Pesan dari Para Ibu yang Anaknya Meninggal kerena Bunuh Diri

Para ibu ini mendorong anak-anak remaja untuk lebih terbuka akan perasaan mereka.

oleh Asnida Riani diperbarui 14 Sep 2020, 01:02 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2020, 01:02 WIB
Depresi Menjadi Penyebab Umum Tindakan Bunuh Diri
Ilustrasi ibu ditinggal anak bunuh diri. Credit: freepik.com

Liputan6.com, Jakarta - Kesehatan mental anak muda jadi permasalahan yang semakin berkembang di berbagai negara, termasuk Singapura. Jumlah kasus bunuh diri remaja, khususnya anak laki-laki, terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir di Negeri Singa.

Hal itu terbukti dalam data yang dikelola Samaritans of Singapore (SOS). Tercatat ada 400 kasus bunuh diri pada 2019. Kasus ini terus meningkat setelah terdapat 397 kasus di 2018 dan 361 kasus pada 2017, serta tahun 2016 dengan 429 kasus.

SOS juga menyimpulkan bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian utama bagi mereka yang berusia 10 sampai 29 tahun di Singapura. Ada tiga kali lebih banyak kematian akibat bunuh diri dibanding kecelakaan transportasi pada 2019, dan lebih 66 persen korbannya ialah laki-laki.

Kematian sia-sia para remaja ini telah menyayat hati kerabat dekat, terutama para ibu. Perasaan inilah yang juga melanda Doreen Kho dan Elaine Lek, dua orang ibu yang kehilangan anak akibat kasus bunuh diri, beberapa tahun lalu.

Doreen kehilangan putranya, Evan Low, yang mengakhiri hidupnya di usia 11 tahun. Sedangkan, Elaine ditinggalkan mendiang putranya, Zen Dylan Koh, sebulan sebelum ia genap 18 tahun.

Menurut Doreen, banyak faktor yang mungkin membebani putranya saat itu hingga bunuh diri. Bisa bersumber dari pergaulan, pendidikan, hingga budaya hidup di Asia yang cenderung menuntut anak laki-laki untuk selalu terlihat kuat.

“Karena masyarakat di Singapura sangat kompetitif, terutama bagi anak laki-laki. Mereka merasa bahwa berkata, ‘Saya depresi, saya sedih’ akan mengungkap sisi rapuh mereka. Tampaknya, di budaya Asia, jadi lemah seakan tak pantas bagi anak laki-laki,” katanya dikutip dari wawancara BBC News, Kamis, 10 September 2020.

“Mereka diharapkan untuk selalu kuat, selalu mengangkat keluarganya. Jadi, banyak tekanan yang harus dihadapi oleh para anak laki-laki,” tambahnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Gangguan Mental Dianggap Tabu

20151216-Ilustrasi Bunuh Diri
Ilustrasi Bunuh Diri (Istimewa)

Elaine mengaku bahwa kematian putranya membuat ia lebih terbuka terhadap anak muda, bahkan keponakannya yang remaja sering meluapkan isi hati padanya. Ia merasa, terkadang masih banyak orangtua yang malu mengakui kenyataan bahwa anak mereka mengalami gangguan mental.

“Banyak keluarga yang menyangkal, memalukan bagi mereka untuk mengakui bahwa anaknya punya gangguan kejiwaan. Ini jadi stigma, tabu, sehingga mereka tidak ingin menyadarinya, dan mereka tidak menawarkan bantuan yang tepat untuk anak mereka yang sedang berjuang,” ucapnya.

Ia juga menceritakan bahwa beberapa ibu kenalannya juga menutup-nutupi kasus bunuh diri anak mereka dari keluarga besar. Seringkali para ibu beralasan bahwa anak mereka tidak lagi terlihat karena sedang menuntut ilmu di luar negeri.

“Mereka takut dikucilkan atau takut keluarga mereka akan marah dan malu terhadap apa yang terjadi,” imbuh Elaine.

 

”Tolong, tetaplah bersama kami…”

20151216-Ilustrasi Bunuh Diri
Ilustrasi Bunuh Diri (Istimewa)

Sebagai ibu yang pernah terpuruk dan merasa bersalah atas kepergian putra mereka, Doreen dan Elaine membentuk Please Stay Movement, gerakan yang berusaha mengumpulkan bantuan bagi anak muda yang masih bergumul dengan depresi dan rasa ingin bunuh diri.

“Please Stay Movement adalah kelompok advokasi dasar pertama oleh kelompok ibu yang pernah mengalami kehilangan anaknya akibat bunuh diri. Bersama mencari strategi pencegahan kasus bunuh diri dan kesehatan mental nasional,” ungkap Doreen.

Gerakan ini ingin memberi pemahaman pada anak muda bahwa mengungkap rasa sedih dan depresi tidak membuat mereka jadi seseorang yang lemah.

“Kami ingin mereka tahu bahwa tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Gunakan waktu perlahan untuk tumbuh dewasa, tidak perlu memenuhi harapan siapa pun. Hidup kalian sangat berharga, dan banyak sekali orang yang mencintai kalian.” tambahnya.

Doreen berharap semakin banyak anak muda lebih terbuka dengan perasaan mereka dan bertahan, sehingga suatu hari nanti dapat mensyukuri keberadaan di tengah orang yang mereka sayangi, terlebih memberi apresisi untuk diri sendiri. (Brigitta Valencia Bellion)

 

KONTAK BANTUAN

Bunuh diri bukan jawaban apalagi solusi dari semua permasalahan hidup yang seringkali menghimpit. Bila Anda, teman, saudara, atau keluarga yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit, dilanda depresi dan merasakan dorongan untuk bunuh diri, sangat disarankan menghubungi dokter kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan (Puskesmas atau Rumah Sakit) terdekat.

Bisa juga mengunduh aplikasi Sahabatku: https://play.google.com/store/apps/details? id=com.tldigital.sahabatku

Atau hubungi Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567 yang melayani berbagai pengaduan, permintaan, dan saran masyarakat.

Anda juga bisa mengirim pesan singkat ke 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat surat elektronik (surel) kontak@kemkes.go.id.

Fenomena Bunuh Diri di Gunungkidul
Infografis mengenai kenali faktor-faktor risiko bunuh diri
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya