Liputan6.com, Jakarta - Serba digital di masa pandemi COVID-19 hadir bersama risiko tindak kekerasan daring terhadap anak perempuan. Karenanya, di momen Hari Anak Perempuan Internasional yang diperingati setiap 11 Oktober, Yayasan Plan International Indonesia menyoroti faktor-faktor terjadinya tindakan tersebut.
"Bentuk pembebasan dari segala bentuk kekerasan ini tak sekadar pemenuhan hak, tapi juga soal kesetaraan anak perempuan," kata Dini Widiastuti, Executive Director Yayasan Plan International Indonesia, dalam webinar Freedom Online: Kebebasan berekspresi dan Terbebas dari Kekerasan Berbasis Gender Online, Jumat, 9 Oktober 2020.
Dalam mengidentifikasi bentuk kekerasan daring terhadap anak perempuan, Influencing Director Yayasan Plan International Indonesia, Nazla Mariza, memaparkan riset Plan International perihal Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Advertisement
Baca Juga
Survei ini melibatkan 14 ribu anak perempuan dari 31 negara, di mana 500 di antaranya berasal dari Indonesia, di rentang usia 15--25 tahun. Temuan utamanya, lebih dari tujuh ribu responden pernah mengalami pelecehan atau kekerasan daring.
Satu dari empat responden yang mengalami pelecehan daring merasa tak nyaman secara fisik. Kemudian, pelecehan daring cenderung membungkam anak perempuan. Lalu, terdapat serangan terhadap identitas dan konten yang diangkat anak-anak perempuan tersebut.
Secara data, anak-anak perempuan ini mengalami kekerasan daring berusia sedini delapan tahun dan puncak grafiknya berada di rentang usia 14--20 tahun. Tiga media sosial teratas dalam praktik KBGO, yakni Facebook (19 persen), Instagram (10 persen), dan WhatsApp (6 persen).
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jenis Kekerasan Daring pada Anak Perempuan
Jenis KGBO terhadap anak perempuan di media sosial meliputi ancaman kekerasan seksual (96 persen), perundungan (43 persen), dimata-matai (42 persen), dihina secara fisik (27 persen), dipermalukan (25 persen), pelecehan seksual (25 persen), komentar rasis (24 persen), ancaman kekerasan fisik (19 persen), dan komentar terhadap orientasi sesksual (17 persen).
Akhirnya berbagai jenis KGBO tersebut memberi pengaruh pada anak perempuan dan perempuan muda. Pertama, mereka merasa rendah diri atau kehilangan kepercayaan diri. Kemudian, stres mental dan emosional.
Ketiga, merasa tak aman secara fisik. Disusul mengalami masalah dengan teman maupun keluarga. Kelima, mengalami masalah di sekolah, dan, terakhir, kesulitan mencari atau mempertahankan pekerjaan.
Mirisnya, 56 persen pelaku KGBO adalah orang yang dikenal. Mereka bisa saja teman di media sosial, pacar atau mantan pacar, maupun teman sekolah atau kerja. Tapi, ada juga akun anonim, akun pengguna media sosial yang bukan teman, dan orang yang benar-benar asing.
Advertisement
Tindakan yang Diambil Korban
39 persen responden tak menghiraukan pelaku KBGO dan tetap menggunakan media sosial, sementara 12 persennya memutuskan lebih jarang mengakses media sosial. 11 persen di antaranya mengubah cara dalam mengekspresikan diri.
Ada juga 12 persen yang menantang balik pelaku dengan mengirim komentar. Sedangkan, delapan persen memutuskan berhenti mengunggah konten berisi opini dan tujuh persen setop pakai aplikasi KBGO terjadi.
Terkait solusi teknologi, mayoritas memilih mengubah pengaturan akun jadi private. Ada pula yang melaporkan akun tersebut ke aplikasi media sosial, yakni sebanyak 10 persen.
Menurut responden, pengguna media sosial punya peran besar dalam memastikan aktivitas nyaman di jejaring sosial. Disusul pemerintah, perusahaan media sosial, serta organisasi masyarakat sipil dan aktivis.
Apa Saja yang Bisa Dilakukan Anak Perempuan?
Menyikapi penemuan ini, anak perempuan disarankan untuk memahami KGBO dan memberi pemahaman ke sekitar tentang KBGO. Di samping, tetap berhati-hati di dunia maya.
Aktif melaporkan maupun mencari bantuan atau dukungan. Terakhir, memberi masukan pada pemerintah dan perusahaan media sosial, baik secara langsung maupun melalui jejaring, untuk meningkatkan mekanisme perlindungan dan sistem laporan. Juga, mendorong peningkatan program edukasi ke publik.
'Kami juga ada surat terbuka yang akan ditujukan pada empat perusahaan media sosial (Twitter, Facebook, Instagram, dan TikTok) untuk lebih efektif mencegah kekerasan daring terhadap anak perempuan," kata Nazla.
Anda bisa memberi dukungan dengan mengakses laman bit.ly/bebaskekerasandaring.
Advertisement