Liputan6.com, Jakarta Kasus pelecehan seksual terhadap perempuan masih marak terjadi di Indonesia. Belum lama ini bahkan viral dugaan pelecehan seksual yang terjadi di moda transportasi umum. Hal ini tentu saja menjadi kabar tidak mengenakkan, mengingat pelaku dengan berani melakukan tindakan tidak terpuji di ruang publik.
Kebanyakan aksi pelecehan seksual dilakukan oleh orang yang tidak dikenal. Namun, tidak menutup kemungkinan pelecehan bisa dilakukan oleh orang-orang terdekat, entah kenalan, teman dekat, dan bahkan anggota keluarga sendiri.
Baca Juga
Advertisement
Survei Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia
Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021, diketahui 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan yang dilakukan pada pasangan maupun bukan pasangan. Sedangkan, hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2021 mencatat ada 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki yang pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, salah satunya kekerasan seksual.
Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memberikan keterangan bahwa jumlah kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di tempat fasilitas umum sebanyak 880 kasus.
"Data tersebut menunjukkan bahwa perempuan dan anak lebih rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan. Survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) tahun 2022 pun mencatat dari 3.539 responden perempuan dari 4.236 mengatakan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik dan 23% terjadi di transportasi umum," ujarnya.
Data ini menunjukkan bahwa kasus pelecehan seksual tentu memiliki dampak yang sangat merugikan bagi korban. Selain kerusakan fisik, pelecehan seksual juga dapat menyebabkan kerusakan psikologis yang serius. Korban seringkali mengalami ketakutan hingga traumatis pada saat terjadi pelecehan seksual.
Selain alami ketakutan hingga traumatis, korban juga akan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dengan orang lain atau bahkan mempercayai orang. Dengan kata lain, pelecehan seksual termasuk ke dalam kejahatan serius yang harus ditangani dengan serius juga dan sangat memungkinkan menimbulkan fenomena bystander effect.
Advertisement
Fenomena Bystander Effect
Dalam istilah psikologi, bystander effect atau efek pengamat merupakan teori psikologi sosial yang menunjukkan reaksi psikologis ketika seseorang membutuhkan pertolongan, tapi orang-orang disekitarnya tidak ada yang membantu karena sama-sama beranggapan bahwa akan nada orang lain yang akan menolong korban sehingga pada akhirnya tidak ada orang yang menolong sama sekali.
Hasil Survei L'Oreal Indonesia menunjukkan bahwa ada 8 dari 10 orang tidak bisa melakukan apapun dalam melihat kasus pelecehan seksual di depan mata. Padahal, sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan seseorang dengan menerapkan langkah-langkah yang mudah, agar masyarakat dapat memahami dan bisa mengatasinya ketika terjadi bystander effect.
Brand Ambassador L'Oreal Paris, Cinta Laura mengatakan fenomena Bystander Effect dapat terjadi di Indonesia masyarakat cenderung merasa khawatir untuk disalahkan.
“Bystander effect bisa terjadi di Indonesia karena kita adalah orang yang ga enakan dan kadang-kadang kita juga sudah melihat situasi bahaya atau bakal di judge orang lain sampai kita pun takut dihakimi atau disalahkan orang lain,” tuturnya.
Bystander effect seringkali diartikan sebagai rasa ketidaknyamanan untuk campur tangan dalam situasi yang berbahaya atau darurat. Selain itu, budaya Indonesia juga cenderung menilai dan menghakimi orang lain dengan mudah, sehingga seseorang takut akan dihakimi atau disalahkan jika ikut campur urusan orang lain.
Namun, jika masyarakat hanya menjadi pengamat saja, tentu fenomena bystander effect akan terus terjadi Oleh karena itu, fenomena ini sangat penting untuk dipahami dan diatasi dengan cara memberikan edukasi dan menyosialisasikan metode intervensi yang sudah dilakukan di Indonesia dan dianggap efektif bagi para stakeholders.
Intervensi Pelecehan Seksual dengan Metode 5D
Metode 5D merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk intervensi pelecehan seksual. Pendekatan ini terdiri dari 5 tahapan, yaitu dialihkan, dilaporkan, ditenangkan korbannya, didokumentasikan, dan ditegur. Metode ini hasil kolaborasi antara L’Oreal dengan Demand sebagai organisasi masyarakat dan sosial yang sudah melewati berbagai riset.
Kolaborasi yang sangat menarik justru membuat keduanya ingin melakukan aksi nyata lebih lanjut lewat kampanye StandUp “Melawan Pelecehan Seksual di Transportasi Umum” di Stasiun BNI pada (16/03) dalam rangka memperingati International Women’s Day.
Kampanye ini dilakukan untuk mengetahui perspektif dari para penonton yang pernah melihat aksi pelecehan seksual sehingga perspektif ini menjadi suatu hal yang sangat penting karena setiap orang memiliki untuk melakukan perubahan. Berikut intervensi pelecehan seksual dengan metode 5D yang bisa dilakukan secara aman.
1. Dialihkan
Ketika ada orang yang melakukan aksi pelecehan seksual, langkah pertama adalah mengalihkan aksinya, seperti pura-pura menjatuhkan uang supaya perhatiannya ke orang lain dan korban bisa keluar dari situasi tersebut.
2. Dilaporkan
Saat korban merasa sudah tidak nyaman dengan situasi tersebut, saksi maupun korban pun bisa melaporkannya kepada security yang ada di tempat umum. Namun, terkadang korban melaporkan ke security bisa menjadi sulit karena merasa takut ataupun malu untuk memberikan laporan apa yang sedang terjadi.
3. Ditenangkan
Saat korban mengalami pelecehan seksual pasti ada rasa kepanikan yang timbul dan saksi juga bisa menenangkan korban supaya bisa tahu harus berbuat apa dan berfokus untuk memulihkan korban, jangan sampai ketika kejar pelaku dan korban keadaanya masih panik dan merasa terabaikan.
4. Didokumentasikan
Saksi yang melihat aksi pelecehan seksual perlu mendokumentasikan agar membuat rasa takut pada pelaku. Dokumentasi ini perlu diberikan kepada korban sebagai barang bukti sehingga ketika ingin melaporkan ke kantor polisi ataupun pihak berwajib sudah memiliki foto bukti.
5. Ditegur
Saksi yang melihat langsung pelaku melakukan aksi pelecehan seksual juga memiliki tanggung jawab untuk menghentikan tindakan tersebut dengan cara yang tepat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan teguran pada pelaku secara tegas dan sopan.
Dalam menghadapi kasus pelecehan seksual, sangat penting untuk mengetahui cara intervensi yang tepat dan efektif. Metode intervensi 5D ini diharapkan dapat menjadi panduan yang berguna, dalam memberikan intervensi yang tepat dan membantu korban pelecehan seksual.
Dengan mengetahui dan menerapkan metode ini juga bisa membantu mengurangi risiko pelecehan seksual dan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan terjamin bagi kehidupan masyarakat di Indonesia.
Lebih lanjut Melanie Masriel selaku Chief of Corporate Affairs, Engagement & Sustainability L’Oreal Indonesia menambahkan, metode 5D ini juga sudah dilakukan dengan cara menyosialisasikan ke beberapa universitas bersama Kemendikbud, sehingga pihak kampus pun sudah sampai membuat regulasi kampus soal melawan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Intervensi pelecehan seksual dengan metode 5D dinilai efektif karena sudah dilakukan secara bertahap dan terus-menerus yang harapannya gerakan ini bisa meminimalisir aksi pelecehan seksual di transportasi umum maupun tempat lainnya di Indonesia.
(*)
Advertisement