Liputan6.com, Jakarta - Turut serta dalam pengumpulan donasi tentu bukan kegiatan baru bagi masyarakat Indonesia. Seiring waktu, berderma jadi kian mudah dengan makin banyak pihak terlibat, di mana tak semuanya adalah lembaga formal.
Menurut Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, karakter donatur di Indonesia agak unik. Pasalnya, publik dikenal dermawan karena didorong ajaran agama dan tradisi menyumbang di hampir setiap daerah.
Pernyataan serupa pun disuarakan Staf Pengajar Departemen Sosiologi Fisip Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine. "Kepercayaan bahwa donasi yang diberikan juga akan kembali jika suatu saat dibutuhkan pun jadi faktor lain," katanya lewat pesan pada Liputan6.com, Jumat, 11 September 2020.
Advertisement
Baca Juga
Hamid menambahkan, landasan berdonasi yang demikian justru berdampak negatif. Pertama, munculnya kultur donasi sebagai anomin. Kebiasaan ini membuat lembaga amal sulit 'merawat' donaturnya. Sehingga, peluang membuat seorang penderma jadi donatur rutin jadi lebih kecil.
Kemudian, karakter tersebut juga membuat donatur kebanyakan jadi tak kritis. Pihaknya pernah melakukan survei, di mana kebanyakan penderma beranggapan akuntablilitas penting, tapi masih minim berupaya menanyakan laporan pertanggungjawaban.
Kebiasaan memberi langsung pun membuat kegiatan ini jadi berorientasi hanya untuk jangka pendek. "Semisal dikasih ke lembaga, jadi bisa lebih terorganisir dan akhirnya dibuat program jangka panjang dari donasi tersebut," ungkapnya saat dihubungi, Rabu, 9 September 2020.
Sementara Founder Benihbaik.com, Andy F. Noya, mengatakan bahwa donasi sekarang memang kebanyakan masih didorong peristiwa menyentuh hati, seperti bencana alam, anak-anak sakit, maupun orang jompo yang terlantar.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bijak Pilih Penggalang Donasi
Andy mengatakan, setidaknya ada dua pertimbangan utama dalam berderma, dimulai dari kredibilitas penggalang donasi. "Harus yakin dulu, siapa orang di belakangnya, bagaimana penyalurannya. Kemudian, tentu saja transparansi," ungkapnya melalui pesan, Jumat, 12 September 2020.
Hamid menyambung, dalam berdonasi, publik sebaiknya memerhatikan kapasitas penggalang donasi. Pasalnya, ia mengkalim banyak lembaga sosial yang karena dipercaya banyak orang jadi tak mempertimbangkan kapasitas.
"Jadi, hanya menyumbang supaya donasi habis saja. Pemberiannya tak dilakukan secara terencana. Kemudian, bisa juga dilihat dari track record," tuturnya.
Jaminan sistem transparasi, kata Daisy, jadi pertimbangan utama publik dalam berdonasi. "Pun lembaga yang sudah teraudit," imbuhnya.
Ani Iriani Freeyanti, Kasubdit Pemantauan dan Penyidikan Kementerian Sosial (Kemensos) RI menjelaskan, izin pengumpulan dari pejabat berwenang, struktur organisasi penyelenggara, lembaga penyelenggara, serta maksud dan tujuan pengumpulan donasi juga harus diperhatikan.
"Kemudian, rekening penampung donasi sebaiknya bukan rekening pribadi dan sifatnya harus sukarela, tidak ada paksaan," paparnya melalui pesan, Jumat, 11 September 2020.Â
Advertisement
Mengedukasi Publik dalam Berdonasi
Hamid mengatakan, pihaknya berupaya mendidik donatur agar bijak dan kritis. Sebagai catatan, kegiatan menyumbang memang bersifat sosial, tapi terdapat hak donatur di dalamnya.
"Pertama, bijak, yakni menyumbang secara organisir, tak memberi langsung. Penyelenggara pun punya kapasitas dan akuntabilitas terjamin. Penderma perlu disadarkan bahwa mereka punya hak-hak donatur. Misal, hak untuk tahu organisasi (pengumpul donasi), siapa pengurus, dan apa programnya," Hamid menjelaskan.
Ia ingin menyampaikan, langkah-langkah ini sama sekali bukan indikasi donatur riya atau tak ikhlas atas bantuan yang diberikan.
Andy menambahkan, crowdfunding digital bisa jadi alternatif untuk berderma lebih bijak. Pasal, calon donatur dapat memilih berbagai program dengan lebih dulu mengetahui informasi, baik tentang program, penggalang dana, maupun penerima manfaat.
"Nama dan jumlah donasi juga terlihat jelas dan dapat diakses siapa pun dan kapan pun. Donatur juga bisa mengikuti perjalanan donasi dari penyaluran, diterima, sampai melihat laporan perkembangan," katanya.
Andy mengatakan, kebiasaan tak mempertanyakan laporan keuangan membuat celah pihak kurang bertanggung jawab beraksi. "Platform digital bisa jadi salah satu jawaban bagi mereka yang merasa kurang nyaman untuk menagih karena bisa lihat sendiri," sambung jurnalis senior tersebut.
Dorong Kolaborasi
Hamid mengatakan, campur tangan era digital mengubah kegiatan berdonasi. "Sekarang orang yang tak punya organisasi bisa memotret satu kegiatan menarik, upload di socmed, orang tak bertanya lagi," katanya.
Fenomena ini menurutnya membuat sekat menyumbang secara terstruktur jadi kabur. Kendati demikian, transparasi sejumlah pihak dengan sistem ini dinilai sudah cukup baik. Alih-alih berupaya menghentikan partisipasi, Hamid mendorong lembaga informal atau perserorangan untuk bersinergi dengan lembaga formal.
"Komunitas geraknya lebih cepat dan inisiatifnya genuine. Sayang, konsistensinya kurang karena memang tak fokus, sementara organisasi bisa back up kekurangan ini. Jadi, memang harus ada sinergi," katanya.
Soal memilih penyalur donasi, Andy mengatakan, sekarang publik sudah sangat mudah mendapat informasi tentang penggalang dana. Dengan demikian, mereka bisa memilih lembaga mana yang dalam pandangan pribadi dapat dipercaya.
Daisy menjelaskan, donasi paling aman memang disalurkan lewat lembaga pengumpul berbadan hukum. Namun, tak semua persoalan kemanusiaan bisa tersalurkan melalui lembaga besar berbadan hukum.
Karenanya, kelompok-kelompok masyarakat juga bisa jadi fundriser. Dengan catatan, harus membangun sistem transparansi dan akuntabilitas, serta mampu jadi subyek hukum jika terbukti terdapat penyalahgunaan.
Sedangkan Ani menjelaskan, Kemensos sudah punya beberapa regulasi terkait keamanan donasi, yakni Keputusan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/1996 tentang Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat dan Keputusan Menteri Sosial Nomor 1/HUK/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan untuk Korban Bencana.
Pihaknya pun telah menyediakan aplikasi berisi informasi penyelenggaraan pengumpulan donasi, yaitu e-Sabid. "Apa pula media pengaduan masyarakat berupa call center 021-3144000," tandasnya.
Advertisement