Liputan6.com, Jakarta Saat menjadi volunteer untuk mendidik anak-anak agar memiliki jiwa wirausaha di Desa Jambewangi, Malang, Franz yang juga pemuda berkebangsaan Jerman bertemu dengan Anang Setiawan. Persahabatan kedua anak muda ini kemudian berlanjut saat Franz tertarik mengembangkan usaha dried fruit atau buah yang dikeringkan.
Ketertarikan Franz membuka mata Anang tentang desanya di Malang yang memiliki potensi besar, salah satunya potensi buah-buahan. Namun demikian, Anang dan Franz menyadari masyarakat desa hanya bisa menjualnya dalam bentuk utuh, tanpa mampu mengolah dan membuat inovasi baru.
Baca Juga
Menurut informasi yang diterima Liputan6.com, Sabtu (21/5/2016), Franz mengakui, tanpa diolah buah-buahan tidak memiliki nilai jual tinggi. Keadaan ini justru menjadi lebih parah saat stok buah makin melimpah, yang membuat harga di pasar jatuh.
Advertisement
“Kasihan petaninya, mereka tidak bisa mendapatkan banyak untung. Saya ingin membantu mereka agar tidak terjadi fruit waste (buah yang dibuang karena stok melimpah),” katanya.
Franz yang dibantu Anang pun akhirnya menemukan ide untuk mengolah buah-buahan tersebut menjadi dried fruit. Selain mampu tahan lama, Franz meyakini inovasi ini mampu memberikan nilai tambah pada buah-buahan.
"Awalnya kami mencoba kelengkeng, dan rambutan. Lalu kami coba pasarkan di Bali, ternyata banyak yang suka produk Laros Dried Fruit. Tapi kelengkeng mahal, sementara rambutan kulit bijinya sukar dibuang, akhirnya kami cari buah lain," kata Franz.
Pilihan mereka pun beralih pada buah-buahan lokal Banyuwangi, yakni buah naga, nangka, dan salak.
“Kami pilih tiga buah itu karena orang bule jarang tahu buah-buah tropis semacam itu. Orang bule seperti kami lebih tertarik dengan hal yang tidak ditemui di tempat kami. Makanya kami tidak memilih apel yang sudah lazim di sana. Dan produk kami diminati banyak orang," ujar Franz.
Dalam pembuatan dried fruit, Franz dan Anang melibatkan tujuh warga setempat. Mereka membagi tugas mencari pasokan buah, mengontrol kualitas, dan menangani pengolahan sampai ke tahap pengemasan. Franz dan Anang terus berupaya menjembatani masyarakat akar berdaya dan menghasilkan dried fruit yang benar-benar berkualitas.
Uniknya, dalam proses pengolahan, Franz telah melakukan beragam uji coba. Mulai dari penggunaan oven untuk kue hingga kompor yang layak digunakan.
"Oven ini saya bikin sendiri, karena kalau pake oven untuk roti, buahnya terlalu kering. Kompor pun juga kami modifikasi sendiri, bukan kompor gas seperti biasanya, tapi dibuat dari kaleng biskuit agar temperatur panasnya tidak sampai membuat buah terlalu kering," ujar Franz.
Memulai usahanya sejak Januari tahun ini, buah kering inovasi Franz dan Anang kini mudah ditemukan dengan merek dagang Laros dried fruit, dan bisa ditemui di 16 store yang tersebar di Bali dan Jakarta. Dibanderol dengan harga yang terjangkau, hanya Rp 30 ribu untuk orang Indonesia, dan Rp 35 ribu untuk wisatawan mancanegara, Laros Dried Fruit makin terkenal dan banyak dicari wisatawan sebagai oleh-oleh khas Banyuwangi.