Bukan Hawa Dingin, Ini Alasan Suku Tengger di Gunung Bromo Selalu Pakai Sarung

Suku Tengger atau wong Tengger merupakan suku yang mendiami sekitar daerah dataran tinggi di Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Mar 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 02 Mar 2022, 12:00 WIB
FOTO: Upacara Yadnya Kasada, Suku Tengger Larung Sesajen ke Kawah Gunung Bromo
Suku Tengger melarung sesajen ke kawah Gunung Bromo saat upacara Yadnya Kasada di Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (26/6/2021). Suku Tengger mempersembahkan sesajen berupa beras, buah, ternak, dan barang lainnya untuk mencari berkah dari dewa. (Juni Kriswanto/AFP)

Liputan6.com, Probolinggo - Suku Tengger atau wong Tengger merupakan suku yang mendiami sekitar daerah dataran tinggi di Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur. Konon keberadaan suku Tengger memiliki keterkaitan erat dengan kisah legenda asal mula Gunung Tengger oleh leluhurnya, yakni Rara Anteng dan Jaka Seger.

Dikutip dari berbagai sumber, nama Tengger pun berasal dari gabungan antara Rara Anteng dan Jaka Seger. Mereka diyakini merupakan keturunan langsung dari Kerajaan Majapahit.

Gunung Bromo dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali setiap bulan purnama di bulan kasodo (kesepuluh), Suku Tengger mengadakan Yadnya Kasada.

Ciri khas unik dari masyarakat Tengger saat datang berkunjung ke Gunung Bromo, adalah keberadaan kain sarung. Hampir semua masyarakat Tengger, baik tua dan muda, laki-laki dan perempuan, memakai sarung.

Motif sarungya sangat beragam. Cara menggunakannya pun berbeda-beda. Rupanya keberadaan kain sarung ini cukup penting bagi masyarakat Tengger.

Suku Tengger bermukim di dataran tinggi, rasanya wajar sarung dipakai untuk menghalau hawa dingin agar tubuh tetap hangat. Namun saat hari sudah beranjak siang dan udara mulai menghangat pun tetap banyak masyarakat Tengger yang masih mengenakan sarung.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Identitas

Dari penuturan petinggi desa, sarung bagi masyarakat Tengger sudah menjadi sebuah identitas, harga diri, bahkan tren. Mereka yang tidak mengenakan sarung dinilai malu mengakui identitasnya sebagai bagian Suku Tengger.

Bagi kaum laki-laki, sarung berguna untuk formalitas, bergaya, dan atribut penunjang untuk bekerja. Cara pemakaiannya sangat beragam, seperti sengketan atau diselempangkan, serta sempetan yaitu dengan melipatkan sarung hingga batas pinggang.

Sedangkan bagi kaum perempuan, sarung adalah penanda status sosial tertentu dalam tatanan masyarakat. Khusus untuk perempuan, cara penggunaan sarung dapat menggambarkan kondisi atau status mereka saat ini.

Misal, jika sarung dipakai dengan cara menyimpulkan ke belakang menandakan bahwa mereka masih gadis dan belum memiliki pasangan. Sarung yang disimpulkan ke depan artinya mereka sudah menikah. Jika sarung disimpulkan di kiri, berarti sudah janda.

Budaya memakan sarung seolah telah menjadi peraturan tak tertulis yang wajib dipatuhi oleh setiap masyarakat Tengger.

Konon budaya ini sudah ada sejak suku Tengger lahir, bedanya dahulu menggunakan kain bukan sarung. Meskipun zaman telah berubah, budaya memakai sarung tetap terus dilestarikan sebagai warisan budaya leluhur yang berharga.

(Tifani)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya