Liputan6.com, Jakarta - Kontak budaya sebenarnya pasti ada dalam setiap perjalanan, tinggal bagaimana pelancong menginterpretasi ragam ekostisme tersebut. Bagi seorang cultural traveler, Laely Indah Lestari, "langkah jauh dari rumah" dimanfaatkannya untuk mengenal wastra Indonesia dalam rangkaian akbar perjalanan budaya.
"Begitu banyak wastra dari Sabang sampai Marauke yang bisa diangkat, bahkan masih banyak yang belum dikenal, dan sudah kewajiban kita untuk melestarikannya" kata Laely lewat keterangan resmi pada Liputan6.com, baru-baru ini.
Menurut Laely, hakikat mencintai wastra berarti juga harus menjaga, mempelajari, memakai, dan melestarikannya. Ia pun bercerita pengalamannya mengenal ragam kain tradisional dari berbagai wilayah.
Advertisement
Baca Juga
Bertolak ke pedalaman Sulawesi Tengah, ia secara khusus mempelajari pembuatan kulit kayu, yang menurutnya sangat tidak mudah dan butuh ketelitian ekstra. Masih di tanah Sulawesi, Laely juga sempat bertandang ke Tana Toraja.
Tepatnya di Desa Barana, Kecamatan Sa’, Laely mengagumi beberapa teknik istimewa pembuatan kain tenun setempat. Titik beratnya ada pada material, motif, dan warna yang semuanya masih dihasilkan dengan bahan alami.
Sampai saat ini, para penenun juga masih menggunaakan alat tenun yang sangat tradisional. Di Toraja, keahlian menenun diwariskan secara turun-temurun. Laely sempat belajar, mulai dari memintal benang, sampai menenun.
Sumba pun tidak luput dari radar perjalanannya. Berkenalan langsung dengan perajin dan melihat proses pembuatan tenun Sumba membuatnya jatuh hati. Selain memperlajari proses pembuatan, kain-kain tenun itu juga dipakainya dalam pemotretan Budaya tentang Tanah Sumba.
"Inilah keseruannya saat travelling budaya. Bukan hanya mempelajari wastra, tapi juga memakainya, membuat liputan dengan cantiknya berwastra, dan menginformasikan pada masyarakat tentang indahnya wastra Indonesia," ungkapnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dari Motif Indramayu sampai Tenun Langka Bali
Selain tenun, Laely juga berbagi momen berkenalan dengan kain batik asal Indramayu, Jawa Barat. Diadopsi dari letak georgrafisnya, motif-motif batik di sini lekat dengan suasana pesisir, dari nelayan sampai biota laut. Sebagian besar motif batik Indramayu merupakan kisah masyarakat pesisir yang dalam kesehariannya bermatapencaharian sebagai nelayan.
Kala itu, Laely menyambangi Desa Paoman Indramayu untuk belajar membuat batik cap dan melukis motif batik dengan canting dan malam. Kereta kencana, ganggeng, iwa ketong, kapal karam, kembang gunda, swastika, dan merak ngibing jadi sedikit motif batik yang diperkenalkan padanya.
Berlanjut ke destinasi berikutnya, Laely membuktikan bahwa Bali tidak semata tentang "rayuan" lanskap alam. Itu dilakukan dengan mengangkat eksistensi Tenun Sutra Budakeling, wasta yang diklaim sudah langka dan sangat jarang dijual di pasaran.
Saat mengunjungi Desa Adat Budakeling, Laely mempelajari sejarah dan cara membuat kain tenun itu. Karena masih mempertahankan tradisi leluhur, proses pembuatannya sangat rumit. Motif tenun sutra Budakeling antara lain adalah motif bunbunan, motif kekangkungan, dan motif ayam.
Pasalnya, material kain masih harus didatangkan dari India dan Tiongkok karena langka di Bali. Proses rumit inilah yang menyebabkan harga Tenun Sutra Budakeling tidak main-main.
Advertisement