Cerita Akhir Pekan: Nasib Miris Perajin Batik di Masa Pandemi

Kondisi pandemi bisa mengancam kelangsungan pembatik di Indonesia bila dibiarkan tanpa intervensi yang signifikan.

oleh Komarudin diperbarui 04 Okt 2021, 10:17 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2021, 08:32 WIB
Batik Komar
Selama pandemi Covid-19 banyak perajin batik yang meninggalkan pekerjaannya dengan beralih profesi dengan pekerjaan lain agar bisa betahan (dok.Instagram/@batikkomar/https://www.instagram.com/p/CMMFbliBWEy/Komarudin)

Liputan6.com, Jakarta - Semangat masyarakat Indonesia terhadap batik bergairah kembali jelang perayaan Hari Batik Nasional pada 2 Oktober 2021 yang bertema Membatik Mendunia. Hal itu ditandai dengan banyaknya orang yang membicarakan batik.

"Para perajin batik diminta untuk mengikuti acara Membatik Mendunia secara bersama-sama secara online. Kami berharap dengan acara tersebut muncul lagi euforia dan masyarakat lebih mencintai batik lagi. Apalagi, Covid-19 di Indonesia sudah melandai sehingga banyak orang yang beraktivitas di luar rumah," kata Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), Komarudin Kudiya, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 30 September 2021.

Pandemi corona Covid-19 diakui turut berdampak pada para perajin batik. Sejak Maret 2020, saat terjadi pembatasan-pembatasan, termasuk pameran, berkumpul, dan lain-lain, permintaan terhadap batik menurun drastis. Ia menyebut hampir 80 persen perajin batik meninggalkan pekerjaan membatik.

"Artinya, sekitar 105 ribuan perajin yang meninggalkan pekerjaan membatiknya," ujar anggota Dewan Pakar Yayasan Batik Indonesia (YBI) itu.

Menurut Komarudin, jumlah perajin atau pekerja batik saat ini tercatat 131.565 orang. Sedangkan, jumlah UMKM batik skala besar berjumlah 502, jumlah UMKM batik skala menengah 1.279, dan jumlah UMKM batik sekali kecil berjumlah 2.612 unit.

Menurut pendiri Ikatan Pencinta Batik Nusantara (IPBN), Ayu Dyah Pasha, banyak di antara perajin batik yang beralih profesi menjadi pengemudi online. Hal itu dilakukan untuk tetap bertahan di tengah pandemi.

"Kondisinya perajin batik memang berat sekali. Selama ini mereka yang di sentra-sentra batik, seperti di Yogya dan Solo, menunggu kehadiran turis. Sekarang nggak ada orang berbelanja, mereka juga banyak yang nggak mengerti tentang dunia online," papar Ayu.

Kondisi pandemi juga membuat membuat para pengusaha batik tidak bisa menjual lewat pameran, perkantoran, hajatan, pesta ulang tahun. Akibatnya, hampir tidak ada penjualan.

"Mereka yang punya karyawan 300 orang, 400 orang, dan 500 orang, termasuk yang mempunyai karyawan tidak terlalu banyak, mengurangi karyawannya secara drastis. Contohnya saya, dari 300 tenaga kerja, sekarang tinggal 75 tenaga kerja. Beberapa bulan kami bahkan hanya punya lima orang tenaga kerja," papar Komarudin yang juga dosen Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB).

Mereka hanya stand by saja di lokasi, jika sewaktu-waktu diperlukan. Lainnya, ia rumahkan dan mereka hanya menerima uang jajan saja sekitar Rp15--Rp25 ribu per hari, tanpa bekerja sama sekali.

"Kami tak sanggup membayar mereka, karena karyawan kami cukup banyak. Mereka yang keluar kami berikan uang kadedeuh, tapi sebenarnya tidak seimbang," ungkap Komarudin.

Mereka ada yang bekerja harian dan ada juga yang bekerja bulanan. Komarudin mengatakan ia membayar gaji mereka, tapi tidak memberikan bonus karena tidak adanya penjualan.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Mudik dan Lebaran

Pembuatan batik
Pembuatan batik di Tingal Art di Dusun Tingal, Desa Wanurejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah (Liputan6.com/Komarudin)

"Ditambah lagi saat Lebaran yang tidak diperbolehkan untuk mudik. Padahal, biasanya satu kali event mudik, untuk satu toko dalam hitungan tiga hari sampai satu minggu itu bisa mengumpulkan ratusan juta, seperti di Cirebon, Pekalongan. Itu untuk satu toko," imbuh lelaki kelahiran Cirebon, 28 Maret 1968.

Biasanya saat mudik, banyak orang yang membawa oleh-oleh batik. Mereka tahu kalau membeli di pameran atau toko jika beli satu kain, harganya bisa Rp2 juta, tapi karena belinya di daerahnya bisa hanya Rp500 ribu hingga Rp750 ribu.

"Dalam dua kali Lebaran, kami tidak menikmati event itu. Akhirnya, stok makin banyak, otomatis kami melakukan penghematan dan pandai-pandai mengatur keuangan. Tidak mungkin kita produksi dan membeli bahan baku terus, sementara penjualan tidak ada," tutur Komarudin.

Ia mengkhawatirkan kondisi itu karena di beberapa daerah, perajin batik hilang. Mereka tidak lagi memproduksi batik, seperti di Sukapura, Kabupaten Tasikmalaya.

"Di sana proses produksinya berhenti, karena perajinnya juga tidak banyak. Hal itu juga mungkin terjadi di daerah-daerah lain. Kalau UKM batiknya hanya dua atau tiga orang pengusahanya, sedangkan karyawannya itu 50 orang, maka mereka benar-benar akan berhenti proses produksinya," ungkap dia.

Ia mencontohkan, puluhan toko batik di Trusmi di Cirebon tutup akibat pandemi. Mereka tidak produksi dan tidak jualan. "Saya tahu itu, karena saya orang Cirebon," tukas Komarudin. 

Aktivitas yang Dilakukan

Pembuatan batik
Pembuatan batik di Tingal Art di Dusun Tingal, Desa Wanurejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah (Liputan6.com/Komarudin)

Pada awal-awal pandemi, lanjut Komarudin, pihaknya masih bisa berjualan masker, seperti masker batik. Seperti Yayasan Batik Indonesia membeli masker batik untuk dibagi-bagikan, karena saat itu masker N95 harganya mahal.

Sementara, perajin batik penjualan menurun, tapi ada beberapa yang penjualannya meningkat karena mereka berjualan daster. Saat itu, penjualan masker dan baju-baju santai meningkat, tapi daster tersebut bukan batik, melainkan tekstil yang bercorak batik.

"Itu bukan batik, tapi tiruan batik. Jadi, ada batik, ada pula tiruan batik, itu ada SNI-nya," tegas Komarudin.

Untuk membantu perajin batik, setiap minggu APPBI menggelar webinar lewat Zoom, dari yang bersifat charity dengan mengumpulkan donasi, kemudian hasilnya dibagi-bagikan. Pihaknya sempat mendapat donasi Rp100 juta lebih.

"Lalu, kami bagikan kepada perajin di Cirebon, Pekalongan, Solo, Yogya, tapi apa artinya Rp100 juta dengan perajin yang begtu banyak," ungkat Komarudin. "Tapi ada semacam usahalah, di webinar itu kami juga berjualan batik dengan membuat katalog yang kami kumpulkan dari perajin-perajin batik di daerah-daerah," ucap Komarudin.

Kepada para perajin batik, Komarudin berpesan agar mereka tidak patah semangat. "Kami sebagai pengurus yang merupakan praktisi batik membagikan ilmunya kepada para perajin batik di daerah-daerah lewat Zoom. Karena kalau berbagi donasi, uang kami tidak cukup, jadi kami membagikan ilmu tentang batik," kata dia.

Komarudin berkata, APPBI juga bermitra dengan grup sosialita-sosialita yang berada di Jakarta. Itu ternyata sangat penting dan membantu sekali, seperti dengan Mitra Seni Indonesia, Pertiwi, kemudian juga dengan kementerian-kementerian.

Infografis motif-motif batik

Infografis motif-motif batik
Infografis motif-motif batik (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya