Liputan6.com, Jakarta Praktik perkawinan anak masih cukup banyak terjadi di sederet wilayah di Tanah Air. Hal ini pula yang mendorong dua organisasi, yakni Yayasan Plan International Indonesia dan Koalisi Perempuan Indonesia bersinergi meneliti terkait penghapusan perkawinan anak di tingkat kabupaten dan desa.
Peneliti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari menyampaikan, studi terkait perkawinan anak ini dilakukan selama hampir satu tahun setelah pandemi Covid-19 melanda dan terus diperbarui hingga April 2021 lalu. Penelitian berfokus pada tujuh wilayah, yakni Sukabumi, Rembang, Lombok Barat, Lembata, Palu, Sigi, dan Donggala.
"Kita memberikan perhatian penting karena perkawinan anak berkorelasi kuat dengan persoalan kualitas manusia dan daya saingnya termasuk sumber daya manusia dan berkorelasi erat dengan upaya mewujudkan kesetaraan gender," kata Dian dalam bincang virtual pemaparan hasil studi, Selasa (4/5/2021).
Advertisement
Baca Juga
Dian melanjutkan, faktor pendorong perkawinan anak ternyata cukup banyak dan yang tertinggi adalah faktor sosial sebanyak 28 persen. Hal ini terjadi karena adanya desakan dari lingkungan agar kawin di usia anak, labeling jika tidak laku dan perawan tua, yang mendorong orang untuk melakukan perkawinan anak. Lalu, dilanjutkan dengan faktor kesehatan di angka 17 persen.
"Pengetahuan kesehatan reproduksi remaja-remaja sangat sedikit, sehingga mereka melakukan hubungan seks di luar perkawinan dan mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan," tambahnya.
Faktor keluarga ada di urutan ketiga pada angka 15 persen, karena pola asuh keluarga yang berjalan tidak begitu baik. Dian menyebut, ada di antara mereka adalah anak-anak yang ditinggal orangtua pergi ke luar negeri yang lantas dititipkan, anak yatim, hidup dari keluarga yang berpindah-pindah, korban perceraian, juga kekerasan yang lantas ingin segera keluar rumah melalui lembaga perkawinan.
"Faktor ekonomi (12 persen) menduduki urutan keempat, karena kemiskinan dan ketiadaan sumber daya keuangan terutama untuk menghidupi dan melanjutkan pendidikan, ada beberapa yang terkena kasus dililit utang," jelas Dian.
Lalu teknologi informasi jadi faktor kelima di angka 11 persen. Anak-anak menggunakan gawai yang mengambil konten-konten negatif yang berkorelasi dengan faktor kesehatan dan mendorong hubungan seks sebelum perkawinan atau menerima informasi-informasi yang berkaitan dengan kampanye perkawinan anak dan terpengaruh oleh itu.
Selanjutnya adalah faktor budaya sebesar 10 persen yang dikatakan Dian, lebih karena tradisi. "Ada beberapa daerah yang memang praktik tradisi, pamali menolak lamaran pertama, di lingkungan itu (ada anggapan) kalau sudah agak besar dikawinkan, dan sebagainya," tambahnya.
Lantas, faktor pendidikan sejumlah enam persen yang berkaitan dengan ketiadaan orangtua melanjutkan pendidikan, faktor hukum nol persen, dan faktor agama satu persen.
"Bahwa orang mengawinkan anaknya dengan alasan agama itu ternyata kecil sekali, ini temuan yang ada di lapangan," tutur Dian soal perkawinan anak.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Modus Perkawinan Anak yang Dilakukan Orangtua
Selain itu, hasil temuan juga menjelaskan ada modus-modus perkawinan anak yang dilakukan orangtua. "Pertama, identitas anak menuakan usia, melaporkan bahwa sudah berusia 19 tahun misalnya, supaya mudah melakukan perkawinan," kata Dian.
Modus kedua adalah perkawinan dengan metode perjodohan. "Ada beberapa bagian dari budaya, ada nikah gantung. Berbagai bentuk perjodohan yang praktik itu dilakukan orangtua dan korbannya adalah anak-anak," tambahnya.
Pemaksaan orangtua terkait urusan utang piutang dan kerja sama antar-orangtua jadi modus ketiga. Selanjutnya adalah kehamilan yang tidak diinginkan yang menjadi urutan keempat dalam praktik ini, di mana orangtua memaksa anak untuk kawin karena sudah hamil.
"Alasan ekonomi yang sesungguhnya tidak sepenuhnya menjadi alasan masuk akal, karena sering kali tidak sungguh-sungguh dalam keadaan miskin. Pun kalau miskin, justru akan melanggengkan kemiskinan karena rata-rata perkawinan mereka tidak berlangsung lama, cerai, dan kembali ke keluarga asal dengan kondisi sudah punya anak," tambahnya.
Terakhir, dinikahkan secara agama terlebih dahulu baru mengajukan ke KUA. "Ini terobosan yang dilakukan orangtua-orangtua supaya mereka mudah mengatasi persoalan ini. Ada juga beberapa KUA yang mendukung praktik ini, mereka menyaksikan perkawinan tapi tidak menerbitkan bukunya dan baru diterbitkan setelah usia mereka cukup," terang Dian.
Advertisement