Sejarah Banyumas dalam Pusaran Kerajaan Sunda dan Jawa

Berada di tengah antara dua budaya besar di Pulau Jawa, Sunda dan Jawa, Banyumas raya memiliki kesejarahan yang unik. Ditilik dari bahasa, misalnya

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Jun 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2022, 12:00 WIB
Ilustrasi – Panorama Gunung Slamet dilihat dari Karanglewas, Banyumas. Hari tanpa bayangan Banyumas bakal terjadi pada Sabtu, 12 Oktober 2019. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ilustrasi – Panorama Gunung Slamet dilihat dari Karanglewas, Banyumas. Hari tanpa bayangan Banyumas bakal terjadi pada Sabtu, 12 Oktober 2019. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Berada di tengah antara dua budaya besar di Pulau Jawa, Sunda dan Jawa, Banyumas raya memiliki kesejarahan yang unik. Ditilik dari bahasa, misalnya, bahkan di beberapa wilayah teridentifikasi pernah dan bahkan hingga saat ini masih menggunakan bahasa Sunda.

Padahal, sesuai dengan wilayah administratifnya, Banyumas raya berada di Jawa Tengah. Bahasa Jawa adalah bahasa keseharian di wilayah ini.

Beberapa wilayah juga bernama dengan awalan 'Ci', yang berasal dari kata bahasa Sunda, 'Cai' yang berarti air. Cilacap, Cimanggu, Cingebul, Cirahab, adalah beberapa nama wilayah yang menggunakan awal 'Cai' ini.

Irisan dua budaya besar membuat sejarah Banyumas raya begitu unik. Pun dengan budayanya secara keseluruhan. Identitas Banyumas kini bukan hanya milik Banyumas, melainkan beberapa wilayah dengan budaya dan bahasa yang identik, yakni Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan bahkan Kebumen.

Pada Senin (26/6/2022), Banyumas institute bekerja sama dengan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Banyumas, Jawa tengah menggelar diskusi bertajuk ‘Sejarah Banyumas ditinjau dari kebudayaan dan perkembangan pengaruh pada kerajaan Sunda dan Jawa’ di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP), UMP.

Dalam acara tersebut hadir Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Al Islam Kemuhammadiyahan Akhmad Darmawan, Dekan FKIP Eko Suroso, Ketua Banyumas Institute Prof DR Sugeng Priyadi, dan Ketua MGMP SMP SMA Kabupaten Demak Nur Qosim.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Bagian dari Sejarah Nasional

Gunung Slamet, Banyumas dilihat dari pesisir Cilacap. Hari tanpa bayangan akan terjadi di Banyumas dan Cilacap dan 12 dan 13 Oktober 2019(Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Gunung Slamet, Banyumas dilihat dari pesisir Cilacap. Hari tanpa bayangan akan terjadi di Banyumas dan Cilacap dan 12 dan 13 Oktober 2019(Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Direktur Banyumas Institute Prof DR Sugeng Priyadi mengatakan, sejarah lokal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan sejarah nasional Indonesia.

“Sebagai micro-unit, sejarah lokal Banyumas akan memberi sumbangan bagi historiografi Indonesia. Sejarah Banyumas mencerminkan kearifan lokal agar masyarakat Banyumas lebih cerdas dan tangkas dalam memberikan reaksi terhadap tantangan zaman,” jelas Sugeng, melalui dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (29/6/2022).

Ketua MGMP SMP SMA Kabupaten Demak Nur Qosim, mengatakan, ingin mempelajari budaya Banyumas, yang masih dianggap aneh oleh sebagian orang Jawa wetanan. Keunikan dari Bahasa ngapak yang berbeda dengan bahasa bandhek dianggap perlu diketahui.

“Kami ingin mempelajari sejarah Banyumas lebih dalam. Kami orang pesisiran atau wetanan (Timur) itu merasa kebudayaan Banyumas di anggap aneh oleh orang jawa umumnya. Padahal orang Banyumas juga sebagai orang jawa. Mungkin karena ketidaktahuan tentang sejarah dan kebudayaan Banyumas,” ucap Qosim.

Sementara, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Al Islam Kemuhammadiyahan Akhmad Darmawan, mengatakan, budaya menjadi salah faktor yang mempengaruhi karakter penduduk.

“Budaya, saya kira sangat mempengaruhi karakter penduduk dimana budaya itu berkembang termasuk Budaya Banyumasan. Karena itu UMP berkomitmen dengan budaya local. UMP mendirikan Banyumas Institute yang didalamnya ada tokoh sentral ahli di bidang Banyumas Professor Sugeng adalah sejarah Banyumas,” kata Darmawan.

Lebih lanjut ia, mengatakan perlu adanya kegiatan yang menunjang terhadap budaya lokal Banyumasan agar dapat tetap eksis dan perekonomian berbasis budaya dapat meningkat.

“Sekarang jarang sekali ada ketoprak, nah ini mungkin Banyumas Institute Prof Sugeng Ada Ketoprak Banyumasan dulu bagus banget. Mengeksplore seni-seni budaya ke Banyumasan dan dengan adanya sejarah ini akan memperkuat posisi pariwisata di Indonesia,” ujarnya.

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya