2 Penyebab Utama Perkawinan Anak Meningkat di Masa Pandemi Covid-19

Peningkatan ini membuat Indonesia berada di peringat ke-2 untuk kasus perkawinan usia anak.

oleh Putu Elmira diperbarui 03 Agu 2021, 20:02 WIB
Diterbitkan 03 Agu 2021, 20:02 WIB
Himbauan untuk Menolak Perkawinan Anak
Ilustrasi Kekerasan pada Anak Credit: pexels.com/Kirk

Liputan6.com, Jakarta - Perkawinan anak masih jadi tantangan tersendiri di Indonesia. Kondisi tersebut kian diperparah dengan hantaman masa pandemi Covid-19 yang menyebabkan krisis dan membuat kehidupan makin sulit.

Manajer Advokasi dan Kampanye Yayasan Plan International Indonesia Bambang Wicaksono menyebut, perkawinan anak cenderung meningkat di masa pandemi Covid-19. Ini terjadi di 18 provinsi, termasuk Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Peningkatan itu membuat Indonesia berada di peringkat kedua Asia Tenggara dan ke-8 dunia untuk kasus perkawinan usia anak. "Termasuk yang mengajukan dispensasi perkawinan ke pengadilan itu juga naik hampir tiga kali lipat," kata Bambang dalam Kelas Edukasi No! Go Tell!: Advokasi Pencegahan Kekerasan Seksual, Selasa (3/8/2021).

Bambang menyampaikan, ada dua penyebab utama perkawinan anak. Pertama, faktor sosial. Pernikahan banyak terjadi karena ada kecenderungan "ikut-ikutan."

"Anak remaja biasanya punya tokoh atau role model. Temannya menikah di usia muda (dilihat) baik-baik saja. Ada yang diberi baju dan handphone baru, iming-iming seperti ini karena melihat teman, media sosial, sinetron, televisi, film, dan sebagainya," tambah pria yang akrab disapa Sony ini.

Ia melanjutkan, interaksi sosial tersebut membentuk persepsi dan cara pikir mereka tentang perkawinan anak lebih enak daripada sekolah. Dorongan ini diperparah dengan ketiadaan biaya untuk melanjutkan pendidikan.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pentingnya Lingkungan yang Produktif

Ilustrasi
Ilustrasi kekerasan seksual. (dok. Pexels/Josie Stephens)

"Hati-hati kalau salah memilih platform media sosial kadang-kadang bisa terjebak. Pentingnya pergaulan memilih lingkungan yang membuat Anda produktif, seperti rajin belajar. Boleh (menggunakan) media sosial, tapi yang produktif bikin konten-konten yang menginspirasi," ungkap Sony.

Faktor kedua adalah ekonomi. Tingginya kasus perkawinan anak turut dipengaruhi kondisi orangtua yang kehilangan pekerjaan di masa pandemi.

"Mereka kesulitan membiayai kebutuhan hidup sekolah dan akhirnya orangtua memilih jalan pintas anak dinikahkan. Karena dengan anak perempuan dinikahkan, seolah-olah orangtua sudah melepaskan tanggung jawab karena yang mengurus suaminya," tambahnya.

Faktor Pendorong Lain

Ilustrasi pernikahan
Ilustrasi pernikahan (dok.unsplash/Drew Coffman)

Faktor lain yang mendorong terjadinya perkawinan anak adalah anak putus sekolah atau tidak memiliki akses untuk sekolah online. Pasalnya, pembelajaran jarak jauh membutuhkan gawai untuk menuntut ilmu.

"Banyak yang tidak punya handphone, laptop, akses internet sulit di desanya. Jadi, menikah dianggap solusi, padahal bukan sama sekali," terangnya.

Sony menjelaskan, perkawinan anak justru menjadi awal dari berbagai masalah baru. Risikonya mencakup kekerasan, pola asuh yang tidak benar, bahkan perceraian. Pelanggaran atas hak-hak anak berdampak buruk pada tumbuh kembang dan kehidupan anak di masa mendatang.

Eksploitasi Seksual Anak

Eksploitasi Seksual Anak
Infografis eksploitasi seksual anak (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya