Liputan6.com, Jakarta - Presiden keempat Indonesia, KH Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, dikenal sebagai sosok santai, penuh humor, dan toleran. Namun, di balik sifat ramah itu, ternyata tersimpan pula ketegasan luar biasa, bahkan kepada tamu-tamu terhormat sekalipun.
Kisah mengejutkan itu datang dari dr Marsilam Simanjuntak, mantan Sekretaris Kabinet, yang turut mendampingi Gus Dur dalam sebuah pertemuan di Istana Kepresidenan. Pertemuan itu bukan agenda resmi biasa. Ada sekelompok habaib yang datang berdemonstrasi di depan Istana dengan penampilan yang mencolok.
Para habaib itu mengenakan jubah, sorban, dan bahkan menyandang pedang. Mereka berkeras tidak mau membubarkan diri sebelum diterima langsung oleh Presiden Gus Dur. Meski awalnya menolak, akhirnya Gus Dur bersedia menemui mereka setelah dibujuk beberapa pejabat istana.
Advertisement
"Awalnya Gus Dur tidak ingin menemui mereka," tutur Marsilam. "Tapi karena sekretaris militer dan sekretaris pengendalian pemerintahan membujuk, akhirnya beliau setuju. Tapi beliau bilang, 'Cuma lima menit, ya.'"
Dalam pertemuan itu, Gus Dur menerima mereka di ruang pertemuan Istana dengan syarat waktu yang terbatas. "Hanya lima menit," kata Gus Dur, menegaskan durasi yang diberikan untuk berdialog.
Marsilam juga menceritakan bahwa sebelum pertemuan, dirinya sempat bertanya pada Gus Dur soal istilah "habaib". Dengan santai, Gus Dur menjawab, “Habaib itu jamaknya habib. Benar apa tidak, saya tidak tahu,” sambil tersenyum kecil, seperti dilihat di Kanal YouTube @kanalunik, Senin (14/04/2025).
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Detik-Detik Gus Dur Membentak Para Habib
Situasi berubah menjadi tegang saat para habaib melebihi batas waktu bicara yang telah disepakati. Mereka bergantian berbicara tanpa henti, padahal waktu sudah lebih dari lima menit.
Gus Dur yang sejak awal sudah memberi peringatan, akhirnya berdiri dari kursinya. Suasana menjadi sunyi seketika. Semua mata tertuju pada presiden yang dikenal kalem itu.
Dengan suara keras dan nada tinggi, Gus Dur menunjuk ke arah pintu dan berkata, “Keluar! Waktu kalian sudah habis!” Suaranya begitu lantang hingga menggema ke seluruh ruangan istana.
“Sumpah mati,” kata Marsilam dalam video itu, “suara Gus Dur itu keras sekali, terdengar sampai ke luar ruangan. Kami semua yang mendampingi kaget.”
Para habaib yang sebelumnya vokal langsung terdiam. Mereka keluar satu per satu dengan ekspresi bingung dan tampak tak menyangka akan dibentak seperti itu.
Bagi Marsilam, kejadian itu menjadi pengingat bahwa meskipun Gus Dur tampak santai, dia tetap seorang pemimpin yang tegas jika aturan dilanggar.
Kisah ini memperlihatkan sisi lain dari Gus Dur yang selama ini jarang diketahui publik. Banyak orang hanya mengenalnya dari cerita-cerita humor dan kebijaksanaannya.
Advertisement
Gus Dur Tahu Kapan Harus Lembut dan Tegas
Namun di balik senyumannya, Gus Dur menyimpan ketegasan prinsipil, terutama dalam hal menghormati waktu dan kesepakatan. Tidak ada pengecualian, bahkan untuk para habaib sekalipun.
Banyak yang kemudian mengagumi bagaimana Gus Dur bersikap adil dan tak memandang status sosial atau garis keturunan dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden.
Marsilam juga menambahkan, “Gus Dur itu tahu kapan harus lemah lembut, dan kapan harus tegas. Hari itu, kita semua belajar bahwa tidak ada yang kebal dari aturan.”
Tindakan Gus Dur juga menyiratkan pesan moral bahwa simbol keagamaan tidak bisa digunakan untuk menekan kepemimpinan negara secara semena-mena.
Habaib yang datang dengan atribut keagamaan lengkap tidak membuat Gus Dur gentar atau sungkan untuk menegur. Bagi Gus Dur, semua warga negara setara di hadapan hukum dan etika pertemuan.
Sikap berani ini pula yang menjadi ciri khas Gus Dur selama memimpin, walaupun sering kali tidak populer atau menimbulkan kontroversi.
Namun demikian, ketegasannya tidak pernah disertai kebencian. Semua dilakukan dalam bingkai tanggung jawab dan ketertiban.
Seiring waktu, kisah ini menjadi salah satu warisan narasi tentang bagaimana seorang Gus Dur mendidik bangsa, bukan hanya lewat kata-kata, tapi juga lewat tindakan nyata.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
