Liputan6.com, Jakarta - Ramadan tak datang bersama ingar bingar sebagaimana biasanya. Itulah kondisi yang disadari benar miliaran umat Muslim di dunia akibat pandemi corona COVID-19. Maka, penyesuaian demi penyesuaian tengah dilakukan.
Melansir laman Time, Jumat (24/4/2020), Dr. Nasir Malim, seorang dokter asal New York, Amerika Serikat yang biasa memelihara jenggot sebagai ekspresi fisik sebagai seorang Muslim harus rela mencukurnya sejak bulan lalu.
Hal ini dilakukan agar ia yang notabene ada di garda depan menanggulangi langsung penyebaran corona COVID-19 bisa menggunakan alat pelindung diri (APD) dengan sebagaimana mestinya. "Tak pernah saya sangka akan menyambut Ramadan tanpa jenggot," ucapnya.
Advertisement
Baca Juga
Sebagaimana kebijakan di berbaga negara, tak akan ada salat berjemaah di masjid-masjid, tak boleh ada buka bersama, juga penyelenggaraan salat id yang menandakan berakhirnya bulan suci Ramadan.
Rania Awaad, associate professor psikiatri di Stanford University, sekaligus Ketua Stanford Muslim Mental Health Lab mengatakan bahwa kondisi ini membuat sebagian Muslim mengaku seperti sedang tak berada di Ramadan.
"Ada perasaan, 'Saya tak akan melaksanakan segala sesutu dengan maksimal selama Ramadan. Saya takut, saya punya banyak kecemasan sehingga tak bisa khusyuk beribadah'," kata Rabhi Fateh, terapis yang punya banyak klien Muslim.
Ramadan tak hanya akan jadi lebih sunyi, namun jauh lebih sulit, bagi mualaf yang tinggal bersama keluarga tak mendukung. Juga untuk mereka yang melawan kondisi mental disebabkan isolasi seperti cemas dan depresi, begitu catatan Fateh.
"Ramadan tahun ini akan jauh lebih sepi," ungkap Malim. Kendati demikian, di saat bersamaan, ia juga merasa nyaman bisa melakukan hal berguna dan lebih dibutuhkan dari biasanya di kondisi pandemi seperti sekarang.
Rentetan Adaptasi
Dr. Iman Elgammal, dokter di unit gawat darurat pun beranggapan serupa, di mana tanpa kemeriahan dengan komunitas dan orang-orang terdekat Ramadan terasa sangat berbeda.
"Sejujurnya, saya sangat takut melewati Ramadan karena akan sangat, sangat, sangat berat memotivasi diri untuk bertahan sendiri," ucapnya.
Terlepas dari tanggung jawab mereka secra profesional, baik Malim maupun Elgammal, akan tetap berpuasa menjalankan kewajiban mereka sebagai seorang Muslim.
"Saya mungkin akan kewalahan di seminggu pertama karena harus beradaptasi. Tapi, saya yakin semuanya akan dilancarkan, saya percaya saya bisa menemukan makna lebih dalam di Ramadan yang tak seperti tahun-tahun sebelumnya ini," kata Malim.
Khalid Latif, imam di Islamic Center New York University, mengatakan bahwa Muslim memang tak lagi bisa salat berjemaah, tapi ada banyak cara untuk tetap merasa terlibat dalam komunitas. "Membantu saudara-saudara kita juga jadi salah satu cara untuk merasa terhubung, terlebih di kondisi sulit seperi sekarang," tuturnya.
Islamic Center tersebu diketahui telah mengumpulkan donasi sebesar 770 ribu dolar Amerika Serikat atau setara Rp12 miliar untuk membantu finansial pihak-pihak yang terdampak penyebaran virus corona baru.
"Ramadan ini bisa jadi cara para Muslim coba mendapatkan spektrum spiritual yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya," kata Abdel Rahman Murphy, imam di Roots Community, Texas, Amerika Serikat.
"Kita bisa sama-sama fokus membaca Al-Qur'an dan memanfaatkan berbaga teknologi untuk mendengar kajian. Adaptasi ini mungkin sulit, tapi jangan lupa bahwa kita melakukanya bersama-sama dengan miliaran saudara Muslim lain di dunia," tandasnya.
Advertisement