang asing itu. Uniknya, tetangganya ini mengaku tidak pernah sholat Jumat, namun ia tak bisa menerima jika sholat Jumat dihina.
“Saya tanya kok kamu nggak sholat Jumat? Dia jawab, ‘Iya Gus, saya nggak sholat. Tapi saya marah kalau ada orang menghina orang jumatan,’” tutur Gus Baha, disambut tawa ringan para jamaah, sebagaimana dilihat dalam tayangan video kanal YouTube @aGUSRisang.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Kisah Foto Mbah Hamid Pasuruan
Kisah ini menjadi refleksi bahwa rasa hormat terhadap ibadah dan agama bisa tumbuh dalam hati seseorang, meskipun ia belum menjalankan kewajiban agamanya. Bahkan, rasa cinta terhadap simbol agama dan ulama sering kali melampaui batas formalitas.
Gus Baha juga menceritakan kisah serupa yang terjadi di Jawa Timur, khususnya di Pasuruan. Kejadian ini melibatkan sosok Mbah Hamid, seorang ulama besar yang sangat dihormati masyarakat setempat.
Di Wonorejo, Pasuruan, pernah terjadi perkelahian di antara tiga orang yang sedang mabuk. Ketiga orang ini bertengkar karena foto Mbah Hamid yang terpajang di rumah tempat mereka berada.
Pemilik rumah meminta mereka untuk tidak mabuk di lokasi tersebut karena ada foto Mbah Hamid. “Sungkan jangan mabuk di sini, nggak enak sama Mbah Hamid,” ujar pemilik rumah itu.
Namun, salah satu dari mereka menanggapi dengan enteng, "Halah, cuma foto." Perkataan ini memicu amarah dari salah satu yang lain, meski sama-sama dalam kondisi mabuk.
Gus Baha menjelaskan, "Hanya karena foto, mereka berkelahi. Padahal sama-sama mabuk. Tapi ada yang nggak terima kalau ulama dihina, meski hanya sekadar foto."
Kisah ini menunjukkan bahwa meski dalam kondisi yang jauh dari ideal, kecintaan dan rasa hormat terhadap ulama tetap melekat kuat di hati sebagian masyarakat. Bahkan, dalam keadaan tidak sempurna, penghormatan terhadap simbol agama menjadi sesuatu yang tidak bisa ditoleransi jika dilecehkan.
Advertisement
Nilai agama Bisa Hidup di Semua Lapisan Masyarakat
Gus Baha menambahkan, sikap semacam ini mencerminkan tradisi masyarakat yang memiliki penghormatan tinggi terhadap agama dan tokoh-tokohnya. Nilai-nilai ini tetap bertahan meskipun seseorang mungkin tidak sepenuhnya menjalankan ajaran agama.
Menurut Gus Baha, kisah-kisah seperti ini mengajarkan bahwa rasa cinta dan hormat terhadap agama tidak selalu muncul dari kesempurnaan. Kadang, justru di tengah keterbatasan, nilai-nilai luhur itu tetap bertahan dan menjadi inspirasi.
Ia juga menekankan bahwa penghormatan kepada ulama adalah bagian dari tradisi masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa. Meski tidak semua orang menjalankan agama secara sempurna, cinta terhadap ulama sering kali menjadi pengikat yang kuat.
Dalam ceramahnya, Gus Baha menyoroti pentingnya menjaga simbol-simbol agama dan menghormati ulama. Ia juga mengajak jamaah untuk tidak meremehkan orang lain, meskipun mereka tampak jauh dari agama.
Cerita-cerita yang disampaikan Gus Baha ini memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana rasa cinta dan hormat terhadap agama bisa menjadi pemersatu masyarakat. Bahkan dalam kondisi yang tidak ideal, nilai-nilai ini tetap dapat menginspirasi.
Gus Baha berharap masyarakat dapat terus menjaga tradisi penghormatan terhadap ulama dan agama, meskipun zaman terus berubah. Ia juga mengingatkan bahwa cinta terhadap agama harus diwujudkan dalam bentuk yang lebih positif.
Kisah ini mengajarkan bahwa setiap orang, dengan caranya masing-masing, memiliki cara untuk menunjukkan rasa hormat terhadap agama. Dalam kondisi apa pun, nilai-nilai luhur ini seharusnya tetap dipelihara.
Melalui cerita-ceritanya, Gus Baha menunjukkan bahwa nilai penghormatan terhadap ulama dan agama tidak hanya terletak pada kesalehan pribadi, tetapi juga pada sikap menghargai dan menjaga simbol-simbol agama.
Ceramah ini memberikan pandangan yang mendalam tentang bagaimana nilai-nilai agama dapat hidup dalam berbagai lapisan masyarakat, bahkan di tengah kekurangan dan ketidaksempurnaan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul